Dia berulah (lagi)

Mulai dari awal
                                    

"Hahahaha bercanda, sayangku. Ya udah, latihan masak boleh, tapi jangan di forsir yaa. Di bawa happy aja. Lagian aku gak menuntut kamu sempurna bisa ini itu kok. Aku cuma nuntut kamu nemenin aku aja, biar aku sempurna."

Cie. Cie. Cie.

Krik. Krik. 

Aku.... antara tersipu dan bingung. Jadi aku memilih diam dan menunduk. 

"Salah tingkah nih?" ledeknya. 

Dengan kilat, aku berdiri dan mencium pipinya cepat, kemudian berlari menuju kamar. Aku panas, aku berkeringat. Aku butuh mandi.

Revaaan. Bisa saja membuatku boros air.

*

*

Revan's POV

Di kampus, aku masih sibuk dengan beragam buku yang menjadi literatur skripsiku. Ya, skripsi membuat segalanya terbengkalai. Mulai dari band, nongkrong, dan segalanya terbengkalai. Tapi lagi, aku ingat niatku sejak awal. Aku harus lulus dengan cepat. Agar aku bisa cepat mengelola resort keluarga, agar aku bisa cepat mandiri, dan agar aku bisa membentuk keluarga yang sempurna.

Ya, jika aku sudah bekerja, aku bisa menyempurnakan keluargaku. Misalnya... Membuat anak-anak yang lucu dengan Nina? Jika aku sudah memiliki uang banyak, tentunya aku bisa memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anakku, kan?

"VAAAN!"

Sial. Aku terkejut hingga beberapa literaturku nyaris jatuh. Aku menoleh dengan gaya cool ke arah si wanita toa itu. "Untung lo sahabat gue, Ra."

"HAHAHA. Lo kaget ya?"

"Menurut lo?" balasku dingin. 

Siapa lagi kalau bukan Aira? Dia adalah gadis cantik yang menjadi salah satu sahabat dekatku, meski suaranya sangat cetar menggelegar. 

Dia nyengir kuda. "Heeee. Oh ya, gue mau ngomong sesuatu!"

"Apa? Ngomong aja."

"Nanti malem gue mau nginep di rumah lo. Gue kangen Nina. Boleh ya, ya, ya?" 

Rumah baruku bisa pecah nih, gawat. Hahaha. Rumahku yang kecil, akan pecah jika ada suara Aira yang meledak bagai bom bunuh diri. 

Tapi... "Oke!" kataku. "Kebetulan ntar malem gue mau pergi sama Angga, Ken, Kelly. Daripada Nina sendirian, mendingan sama lo aja. Ya, kan?"

"Yups!"

"Jagain bini gue! Jangan dirusak pikirannya. Gitu-gitu masih polos lho bini gue!" Aku seketika tersenyum membayangkan wajah Nina yang lugu dan kecil seperti bocah. 

"Polos? Yakin lo?" Aira memicingkan matanya. "Sebelum nikah aja, Nina udah hampir-liar gara-gara lo, kan?"

"Anjir."  Huh. Wajahku malu, mengingat kejadian demi kejadian yang kulakukan dengan Nina, yang akhirnya membawa kami menuju gerbang pernikahan. 

Awalnya aku memang marah dan tak pernah setuju.

Tapi lama-lama... Aku mulai membutuhkan Nina dalam hidupku. 

"Ra!" panggilku.

"Apa?"

"Lo sama Angga ada apa sih?" Yaaaa, sifat kepo-ku mulai keluar. Tapi wajar kan, aku kepo tentang hubungan Aira dan Angga--dimana keduanya adalah sahabatku?

"Apa sih! Dah ah, gue mau cabut! Bye!" Aira menepuk pundakku, kemudian berlari kencang meninggalkanku, seolah tak membiarkanku mewawancarainya lebih lanjut. 

Ada apa ya, dengan mereka?

Dikala aku tengah sibuk memikirkan hal itu, juga memikirkan skripsiku..... Dia datang lagi. Ya, Tamara datang menghampiriku.

Cepet pergi, Van!

Pergi goblok! 

Kalo gak pergi, ya lo usir Tamara, kek!

Begitulah kata dewa batinku.

Namun akhirnya, aku hanya bisa diam ketika Tamara menangis di depanku, dan menjatuhkan dirinya ke pelukanku.

Aku tak bisa menolak. Karena mungkin, aku belum sepenuhnya lupa padanya.

Aku tak kuasa tuk menahan hasrat agar tak membiarkannya menangis. Karena mungkin, aku masih saja benci ketika air mata jatuh di pipinya.

Tapi... Tiba-tiba jiwaku terasa hampa, ketika mengingat bahwa ada gadis mungil yang tengah memperjuangkan serta selalu mencintaiku di rumah.

*


To be continued....

Maaf kalo pendek banget, aku masih sedikit kecapekan :(

100 votes, aku akan LANGSUNG lanjut :) 

Mari bertemaaaan!

Instagram, askfm, line: ervinadyp ! If you ask nicely, i will followback. And if u chat me kindly, i will reply ur line too. Follow wattpadku jg yaaaah! Xoxo

-evndya

24Jan2016


(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang