Jelas itu bukan patung lilin, tapi benar-benar seorang manusia.

"Siapa kau?!" bentak Pwe-giok terkejut.

Orang itu tetap diam saja tanpa bergerak seakan-akan tidak mendengar suaranya.

Pwe-giok pikir dirinya kan sudah mati, apa yang mesti ditakuti? Segera ia melangkah ke sana, mendekati orang itu, ia coba memegangnya, memang betul seorang manusia, tapi manusia tak bernyawa.

Terasa hawa dingin menyusup ke tubuhnya melalui jarinya, cepat Pwe-giok menarik kembai tangannya. Waktu ia berpaling, ternyata di situ tidak cuma seorang ini saja, masih banyak orang lagi, orang mati seluruhnya.

Kiranya jenazah leluhur keluarga Ki tidak ditanam, jenazah mereka telah dibalsam sehingga semua jenazah masih utuh, tidak membusuk untuk selamanya.

Sejauh mata memandang terlihat setiap mayat itu berduduk di suatu kursi yang longgar dan besar. Pwe-giok seolah-olah berada di tengah-tengah mayat itu. Meski diketahui "orang-orang" ini sudah tak dapat bergerak lagi dan tidak nanti membikin susah padanya, tapi merembes juga keringat dingin Pwe-giok.

Cahaya yang remang-remang menyoroti wajah mayat-mayat itu, setiap wajah mayat itu sama dingin dan kurus kering, namun air muka mereka tetap dalam keadaan yang wajar, tidak mengunjuk keberingasan yang menakutkan, namun sikapnya yang dingin itu tampaknya menjadi lebih menyeramkan. Berada di tengah-tengah mayat ini tiada ubahnya seperti berada di neraka.

Pandang sini dan lihat sana, darah di tubuh Pwe-giok seakan-akan beku, ia tidak tahan, akhirnya ia menjerit ngeri terus menerjang keluar.

Di dalam rumah batu itu masih ada sebuah kamar batu, sekeliling kamar batu ini juga berduduk tujuh-atau delapan orang mati, semuanya juga duduk di atas kursi dengan sikap kaku dan dingin.

Pandangan Pwe giok yang pertama lantas tertuju kepada sebuah wajah yang kurus kering dan aneh, yaitu yang serupa dengan patung lilin yang dilihatnya di lorong bawah tanah sana. Dengan sendirinya inilah mayat ayah Ki Song-hoa yang sesungguhnya.

Tampaknya orang ini mati belum terlalu lama, hal ini terbukti dari bajunya yang jauh lebih baru daripada mayat-mayat lain.

Selagi Pwe-giok memandang sana dan memandang sini, sekonyong-konyong seorang mati di sampingnya dapat berdiri dan menegurnya, "Kau... kau pun datang ke sini?!"

Sungguh kaget Pwe-giok sukar dilukiskan, hampir pecah nyalinya.

Dilihatnya orang iniplun memakai belacu putih, malahan mukanya juga djbalut dengan kain putih, bahkan orangnya lantas mendekati Pwe-giok dengan langkah berat.

Kaki dan tangan Pwe giok terasa lemas, setindak demi setindak ia menyurut mundur, teriaknya dengan parau, "Kau.....kau ..., " hanya kata ini saja yang dapat diucapkannya dan sukar melanjutkan pula.

Orang itu lantas berhenti dan memandangi Pwe-giok, katanya pelahan, "Jangan takut, aku bukan setan."

"Kau... kau bukan setan? Lalu sia... siapa kau?" tanya Pwe-giok.

Cukup lama orang itu berpikir, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, "Aku Ji Pwe-giok!"

"Hah, kau Ji Pwe-giok? Lantas siapa siapa diriku?" teriak Pwe-giok dengan kaget luar biasa.

Orang itu tidak bicara lagi, tapi mulai membuka kain pembalut mukanya selapis demi selapis sehingga terlihat mukanya yang penuh bekas luka.

Sampai lama sekali Pwe giok memandang wajah yang rusak ini, akhirnya ia berseru, "He, bukankah engkau ini Cia . . ., Cia Thian pi, Cia cianpwe?"

Bahwa Cia Thian-pi bisa muncul di rumah hantu ini, hal ini benar-benar membuatnya terkejut melebihi melihat setan.

Cia Thian-pi tersenyum pedih, ucapnya, "Betul, aku memang Cia Thian pi adanya, tak tersangka kau masih dapat mengenali diriku."

Seri Renjana Pendekar / A Graceful Swordsman (Ming Jian Feng Liu) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang