"Enggak, kok."

"Tunggu di halte depan stasiun aja, gue yang jemput. Lo pakai baju apa?" Age mengambil kunci motor Levin di laci nakas lalu keluar dari kamar.

"Jaket jeans sama topi putih."

"Tunggu aja, gue ke sana." Age keluar dari Flat dan segera turun ke parkiran motor di depan gedung.

Setelah Damar mengucapkan terima kasih, Age memutus sambungan telepon dan memasukkan ponsel Levin ke saku celana. Ia sudah biasa ke rumah Levin, seharian berada di sana seolah itu rumahnya sendiri, apalagi dulu Chesa sering datang ke Jakarta untuk liburan. Siapa lagi yang menjemput ke stasiun kalau bukan Age.

Ia memakai helm milik Levin yang untungnya muat, menyalakan mesin motor dan tancap gas keluar dari parkiran. Butuh lima belas menit naik motor untuk sampai ke stasiun. Age memang mengendarai mobil ke rumah Levin, tapi kemacetan Jakarta membuatnya enggan pakai mobil sendiri untuk menjemput Damar yang-entah-siapanya-Levin itu. Selama berteman dengan Levin dan sudah terlalu sering datang ke rumah laki-laki berwajah cina campur indonesia dan agak mirip korea itu, Age tidak pernah tahu kalau ada teman baik Levin yang punya nama Damar. Ia cuma ingat nama teman SMA Levin yang bernama Mardi.

Age memelankan laju motor, lalu berhenti beberapa meter dari halte. Remaja laki-laki dengan jacket jeans serta topi putih dan ransel hitam di punggung terlihat memandangi sekitar. Age membuka kaca helm.

"Damar!" Teriaknya sambil melambaikan tangan.

Tebakannya benar, remaja laki-laki itu menoleh dan berjalan ke arahnya.

"Bener, lo Damar?" Age bertanya memastikan, begitu Damar berdiri di sampingnya.

Damar mengambil ponsel, menunjukkan panggilan telepon terakhirnya, "iya, saya Damar."

"Lo siapanya Levin?" Age memberikan helm yang tadi ia temukan di atas rak sepatu.

"Temennya Chesa, Bang." Damar menjawab sambil memakai helm, kemudian duduk di belakang Age.

Age kembali menyalakan mesin motor, kembali membelah jalanan. Ia membiarkan kaca helmnya terbuka.

"Bang, bisa antar saya dulu, nggak? sebelum ke rumah Bang Levin." Damar bertanya.

"Kemana?" Sahut Age yang memelankan laju motor.

"Jalan Jenderal Sudirman nomor delapan belas, sebelah Buska Mart. Kata Bang Levin, nggak jauh banget dari tempat tinggalnya." Jawaban Damar membuat Age menepi dan menghentikan laju motor.

"Lo yakin, itu alamatnya?" Age terdengar kaget.

"Iya, ini titipan dari teman saya."

"Itu rumah nyokap gue." Age kembali tancap gas, memutar arah, mempercepat laju motor.

______

Levin memandangi Age yang berdiri dekat rak buku serta Damar yang kebingungan, bergantian. Ia lagi-lagi diganggu Age dengan gedoran dan teriakan beberapa menit lalu. Age masuk bersama Damar dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.

"Mar, gua anter ke alamat itu besok aja, ya?" Levin membuka pembicaraan.

"Vin." Panggil Age.

"Kenapa?" Levin menjawab, ia agak kaget karena tatapan kesal Age.

"Masa lo nggak tahu, kalau alamat yang dikasih Damar itu alamat rumah orang tua gue?" Pertanyaan itu sukses membuat Damar menatap Age, padahal sejak tadi ia hanya sibuk memperhatikan seisi ruangan.

"Gue kira orang tua lo udah pindah ke Bandung." Sahut Levin.

"Kan, itu masih bulan depan."

"Ya, mana gue tahu."

"Ya lo tanya, kek!"

"Jadi, surat ini untuk orang tua Bang Age? Bukan orang tua Tara?" Damar bertanya untuk menghentikan adu mulut sepasang jomblo di depannya.

Tatapan kesal itu berubah setelah Damar menyebut nama Tara. Adu mulut berhenti, Age memandang Damar, menuntut penjelasan lebih.

"Lo bilang apa barusan?" Age bertanya untuk memastikan kalau ia tidak salah dengar.

"Orang tua Tara. Perempuan yang titip surat ini namanya Tara dan dia bilang kalau ini untuk orang tuanya." Jelas Damar.

"Perempuan yang buta dari lahir, tapi tingkah dia nggak nunjukin kalau dia buta," ucapan Age membuat Damar tercengang, "mana suratnya?" Age meminta surat yang dimaksud.

Damar buru-buru membuka ranselnya dan mengambl surat beramplop putih gading yang ia maksud. Diberikannya pada Age yang dari ekspresinya saja sudah cukup menjelaskan kalau laki-laki itu kaget bercampur tak percaya.

Tangan Age gemetar setelah membaca surat yang ditulis dengan huruf braille. Levin tidak tahu kalau perempuan bernama Tara begitu melekat dalam memori Age sampai berhasil membuatnya sekaget itu.

"Lo bisa baca braille?" Levin bertanya setelah mengambil selembar surat dengan tititk-titik timbul memenuhi kertas.

"Lo ketemu sama Tara?" Age bertanya pada Damar yang duduk kebingungan.

Damar mengangguk, "aku minta Tara untuk ikut keluar dari Hutan Purba, tapi dia nggak mau. Dia cuman bilang mau titip itu untuk orang tuanya, padahal sebelumnya dia bilang dia yatim piatu dan tinggal di Panti Asuhan."

"Tara tinggal di Hutan?" Age nyaris berteriak.

"Dia yang bantu aku keluar dari Hutan bagian dalam."

"Damar juga kejebak di Hutan, sama kayak Chesa," sambung Levin, "Tara siapa? bukannya lo anak tunggal, Ge?"

"Dia salah satu anak panti yang paling deket sama gue. Yayasan itu punya bokap gue, dan Tara adalah anak yang hampir diadopsi sama nyokap tapi nggak jadi karena dia hilang pas pariwisata acara perpisahan." Penjelasan Age membuat Damar dan Levin tercengang, keduanya hanya bisa diam memperhatikan Age yang terduduk lemas di lantai.

"Jadi, orang tua yang dimaksud Tara itu, orang tua Bang Age?" Sahut Damar setelah keheningan menghinggapi ruang tengah Flat milik Levin selama lebih dari lima menit.

______

Jeng jeng jeng!!!!
Akhirnya terungkap sudah tokoh 13DAYS yang mirip kuntilanak disini.

Btw, buat yg gatau. Silahkan baca 13DAYS dulu krna cerita ini bakal bawa2 tokoh dari sana juga.

Semoga kalian suka chapter ini ya..
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK VOMMENTS OKAY?
😘

Rayreblue.

TS[2] : SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang