"Kamu, kamu tidak takut? Guncangannya kencang sekali tadi lho." Katanya.

       Aku tersenyum, menepuk pundaknya dan berkata, "Tenang. Kemungkinan kita jatuh adalah satu banding satu juta."

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*

       Akhirnya kami sampai! Perjalanan 16 jamku nyaris berakhir. Aku mengintip melalui jendela kecil pesawat untuk melihat rupa sang Pulau Dewata yang menjadi pulau terindah di seluruh Asia. Awalnya yang terlihat hanya awan, awan, lautan, awan, lautan, awan. Tapi kemudian muncul sebuah pulau. Pulau tersebut berbentuk lonjong dengan warna hijau di bagian tengahnya dan warna putih di pinggirannya yang kutebak pasti pantai. Pulaunya dikelilingi oleh lautan berwarna hijau biru eksotis dengan ombak. Kapal-kapal nelayan tampak seperti ikan-ikan kecil dari atas sini, barisan rumah beratap orange berjajar rapi ditambahkan oleh sawah-sawah yang menghijau.

       "Wow, tempat ini fantastis!" Kagumku.

       "Hah.... Apa.... Dimana.... Eh, sudah sampai?" Ternyata 'tetanggaku' baru saja mendarat dari tidurnya.

       "Sebentar lagi take off kok. Tuh, pulaunya sudah kelihatan." Tunjukku ke jendela.

       "Finally! Sampai juga! Ngomong-ngomong aku baru pertama kali ke Bali, kamu?"

       "Sama, kamu pergi sendiri?" Tanyaku, aku tidak melihat temannya ataupun orang lain yang ikut bersamanya.

       "Terlahir sebagai seorang jomblo dan berpetualang sebagai seorang jomblo sejati," katanya, "Ngomong-ngomong namaku Joanna. Senang bertemu denganmu... Eh..."

       "Viruma, ngomong-ngomong senang juga bertemu denganmu."

       Kami berdua tertawa. Senang rasanya bertemu dengan seorang petualang  jomblo sejati. Setelah take off dan mengambil bagasi masing-masing kami pergi keluar bersama-sama. Angin bertiup membawa aroma asin air laut ke indra penciumanku dan pepohonan kelapa saling bergesekan ditiup angin, seolah-olah mereka memainkan musik selamat datang kepadaku. Menerima dan mengundangku untuk tinggal di sini.

       "Kamu mau kemana setelah ini?" Tanya Joanna sambil mengikutiku.

       "Ke hotel, kayaknya di sini udah mau malam." Aku menatap langit berwarna merah arum manis pertanda senja dan langit di sisi lain yang mulai menggelap.

       "Memangnya kamu menginap di mana?" Aku dan Joanna sama-sama melihat catatan kami, dan demi seribu kelapa kami menginap di hotel yang sama. Kebetulan yang menyenangkan bukan?

       "Ya sudah ayuk bareng tapi aku cari guide turku dulu."

       "Kamu punya guide tur? Kerennn...."

       Ada puluhan atau bahkan ratusan pemandu wisata di bandara Ngurah Rai, semua berpakaian sama dan tampak mirip. Ini sih seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

       "Viruma!"

       Aku mengikuti suara panggilan Joanna dan menemukan seorang pemandu wisata laki-laki berumur antara 40-45 tahun, orangnya kecil, berkulit kecoklatan, dan mengenakan kemeja putih dipadu kain bermotif sebagai bawahannya. Dia membawa sebuah karton besar bertulis namaku.

       "Miss Viruma Ingersen?" Tanyanya sambil menatapku dengan mata hitam kecilnya.

      "Ya saya sendiri," aku menyerahkan surat-surat penggunaan jasa pemandu wisata kepadanya, "Anda pasti.... Ketut Manjrani?"

       Matanya mendadak menjadi cerah begitu membaca surat-suratku. Wajahnya dihiasi oleh senyum. "Miss Viruma, senang bertemu dengan anda! Bagaimana penerbangannya? Menyenangkan?"

       "Ya lumayanlah, walaupun badanku sakit karena terlalu lama duduk."

