Bab Dua Puluh Lima

Mulai dari awal
                                    

"Gue emang nggak tahu apa yang lo rasain. Tapi setidaknya, kalau gue jadi lo, gue nggak akan sampe segininya. Apa yang lo lakuin, bersembunyi dari orang-orang tanpa sadar, adalah hal paling menyedihkan yang bisa dilakuin seseorang."

"Kamu tidak tahu apa yang saya rasakan! Tutup mulut kamu sebelum saya melakukan yang tidak-tidak!"

"Ann udah pergi. Lo tahu itu."

"Saya bilang tutup mulut kamu, sialan!"

Saya langsung berdiri, meraih kerah kemeja Rizal dan mencengkeramnya kuat. Rizal balik menatap manik mata saya yang terarah lurus ke matanya. Tidak ada sedikitpun rasa gentar di wajahnya, meski tahu saya tengah dikuasai amarah.

"Lo nggak bisa berpikir jernih karena dendam di hati lo. Dendam yang menyeret nama lain yang nggak bersalah ke dalam masalah lo sendiri."

"Diam!"

Sebuah pukulan telak mendarat di pipi kiri Rizal. Bukan sekali, tapi saya melayangkan beberapa tinju di wajahnya. Setelah saya berhenti membuat lebam di wajahnya, Rizal balik menghadiahkan pukulan keras di wajah saya.

Tinju balasan yang membuat saya jatuh terjungkal ke belakang.

"Akhirnya gue sadar kenapa lo mau nikahin Navy. Lo mau menjadikan dia umpan untuk aksi balas dendam lo. Selain pengecut, lo juga berengsek, Satria!"

Setelah mengatakannya, Rizal langsung membereskan barang-barangnya dan meninggalkan saya yang masih bergeming di atas lantai. Dengan wajah lebam dan bahu yang naik turun menahan emosi, Rizal membanting pintu ruang kerja saya dengan keras.

"Sialan!"

***

Mengerjakan dua pekerjaan sekaligus mulanya memang membuat saya kewalahan. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa melakukannya sendiri.

Untuk ke sekian kali saya mengecek buku jadwal saya. Menghela napas berat saat menyadari jadwal pertemuan saya dengan George tidak kurang dari satu jam lagi.

Setelah membersihkan lebam dan sedikit luka di pinggir bibir saya, saya langsung menuju lokasi pertemuan dengan lelaki tua itu. Sebuah rumah makan yang berada di pinggiran kota menjadi tempat pilihan George untuk membahas masalah perjanjian bisnis kami.

Saya sudah berulang kali memastikan penampilan saya tidak akan membuat George curiga nantinya. Bahkan saya sudah melatih kata-kata apa saja yang akan saya perdengarkan ke lelaki itu.

Dengan penuh percaya diri saya mulai melangkah masuk ke rumah makan itu.

Tidak sulit untuk menemukan sosok George. Kondisi rumah makan yang tidak terlalu ramai semakin memudahkan saya mendekati George yang sudah berada di sebuah meja, dekat sebuah jendela besar yang menyajikan pemandangan pantai yang sepi.

"Maaf membuat Anda menunggu lama."

Saya menundukkan sedikit kepala saat berdiri di dekat lelaki itu. Saya sengaja mengulur waktu untuk bertemu dengan George. Alasan utamanya tentu saja karena pertemuan ini adalah sesuatu yang sudah lama berada di kepala saya.

"Ah, tidak masalah. Saya juga baru tiba di sini." George tersenyum, menepuk bahu saya pelan. "Mari, silakan duduk."

"Terima kasih." Saya menunduk sekali lagi. Menarik kursi yang berada tepat di hadapan George dan mendudukinya.

"Anda ingin memesan apa?"

Saya mengulum senyum, menggeleng pelan.

"Terima kasih. Tapi tadi sebelum ke sini, saya sudah makan siang dengan klien yang lain."

"Oh, oke."

Saat George tengah membolak-balik buku menu dengan antusias, saya diam-diam mengedarkan pandang ke sekeliling. Selama perjalanan dari kantor menuju ke rumah makan ini, saya tidak mendapati pergerakan mencurigakan, seperti mobil yang mengikuti saya di belakang, atau hal-hal janggal lainnya. Bahkan di rumah makan ini pun, saya tidak mendapati pengawal-pengawal George yang biasanya setia menemaninya.

Setelah memesan pada pelayan, George langsung mengajak saya keinti pertemuan kami. Tanpa berbasa-basi ia menjabarkan apa-apa saja yang ia butuhkan dari perusahaan saya, dan juga sebaliknya.

"Dari yang Anda jelaskan, sepertinya ada beberapa poin yang tidak sesuai dengan visi misi perusahaan kami." Saya mulai menyebutkan beberapa poin yang memang tidak menarik minat saya.

"Anda benar. Di bagian ini sangat tidak sinkron dengan visi misi perusahaan Anda." George memegang dagunya, kembali membaca berkas-berkas di tangannya.

"Jadi, baik Anda ataupun saya, sudah tahu kesimpulan dari pertemuan ini, kan?" tanya saya memastikan.

George mengangguk sekilas sebelum menjawab, "Ya. Seperti yang Anda katakan sebelumnya, sepertinya perusahaan kita tidak bisa bekerja sama untuk saat ini."

Saya mengangguk pelan, memasang tampang sedih dan kecewa.

"Sayang sekali, perusahaan kami tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan Anda."

"Saya juga merasa demikian. Rasanya seperti melepaskan kesempatan emas yang sudah ada di genggaman." George mendesah. "Padahal jika perusahaan kita bisa bekerja sama, saya yakin, perusahaan lain tidak ada yang akan berani menyaingi perusahaan kita."

Dalam hati saya menyetujui ucapan George. Jika Silver Group dan Augusta Corp bekerja sama, maka bisa dipastikan saham kedua perusahaan akan naik secara drastis.

Sayangnya, dari awal saya memang tidak menghendaki perjanjian tersebut. Saya memang sengaja membuat George memilih untuk membatalkan perjanjian di antara kedua perusahaan.

Semua sudah saya rencanakan dengan matang. Bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

Setelah membereskan berkas-berkas presentasi, saya bangkit berdiri dan berpamitan pada George. Berulang kali lelaki tua itu menepuk punggung saya dan mengucapkan pemyesalannya atas pembatalan kerja sama ini.

Saya hendak melangkah, namun pertanyaan George dan tatapan penuh selidiknya langsung membuat langkah saya tertahan. Dari balik kaca mata yang saya kenakan, saya menatap lurus mata George.

"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"

Saya tersenyum. Membetulkan letak kacamata saya sebelum menggeleng pelan.

"Tidak. Sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Ini pertemuan pertama kita, Pak George."

George mengangguk berulang kali. Tapi ia tidak melepaskan sosok saya dari pandangan matanya.

"Saya undur diri dulu, Pak."

Saya menunduk, mundur selangkah ke belakang sebelum berbalik menjauh.

Saya tidak tahu apa yang saat ini tengah George lakukan di belakang saya. Tapi sesuatu di dalam hati saya berkata, setelah pertemuan ini George tidak akan tinggal diam begitu saja.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang