Setiap perkataan itu kini keluar dari mulutnya. Benar-benar timing yang pas. Setelah sekian lama ia memendamnya karena hanya masih ada rasa belas kasihan untuk Jonathan. Dan kini, ketika rasa belas kasihan itu harus lenyap karena ego tinggi Jonathan.
Maka maaf, tapi Kenza tak bisa terus-menerus di bawah tekanan yang sama.
"Lo bilang apa Kenza?" Jonathan memiringkan kepalanya. Dengan nada tidak percayanya, ia masih saja menanyakan semua ini dengan sekalimat pertanyaan bodoh.
"Gue kira lo denger tadi."
"Secara nggak langsung lo mau minta putus sama gue, dan semua ini pasti ada hubungannya sama Julian, kan?"
"Julian nggak salah apa-apa. Ini salah gue." Kenza menggigit bibir bagian bawahnya. Tatapannya beralih arah, ke bawah. Kelabu dan penuh penyesalan.
"Iya, seperti yang lo bilang tadi, harusnya gue berterimakasih sama dia karena dia udah berkorban perasaan demi gue? Gitu?" Kedua pupil Jonathan melebar seketika. "Apa gue nggak punya satu nilai kebaikan pun di mata lo?"
Tangis Kenza yang semula ia sembunyikan di balik tatapannya kini pecah. Tak ada yang perlu ia sembunyikan lagi, Jonathan harus tahu bahwa kesalahan terbesar Kenza selama ini adalah... mengenal lebih kakak-beradik Suryokusumo.
"Kalo gue nggak balik ke Indonesia, mungkin nggak bakalan gini. Kalo gue nggak ngasih harapan apapun sama lo, semua ini nggak bakal terjadi. Semua ini... salah gue. Kenapa gue mau-maunya chat-an sama lo padahal niat gue cuma mau kuliah di sini?!"
"Kenza," Jonathan hendak mendekap ceweknya, siapa tahu ia bisa menjelaskan semuanya dengan lebih tenang.
"Lo bisa nyakitin cewek lain, lo pasti lebih mampu nyakitin gue, Jo."
"Gue nggak seb--"
"Jauhin gue! Gue nggak seharusnya ada di sini!" Kenza menepisnya dengan napas memburu. "Lo jangan ngejar gue!"
Tanpa ada ucapan lain, dia pergi. Dia pergi sambil menanamkan rasa ambigu terhadap perasaannya. Tanpa kepastian soal kelanjutan hubungan mereka. Meninggalkan Jonathan dengan luka dan pertanyaan sedemikian banyaknya. Luka. Luka yang sangat mengoyak hati.
Dan luka itu... dia sama sekali tak bisa melihatnya dalam wujud apapun. Tak terlihat, namun sangat perih. Mungkin, selama ini pun Jena merasakan hal yang sama seperti Jonathan. Tapi kenapa dia tak pernah menyadarinya?
Dia memukul tembok sekeras mungkin. Berharap rasa sakit ini bisa menyedot perih di hatinya yang kian mengembang. Tapi kini malah semakin sakit.
Satu yang perlu setiap orang sadari. Yang tak terlihat bukan berarti tak bisa disentuh. Yang tak terlihat bukan berarti memang tak ada. Yang tak terlihat, bukan berarti mustahil tak bisa dirasakan. Dan yang kelihatannya tak ada pun tak bisa dianggap remeh.
Dan Jonathan kini merasakan ada hal tak terlihat, namun terasa menyakitkan. Ya, itulah luka yang sebenarnya. Luka yang tak tersentuh.
***
Setelah beberapa menit berdiam diri, menenangkan dirinya. Kini Kenza sudah bisa merasakan kedamaian dalam hatinya. Tak perlu membuang waktu lagi untuk terus menenangkan diri, ia harus segera menemui Jena. Untuk mengatakan semuanya.
Kenza berusaha mengatur napasnya agar tak terdengar terlalu menggebu. Bisa-bisa objek incarannya ini terlebih dulu kabur sebelum Kenza menjelaskan semua yang ingin dia jelaskan secara rinci. Setelah itu, semua keadaan akan kembali normal dan tak perlu ada yang merasa bersalah lagi.
Kini objek incarannya sedang duduk menepi di koridor kelas yang sepi setelah Kenza mencarinya ke semua sudut tempat. Masa bodoh disebut tak tahu malu oleh para murid SMA sini karena ia seenak jidat berlari-lari dan menyusuri seluk beluk sekolah meskipun ia bukan lulusan sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...
Bab 39. Real Wounds
Mulai dari awal