       "Anda menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk sampai kemari dan... Siapa ini?" Tanyanya melihat Joanna.

       "Ini Joanna, dia menginap di hotel yang sama denganku. Anda tidak keberatan bukan bila dia ikut?"

       "Tidak masalah Miss Viruma. Panggil saya Mr. Ketut, sekarang mari kita taruh barang-barang di mobil."

       Aku segera menyukai Mr. Ketut, pemandu wisata yang kukenal biasanya berlagak agak sombong dan sok tahu tapi Mr. Ketut tampak sederhana, ramah, dan menyenangkan. Wajahnya dihiasi oleh garis-garis usia dan di sekitar bibirnya ada garis tawa, pertanda ia orang yang suka tertawa. Kami berkendara melewati jalan lalu lintas yang dipadati oleh mobil, motor, dan pejalan kaki. Malam tampaknya adalah waktu yang tepat untuk menjelajahi kota ini. Toko-toko dipenuhi oleh turis-turis, tua maupun muda, semua berjalan kaki dengan santai melewati trotoar. 

       Hotel kami terletak di Kuta, wilayah yang dijejali oleh beragam turis mancanegara. Hotelnya tampak tenang dan sederhana, berlawanan dengan kondisi kota ini. Bangunannya dicat berwarna putih polos, lantai atas di lengkapi dengan teras berpinggiran besi tempa dipadu jendela panoramik dengan pemandangan menghadap jalan. Bagian depannya dihiasi oleh taman berisikan bunga-bunga tropis dan air mancur.

       "Jelas tidur di sini mengalahkan tidur di pesawat." Kata Joanna.

      Setelah mengatur jadwal kami besok, aku dan Joanna memasuki lobi hotel. Berbagai sofa dan meja ditata menghadap kolam renang dan ruang hijau, lilin beraroma memanjakan kami dengan bau sedap bunga, sebuah mini bar terletak di sudut lobi dan musik tradisional mengalun malas mengisi malam. Aku dan Joanna menempati kamar di lantai yang sama, bersebelahan pula.

       "Terima kasih banyak Viruma atas tumpangannya, selamat malam, have a nice dream." Katanya sebelum memasuki kamar.

       "Selamat malam juga Joanna." Jawabku.

       Kamarku tampak besar, untuk ditempati oleh satu orang. Ada dapur, dengan kulkas disertai peralatan memasak anti karat dan kitchen set. Di sampingnya terdapat ruang santai dengan sofa dan TV, kamar mandi di dekorasi dengan warna putih dan abu-abu dilengkapi dengan shower, wastafel, dan setumpuk handuk putih besar. Kamarku tidak kalah keren, sebuah tempat tidur dengan bed cover putih di letakkan di tengah ruangan dengan setumpuk bantal di atasnya. Aku menjejalkan semua isi koper dan ranselku di dalam lemari dan nakas.

       Aku menelepon ibuku (seperti yang sudah dijanjikan) lalu mandi, berganti pakaian dengan kaos dan celana katun. Aku biasanya mengalami sindrom susah tidur, jadi aku mulai mengenang semua hal yang terjadi saat itu. Aku pernah merasakan sakit, sakit saat hatimu dilukai oleh pedang perasaan, meninggalkan luka yang terus terbuka. Sampai saat ini.

       Karena itulah aku pergi, pergi menjauh dari semua itu. Merentangkan sayap kebebasan untuk bisa memulihkan luka ini. Tapi semua rasa nyeri itu masih ada, menghantui, dan kembali mengiris. Setiap teringat semua itu aku biasanya ingin menangis, tapi aku terlalu mengantuk. Jadi kubiarkan rasa kantuk menguasaiku.

       Aku bermimpi. Aku berada di pantai melihat matahari tenggelam. Lalu ada seseorang, sosok tinggi jangkung. Dia memanggilku, dan aku yang ada dalam mimpi tersenyum dan tertawa. Ini adalah pertama kalinya aku melihat diriku begitu bahagia.




Sunset RoadWhere stories live. Discover now