7:: He said, "Gua jagain."

Mulai dari awal
                                    

Mereka sampai di rumah Syifa. Syifa berbalik badan menatap Arif, dan berkata. "Makasih ya Alit, udah nungguin gue dari jam empat, gataunya kita pulang jam delapan. Sampe udah gelap gini."

"Gakusah sok formal gitu, jijik."

Syifa melotot, memukul Arif menggunakan tasnya.

Arif mengaduh, lalu tertawa. "Iya iya santai aja,"

Ia melanjutkan, "By the way, kenapa tadi nanyain Anggit?"

"Pengen tau aja. Kata cowok-cowok yang lain kan, dia cantik, anggun, ya gitu gitu."

"Sama aja kok."

"Hah?"

"Dia sama aja kayak cewek yang lain, biasa."

"Kalo gue?" Syifa tersenyum jahil, menaik-naikkan kedua alisnya.

Arif memutarkan kedua bola matanya. "Pake ditanya, ya elo beda lah."

Syifa tersenyum lebar, saat ia baru saja ingin berkata, Arif menyela dan melanjutkan ucapannya.

"Coba, mana ada lagi orang setengah badak kayak lo?"

Syifa mencibir, "Nyebelin."

"Kenapa sih lo selalu ngatain gue setengah badak?" tanya Syifa dengan wajah penasaran.

"Suka-suka gua, lah." Arif memilih berjalan menuju rumahnya.

"Ih, Alit! Kok malah pergi?!" teriak Syifa kencang. Kemudian ia berteriak lagi, "Hati-Hati!"

***

Syifa menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Ia mengingat kejadian tadi siang saat Arkha mengobrol dengannya.

Entah mengapa, ia merasa tidak nyaman mengobrol dengan Arkha. Aura Arkha tadi siang jauh berbeda dengan Arkha yang mengobrol dengannya kemarin di UKS.

Sikapnya, cara menatapnya, gestur tubuhnya, bahkan cara senyumnya berbeda. Terlebih perkataannya. Yang cenderung, tidak sopan.

Tanpa Syifa sadari, Arkha berbeda saat melihat Syifa dan Arif di lapangan basket.

***

FLASHBACK

Arkha berjalan ke arah Kantin bersama teman-temannya untuk membeli minum sebelum pertandingan futsalnya dimulai. Arkha duduk di kursi kantin sambil melihat-lihat sekelilingnya.

Matanya berhenti saat melihat Arif dan seorang gadis sedang bersama. Lebih tepatnya, Arif sedang menguncir rambut gadis itu.

Ya, gadis itu Syifa. Wakil ketua osis yang terkenal akan galak dan sifat hiperaktif nya. Gadis yang mencuri perhatiannya semenjak kemarin.

"Oi! Kenapa, Ar?"

Arkha tidak menanggapi pertanyaan temannya. Ia terus menatap Arif dan Syifa, ingin tahu apa saja yang akan mereka lakukan.

Bimo mengikuti arah mata Arkha. Ia pun mengoceh, "Kenapa ngeliatin mereka, Ar? Lo masih dendam sama si Arif?"

"Jangan diingetin lagi, geblek!" sambar Aldi.

Tanpa mengalihkan pandangannya, Arkha berkata, "Mereka pacaran?"

Bimo mendengus kesal, "Arif sama Syifa? Sahabatan katanya sih. Tapi ya gitu, deket banget."

"Buset kemana aja lo, Ar. Masa ga pernah nyadar mereka, hidup di goa ya lo?!" sambar Aldi, lagi.

Sadar Arkha tidak menghiraukan lawakan Aldi, Aldi berdecak kesal sedangkan Bimo tertawa menoyor kepala Aldi.

"Gua diperhatiin. Bukan gua yang memperhatikan,"

Ya, itu moto Arkha. Makanya tak jarang Ia tidak mengenal beberapa teman seangkatannya. Ia tak suka bergaul, namun memang sering bergonta-ganti cewek hanya untuk menemukan yang pas. Namun, malah membuat dirinya dicap 'playboy'.

Arkha mengingat kembali 3 tahun yang lalu saat gadis yang disayanginya menatap Arif penuh kagum. Memperhatikan setiap gerak-gerik Arif. Bahkan menyimpan foto Arif diam-diam.

Itu terjadi saat gadis itu masih berpacaran dengannya. Bagaimana Arkha tidak geram? Memang Arif tidak pernah menanggapi sapaan pacarnya, tapi tetap saja Arkha merasa dikalahkan.

Dhita, nama gadis itu. Yang memenuhi pikiran Arkha selama 3 tahun ini. Yang kini entah dimana keberadannya. Yang juga membuat ia menetapkan Arif sebagai rivalnya.

Dan kini, merasa ada peluang, mungkin Arkha akan melaksanakan dendam tertundanya. Atau mungkin ia justru yang akan terperangkap dalam rencananya sendiri?

Saat melihat gadis itu beranjak dari duduknya dan pergi, Arkha mengikutinya diam-diam.

"Eh, mau kemana lu, Ar?!"

"Sst, udah lo berdua disini aja." Arkha segera melengos pergi.

Ia mengamati bagaimana Syifa bekerja sebagai wakil ketua osis. Menyuruh sana-sini, jalan kesana-kemari. Setelah kurang lebih 20 menit mengamati, gadis itu terlihat duduk di koridor.

"Capek?"

Gadis itu menoleh, "Arkha?!"

Arkha tersenyum dan memilih duduk disebelah Syifa. Ia mengamati Syifa terang-terangan. Mendapati gadis itu bingung akan sikapnya.

"Lo ngapain disini?"

Arkha tersenyum miring, "You don't want the sexiest guy in school to sit over here?"

Syifa mendengus, "Pede gile,"

Arkha memang tak tau suasana. Ia mengajak ngobrol Syifa dari hal apapun, yang hanya dijawab singkat oleh Syifa atau sekedar anggukan dan gelengan kepala. Yang membuat Syifa geram setengah mati.

"Gila ni bocah, gaktau apa gue lagi capek. Nafas udah tersengal-sengal kayak mau sekarat gini," gerutu Syifa dalam hati.

Sampai pada akhirnya, Arkha bertanya hal tentang Arif. Dan mengatakan pertanyaan yang membuat gadis itu risih, sangat risih.

"Arif gak sebaik yang lo kira, lho."

Sontak, Syifa terkejut. Ia menyerngit. Ia tak suka jika Arif dibicarakan seperti itu. Ia menarik nafas dan berusaha menjawab dengan tenang,

"Maksud lo?" menatap tajam ke arah Arkha.

"Arif itu bukan cowok baik-baik. Terserah lo percaya atau enggak, gua tau sifat busuk dia."

Syifa tertawa sarkastik. Ia bangun dari duduknya dan berkacak pinggang. Sungguh, ia tak habis pikir oleh cowok didepannya yang sedang duduk ini.

"Terus menurut lo, gue peduli sama omongan lo?"

Arkha terperangah, ia baru akan menjawab. Tapi Syifa dengan cepat menyela,

"Lo ngatain Alit bukan cowok baik-baik. Terus lo apa? Cowok baik, gitu?! Asal lo tau ya, gue jauh lebih mengenal Alit dari lo. Dan gue paling gaksuka lo ngomongin Alit kayak gitu,"

Syifa dengan emosi yang memuncak pergi meninggalkan Arkha. Ia berjalan cepat tak tentu arah, yang jelas ia ingin menstabilkan emosinya.

***

Syifa masih memakai seragam SMA nya dan tidak sekali pun bergerak dari kasurnya. Mengingat omongan Arkha tadi siang, membuatnya kembali berpikir.

BestFriend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang