Dan lagi, uang kompensasi berhasil terbayar. Semua itu--- terekam baik di website resmi Aditama.

Dokumen penting milik Luna dikembalikan. Diatas meja Iria.

"Hanya.... ini masalah keluarga yang tidak bisa saya jelaskan, Ibu Iria." Luna menutup diri.

"Saya minta maaf untuk semua kesalahan yang saya lakukan selama menjadi bagian perawat Ok, ibu Iria. dan.... terimakasih sudah membantu banyak dan mengayomi saya. Semoga Ibu Iria senantiasa dalam kesehatan."

Luna berdiri setelah memberikan suratnya keatas meja Iria lantas mengambil dokumen penting milik Luna.

Luna membungkuk sebelum keluar dari ruang Iria.

Tak banyak waktu yang Luna miliki. Seseorang telah menanti Luna di parkiran belakang Aditama.

Tapi... kaki Luna melangkah pasti ke meja perawat. Bagaimanapun-- Luna pikir, Luna harus berpamitan pada rekan kerja nya.

Disana ada Dila, Vian dan Sarah. Sudah siap dengan seragam Ok mereka. Pasien sebentar lagi akan tiba di ruang transfer. Ruang Ok juga telah rapi dan ready digunakan.

"Hei, Lun." Sarah menyapa.

Tak ada yang saling menangkap tatapan. Sibuk pada tugas masing-masing. Vian berkoordinasi dengan pihak perawat ruangan, Sarah mengecek komputer dan Dila membuka lebar pintu transfer.

"Operasi hari ini akan dialihkan ke dokter Bagas. Dokter Kaiser tidak bisa dihubungi." ucap Vian berdiri di meja perawat bagian Luar.

Mungkin sekilas memberitahukan Luna yang ikut berdiri disampingnya.

Tapi, ketika Luna tak mengatakan apapun. Vian menoleh. Matanya melebar ketika Luna sedang memegangi dokumen penting dan surat persetujuan resign menjadi memo terluar.

"Luna!" sentak Vian membuat Dila dan Sarah ikut terkejut. "k--kau resign?"

Sarah seketika bangun, Dila bergegas ke meja perawat mendengarkan Vian.

Luna mengangguk.

"Kenapa?" tanya Dila memegangi lengan Luna. "kenapa resign? apa alasannya?"

"Ibu perlu ditemani. Adik-adikku harus sekolah." alasan menyebalkan keluar dari mulutnya.

Tak ada yang percaya. Dila, Vian dan Sarah menggeleng. Luna adalah tulang punggung. Mereka telah memahami selama tiga tahun terakhir bagaimana Luna bekerja untuk keluarga.

Bagaimana Luna mencintai Rumah Sakit tempatnya bekerja dan bagaimana Luna bertahan dengan segala badai dihadapi.

"Kau bohong?" Sarah mulai berkaca-kaca.

"Tidak. Aku sudah memikirkannya. Aku datang hari ini berpamitan." kata Luna. Senyumannya mulai bergetar.

"Terimakasih untuk semuanya dan maaf."

Akhirnya---- air mata Luna jatuh.

"Maaf... aku benar-benar minta maaf untuk semua yang terjadi di sini."

"Luna, kenapa?" Vian kembali bertanya. "tidak-tidak. Kau tidak mungkin memikirkannya. Ini terlalu terburu-buru dan kami tau kau tidak akan mengambil keputusan seperti ini."

"Dokter Kaiser?" Sarah ikut bersuara. "dokter sialan itu membuatmu tertekan? Luna---- ini bukan Luna yang kami kenal."

Luna membasahi bibir. Ada banyak hal yang bisa Luna bagikan. Banyak sekali. Hanya kebohongan terus Luna serukan.

"Aku akan kembali ke Surabaya. Ini benar-benar keputusanku."

"Lalu kau akan bagaimana disana?" Dila menggenggam tangan Luna.

          

Luna juga tidak tau--- untuk sementara Luna bisa pergi sejauh mungkin.

"Aku akan mengirim surat lamaran yang banyak." Luna terkekeh. "mungkin juga sebagai perawat homecare? aku akan melakukan semua hal. Jadi jangan khawatir."

Vian memeluknya erat. Dila dan Sarah ikut merentangkan tangan mereka.

"Kau tau kan kami sangat menyayangimu?"

Luna mengangguk. "Ya, terimakasih banyak."

"Kita masih bisa saling menghubungi, ah tidak Luna. Kau harus menghubungi kami." kata Dila.

"Apapun keadaannya, katakan pada kami. Kau mengerti?" Sarah mengusapi rambut panjang Luna.

Luna melepaskan diri. "Iya. Aku akan menghubungi kalian dan terimakasih sekali lagi." katanya.

"Aku akan pulang pagi ini, bapak sudah menungguku." Luna berbohong.

"Pasien!" suara transporter terdengar.

Luna melambaikan tangan, menyuruh mereka untuk kembali bekerja. Luna bergegas melangkahkan kaki nya keluar. Menyeka air mata nya buru-buru dan tak berbalik lagi sekedar melihat Vian, Sarah dan Dila menangisi kepergian mendadaknya.

Namun,

Di depan pintu.

Bagas berdiri.

Tangannya melipat depan dada. Kakinya ditekuk. Tatapannya mengarah pada Luna.

"Dokter Bagas, pasiennya suda---"

Luna tersentak.

Tangan Luna diambil, badan Luna ditarik dan tenggelam dalam pelukan Bagas. Hangat, cukup menenangkan.

Luna ingin melepaskannya namun Bagas seolah tak membiarkan Luna. Hingga Bagas sendiri yang melepaskan pelukan itu.

Bagas melihat wajah Luna. Meneliti setiap sisi. Telapak tangan Bagas menyentuh kepala Luna dan mengusapinya pelan.

"Sampai bertemu lagi, Luna." kalimat Bagas tak terduga.

Bagas kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Luna terdiam mencerna ucapannya.

Bagas terdengar terkekeh menuju ruang Ok Vip. Luna mengercap beberapa kali.

Ponsel Luna bergetar. Luna mengambilnya dan menerima pesan.

Rahardian---- anda harus bergegas.

Maka, langkah kaki Luna berlari keluar Instalasi Bedah dan mencari jalan lebih cepat aksesnya ke parkiran belakang.

Setibanya di parkiran, ada banyak sekali mobil. Dokter, pihak manajemen, bahkan keluarga pasien dan pengunjung. Luna tidak diberitahu harus mobil yang mana.

Dari arah selatan parkiran. Satu mobil berwarna hitam mendatangi Luna. Pintu penumpang belakangnya di buka.

"Masuklah, Ners Luna." kata supir didalam sana.

Luna ragu.

"Tuan Rahardian menyuruh saya menjemput anda." katanya lagi berakhir membuat Luna masuk kedalam mobil.

Tak ada perbincangan apa-apa. Pria berbaju hitam dan bertopi senada itu bahkan tak melirik sedikitpun kepada Luna. Mobil tersebut meninggalkan Aditama.

"Eum... Saya bisa turun disini saja."

"Tuan Rahardian meminta saja mengantar anda keluar Jakarta." kata pria tak diketahui namanya siapa.

"Tidak apa-apa, saya bisa pergi sendirian."

"Nanti, setelah saya mengantarkan anda keluar Jakarta."

"Saya bisa mempercayai anda?" Luna meremas kedua tangannya waspada.

Forbidden Love: KAISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang