"Ayo Bibi, kita bermain," ajak Pika bersemangat.

Pika mengayunkan miniatur pesawat itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan lainnya menerbangkan robot mainan. Dalam gerak lambat mereka saling bertabrakan.

Poka mengambil selembar kertas putih baru, memandangiku dengan seksama, kemudian mulai menggambar.

"Bibi, cepat terbangkan mobil itu, coba kalahkah pesawat tempur Pika," ujar Pika bersemangat. Dia benar-benar ingin bermain bersamaku.

Anak perempuan manis itu, terlihat lebih gemar dengan permainan anak laki-laki. Menerbangkan pesawat, robot, boneka, bahkan mobil. Apakah Pika punya ketertarikan dengan benda terbang?

"Pika ingin jadi pilot," ujar Poka sembari sibuk menggambar.

"Dan Poka ingin pandai menggambar," sambung Pika.

"Pika salah! Poka sudah pandai menggambar. Poka adalah pelukis seperti paman Wally."

Perlahan aku mulai mengenal mereka. Pika adalah anak perempuan yang riang dan senang bermain. Poka pemarah, terutama ketika ada yang meragukan kemampuan menggambarnya. Namun dia juga anak manis yang senang menggambar. Aku melihat berbagai gambar yang menempel di dinding kayu. Semua coretan ini pastilah ulah Poka.

"Gambar Poka bukan coretan," balas Poka kesal.

Aku terkejut, menatap tajam ke arah Poka yang sibuk menggambar, "Mungkin Bibi terlambat menanyakannya, tapi apakah Poka bisa membaca pikiran Bibi?"

"Tentu saja Poka bisa," ujar Pika menyela, "Poka kan Peri."

Jawaban itu membuatku sedikit berkeringat dingin. Perlahan aku bersikap waspada di dekat Poka, "Kalau begitu, apakah Pika juga bisa membaca pikiran Bibi?"

"Tidak bisa," jawab Pika santai, "Tapi Pika juga Peri."

Aku mengajak Pika untuk berpindah ke sudut ruangan, menjauhi Poka. Mungkin Poka bisa membaca pikiranku, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia sibuk dengan gambarnya.

Aku tidak ingin bersikap seperti ini pada Poka, tapi tidak ada orang yang senang ketika pikirannya dilucuti. Apalagi dengan kegelapan hati yang dimiliki setelah beranjak dewasa. Poka terlalu berbahaya. Dan tidak ada jaminan kalau Pika bukan Peri yang berbahaya.

"Kalau Poka punya keahlian membaca pikiran, apa keahlian Pika?" tanyaku berusaha memahami situasi.

"Pika bisa menerbangkan mainan," jawabnya dengan penuh semangat, "Lihat ini Bibi!"

Pika mulai mengayunkan robot mainannya. Melayang kesana kemari tampak hanyut dalam imajinasi.

Ya, Pika tidak terlihat berbahaya. Dia hanyalah gadis biasa dengan imajinasinya. Bermain terbang-terbangan di tengah langit yang cerah.

Ini aneh. Langit di balik jendela terlihat cerah. Padahal beberapa detik yang lalu baru saja hujan lebat.

"Ini dunia peri, Bibi," balas Poka dari kejauhan. Mata kecilnya menatap tajam ke arahku. Tatapan yang sangat dingin. Dia tersenyum sinis, "Tidak aneh kan bila cuaca tiba-tiba cerah."

"Ah, Poka! Kau membaca pikiran Bibi lagi," sahut Pika tidak senang, "Kau akan membuat Bibi takut."

"Bibi lebih baik takut," balas Poka kembali menggambar.

Sikap Poka membuatku ragu. Apakah ini hanya mimpi? Atau aku sedang diculik oleh peri hutan? Apakah anak-anak ini punya kemampuan yang berbahaya, yang mungkin dapat mencelakakanku?

Aku takut.

Tidak! Aku tidak seharusnya takut. Mereka adalah anak-anak baik. Aku hanya perlu memastikan hal itu.

[Tantangan White Day NGKWI 2017] Pika en PokaWhere stories live. Discover now