"Hiks.., hiks... Ti..tidak Na..naruto-kun..." Kepala bermahkotakan surai biru kelam tersebut menggeleng. Wajahnya bersembunyi, tertelan pada punggung lebar pria yang mampu mengisi hati kosongnya. "Di..dia bukan kekasihku lagi. Aku tidak mau, aku hanya mencintaimu. Ma..maaf.., hiks, bila a..aku pernah melakukan hal keji seperti itu.., hiks.., hiks... Ku..mohon, sedikit saja Naruto-kun ma..mau memberiku kesempatan..."
Lilitan tangan mulus itu semakin erat. Tubuhnya bergetar hebat, tangisnya pecah menyuarakan gejolak hati serta cubitan luka pada lubuk hati terdalamnya. Ia akan berjuang, sekalipun akan berakhir tidak sesuai harapan, ia bersumpah akan menjadikan Naruto sosok terakhir yang menetap di hati tanpa ada yang lain.
"Naruto, apa tidak sebaiknya kita cepat? Semakin mengulur waktu kurasa untuk saat ini kurang aman." Ujar pria yang suaranya sungguh khas bila itu adalah Gaara. Bukan maksud untuk mengganggu dua orang yang masih merasakan sakit sekaligus rindu secara bersamaan itu, hanya saja memang yang ia ucapkan harus segera terlaksana.
Naruto menyetujui ucapan temannya itu. Dirasa memang tidak mungkin berdiam dan memamerkan adegan semacam ini, bahkan ada rasa canggung karena hal itu juga. Satu hal, sesungguhnya ia terenyuh dengan Hinata. Entah ia percaya atau mulai kembali luluh, yang pasti ada gejolak aneh yang membuat hatinya tergerak untuk mengulang kenangan manis.
Pada akhirnya Naruto berjalan. Walau langkah sedikit berat akibat pelukan Hinata dari belakang, tapi ia tetap melangkah tanpa merespon atau setidaknya memberi tanggapan kecil akan tangis sang gadis.
"A..aku mencintaimu, Naruto-kun..."
Lagi, ungkapan cinta Hinata padanya terungkap. Ingin rasanya merengkuh tubuh mungil itu dengan erat namun ego masih menghalangi. Ingin rasanya berucap demikian namun lidahnya keluh meski hanya untuk menguntai satu kata. Mungkin, berdiam dalam langkah pelan adalah pilihan terbaik.
***
"Sudah aku duga, jika rumah ini tidak lagi terurus." Kiba memandang malas bangunan sederhana namun tidak menghilangkan citra kelokannnya. Hanya saja, banyak rumput liar dan juga sarang laba-laba yang membuat bangunan tersebut seolah kumuh dan tak layak ditinggali. "Aku heran, bahkan banyak sekali perubahan disekitar sini. Untung saja rumahmu bukan bertempat di pusat keramaian, memungkinkan akan tetap berdiri dan tidak tergusur. Aku harap tidak ada yang tau bila rumah ini adalah milik dua bajingan kembar."
Naruto mendecih malas sebagai tanggapan, ia tidak suka saat Kiba seolah menyindirnya. "Ck! Mau bagaimana lagi? Memang hanya tempat ini yang tersisa. Kita tidak mungkin memiliki banyak markas seperti dulu. Lagipula, kita kemari untuk menebus kesalahan masa lalu, bukan? Setidaknya dengan itu juga kita bukan lagi buronan."
Hanya lirikan yang tercipta dari pria bertato itu. Satu hal yang ia pikirkan untuk saat ini—
"Pertanyaan pertama, bagaimana kita mengisi asupan perut selama berada disini? Pertanyaan kedua, siapa yang akan bertanggung jawab akan keadaan dalam rumah ini yang pastinya lebih parah? Pertanyaan ketiga, apa kita punya uang sebanyak itu untuk berlama-lama disini, terlebih 5 tahun lalu dan 5 tahun sekarang pastilah berbeda? Dan yang terakhir—"
"Kau takut kecoak!" Lanjut Gaara sekaligus memotong pertanyaan Kiba yang baginya seperti anak kecil.
Kiba menjentikkan jarinya sembari mengangguk membenarkan ucapan Gaara. "Binatang itu selalu membuatku demam tinggi jika sedikit saja tersentuh." Bergidik ngeri membayangkan Kecoak yang baginya sangat menjijikkan. "Tempat seperti ini pasti menjadi sarang reptil dan arthoropoda sejenis kecoak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Liver Flavor
Fanfiction[Masashi Kishimoto] [NaruHina Story] [Alternative Universe] -Flow forth-
[30]
Mulai dari awal