"Ati-ati kalau gitu."

Shanon langsung melihat temannya tak mengerti.

"Soale, 'itu'nya pasti gede."

Kali ini wajah Shanon sudah benar-benar merah, lebih merah dari sebelumnya. Wanita ini jengah dan kemudian berdiri. Dia harus meninggalkan kumpulan ibu-ibu ini, termasuk teman-temannya yang juga sudah menjadi ibu-ibu.

Kesal dan ingin meninggalkan mereka semua, Shanon berbalik dan sial baginya. Pria itu berdiri di belakangnya, memegang bahunya, kala Shannon tak sengaja menubruk tubuh tegap itu. Shanon menggigit bibir bawah, rasa malu makin mempertajam rona merah di pipinya.

Pras ... mengapa di sini?! Apa pria ini mendengar ledekan teman-temannya? Begitulah kurang lebih pertanyaan yang berlarian di pikiran Shannon.

Memberanikan diri, Shannon menatap sepasang manik hitam kelam milik Pras. Membuat Jantungnya berdetak makin kencang. Aliran darahnya mulai bergerak tak normal. Sat terdengar riuh sorak dari arah belakang, Shanon tersadar, kemudian melepaskan diri dan berjalan tergesa-gesa ke arah tangga kayu, naik menuju kamarnya.

"Kesini duduk dulu nak Pras," ucap seorang ibu-ibu yang lalu dijawab anggukan oleh Pras.

Mereka pun berbincang, atau lebih tepatnya menginterogasi Pras dengan berbagai pertanyaan. Pras hanya menjawabnya dengan singkat. Pria ini tampak begitu kaku. "Sudah-sudah, jangan diganggu terus. Tadi nak Pras mau kemana? Dilanjutkan saja," potong ibu mertuanya menyelamatkan Pras. Dalam hati pria ini berucap syukur.

*

Shanon duduk di tepi ranjangnya yang berukuran Queen. Entah cukup atau tidak kasurnya ini ditiduri olehnya dan Pras. Mempertanyakan hal itu, membuat jantungnya kembali berdentum keras. Sanggupkah malam ini dia menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri?

"Soale, 'itu'nya pasti gede."

Ucapan Dwi sahabatnya kembali terngiang. Temannya itu malah menakut-nakutinya. Apakah benar-benar akan sesakit itu? Pedih, panas. Kerja otak Shanon terganggu oleh dua kata itu.

"Aw!" Suara bariton itu mengagetkannya.

Shanon berbalik kemudian langsung berjalan mendekati Pras yang baru saja memekik kesakitan. Kepala pria itu menabrak sisi atas ambang pintu yang memang hanya setinggi 170 cm, atau lima cm lebih tinggi dari tubuh Shanon. Sementara Pras memiliki tinggi yang luar biasa. 183 cm. Tinggi yang lumayan fantastis bagi Shanon. Seperti artis luar.

"Maaf, pintunya memang pendek," ucap wanita ingin menyentuh kening suaminya, namun kemudian ia urungkan karena Pras sudah masuk ke dalam kamar yang hanya setinggi dua meter. Karena memang kamar wanita ini terletak di loteng.

"Perlu aku ambilkan obat untuk mengobati lukanya?" tanya Shanon cemas.

"Tidak," jawab Pras singkat. Pria itu mengambil posisi duduk di tepi ranjang mungil Shanon.

"Maaf kamarnya kecil dan pendek. Atau mungkin kita bisa bertukar kamar deng—"

"Tidak perlu. Aku di sini hanya sebentar," jawab pria itu memotong ucapan Shanon. Shanon mengangguk lalu ketika sadar pintu masih dalam keadaan terbuka, segera ia tutup pintu itu.

Setelah itu dia bingung harus melakukan apa. Dia gugup.

"Aku ingin bicara," mulai Pras langsung membuat wanita itu mengangguk. Shanon mendekat dan duduk di samping Pras, namun dengan jarak satu meter. Dia tidak sanggup bisa menahan detak jantungnya atau tidak jika bersentuhan dengan Pras.

"Besok aku akan kembali ke Jakarta," jelas pria itu tak memandang wajanya.

Shanon mengangguk mengerti.

"Aku akan datang kembali sehari sebelum pernikahan Riena dan Anjas. Setelah itu, besoknya kita kembali ke Jakarta. Aku mau urusan kamu di Yogya sudah selesai." Pria itu berucap dengan begitu dingin dan penuh intimidasi. Shanon tak mampu membantah.

"Satu hal lagi yang lebih penting. Aku tidak mencintaimu."

Tanpa jeda, tanpa sebuah tatapan. Pras berucap begitu saja, seperti melempar gumpalan kristal es ke arah jantung wanita itu. Menghujamnya tanpa perasaan.

Shannon menggigil. Tidak ada yang salah dari kalimat Pras, karena wajar saja jika pria itu tak mencintainya. Hanya saja, seperti ada penghalang tak kasat mata yang tengah Pras bangun agar Shanon tak mendekati pria itu. Tidak? Mengapa harus tidak jika ada kata belum. Tidak. Seakan pria itu tidak akan pernah bisa mencintai Shanon.

"Aku hanya membantu Anjas. Itu saja." Baru kemudian pria itu memandang Shanon yang menunduk pilu. Mengapa hati wanita itu terasa begitu sakit? "Dan aku rasa kamu juga tidak ingin keponakanmu putus dari lelaki yang dia cintai. Anggaplah kita berkorban untuk orang yang kita sayangi," imbuh pria itu kemudian.

Shanon mendongak. Mata sendunya bertubrukan dengan mata tajam milik Pras yang siap mengoyak-ngoyak hatinya. "Lalu pernikahan ini?" Shanon makin bergetar. Entah mengapa dia ingin menangis.

"Tetap kita jalani seperti biasa. Hingga kita menyerah. Aku mencintai wanita lain." Lagi, berucap tanpa jeda.

Shanon mendengus geli. Tragis. Mengapa pria itu harus mengatakan hal itu padanya? "Lalu mengapa kamu menikahiku dan menempatkan aku sebagai wanita perebut?" tanya Shanon tak percaya.

Pras menggeleng pelan. "Kami sudah berpisah lama. Aku pikir aku bisa melupakannya, tapi saat aku tiba di sini, aku yakin jika aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Karena bukan semakin jauh, dia akan menjadi semakin dekat." Pras diam menatap Shanon dalam. "Setidaknya aku sudah jujur. Jadi bertahanlah, selama kamu bisa bertahan. Aku tidak memaksa." Pras berdiri memutus pandangan mereka.

"Aku tidak mengerti. Maksudmu aku bisa pergi kapan pun?" tanya Shanon mencoba memahami situasi yang membelenggunya dengan jerat yang begitu menyiksa.

"Begitu lah. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku tidak bisa mencintaimu."

Shanon berdiri maju dan berhenti di hadapan Pras. Dia menatap dalam sepasang mata elang pria itu. "Tidak ada yang bisa mengatur datangnya cinta." Shanon marah. Dia tak menyangka pria ini begitu egois.

"Lalu apa yang akan anda lakukan, Nona Shanon? Memaksaku untuk mencintaimu?" tanya Pras dengan nada merendahkan. Shanon terluka.

Wanita itu menggeleng. "Aku akan bertahan. Pernikahan ini bukan sebuah permainan. Aku akan tetap berada di sampingmu sebagai seorang istri. Aku akan berusaha mencintaimu."

"Itu pilihanmu. Aku tidak memaksa. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Kamu bisa pergi kemana saja, jika kamu menyerah." Pras berbalik ke samping dan berjalan menjauh.

"Terima kasih," lirih Shanon bergetar. Dia ingin menangis. Wanita ini belum merasakan manisnya hidup berumah tangga. Namun ternyata ia sudah merasakan pahitnya terlebih dahulu.

Pras berhenti tanpa menoleh. Namun dia mendengarkan. "Terima kasih sudah mau menikahiku dan memberiku kesempatan merasakan bagaimana mahligai pernikahan dan merasakan menjadi seorang istri. Terima kasih." Shanon begitu tulus.

"Percayalah. Pernikahan yang kamu rasakan tidak akan seindah pernikahan orang-orang di luar sana. Kamu istri. Tapi kamu tidak sama dengan para istri diluar sana. Permisi," jawab Pras melukainya.

Pria itu kemudian pergi meninggalkan Shanon yang diam dalam suasana hening, penuh taburan luka. Wanita itu menarik napasnya dalam. Setidaknya dia bisa membahagiakan Riena. Dihapusya bulir airmata yang begitu berani membasahi pipi. Ini adalah bagian dari cobaan. Maka dia akan bertahan hingga kemudian Tuhan berkata. Cukup. Berhentilah.

Tubuh Shanon meluruh di lantai membekap mulutnya yang mengeluarkan isakan. Mengapa dia begitu sakit atas ucapan Pras? Dia tak pernah sesakit ini. sebelah tangannya memukul dadanya yang terasa begitu nyeri. Sakit. Batinnya.

TBC.

Love you

^^

Thank You and Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang