“Sedih lagi yah? Sampe nggak ngeliat jalan gitu.”
“Emang udah sedih daritadi.” gerutuku. “Udah deh, cepetan.”
Justin hanya diam, dan mulai membuka jalan untukku agar aku bisa menapaki tangga melingkar yang karatan dan keropos itu lebih dulu. Aku rada takut juga sih pas ngelewatin tuh tangga.
“Just, kalau aku jatoh gimana?” tanyaku sambil berjalan pelan-pelan dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Justin bersiul ringan. Bisa-bisanya dia bersiul kayak gitu, padahal ibarat kata kita lagi ngelewatin jembatan gantung mengerikan ala pelem Indiana Jones.
“Ya jatoh mah ke bawah. Kalau masih idup di bawa kerumah sakit, kalau udah mati dibawa ke kuburan.”
“JUSTINNNN!!!”
“Nggak bakalan jatuh kok, hehehe. Kan ada aku yang bakal nangkep kamu. Lagian yah, aku nggak bakalan ngajak kamu ke tempat yang berbahaya.” kata Justin. Aku merengut campur senyum. Entah kenapa… entah kenapa… sumpah demi lapisan beleknya Harry aku malu banget mengakui kalau… kata-kata Justin… bikin pipiku memerah. sialan.
Setelah melewati perjuangan panjang melewati anak tangga yang seremnya banget-bangetan itu, aku dan Justin tiba di bagian atap ruko yang berupa sebuah bidang datar dari semen kasar. Disana bahkan enggak ada lampu dan suasananya gelap banget, tapi Justin melangkah dengan santainya ke pojokan atap dan mengeluarkan sebatang lilin dan lipatan plastic lebar. Dia menghamparkan plastic lebar tersebut seperti pedagang kaki lima mau jualan, lantas menghidupkan lilinnya. Astaganagabonarjadilima. Kayaknya ruko serem ini udah jadi markas besarnya Justin di Riverview.
“Terus kita ngapain?” tanyaku ketika Justin meletakkan lilin di dekat kami berdua. Justin memandang langit yang temaram dan penuh bintang sembari merebahkan dirinya di atas hamparan plastik.
“Teriak aja. Ucapin apa yang ada dalam hati kamu. Enggak bakalan ada yang denger. Dan enggak ada juga yang mau denger. Tapi at least, kamu bisa ngelegain perasaan kamu.” kata Justin. Aku diam. Cukup lama untuk bisa membuat Justin bicara lagi.
“Kenapa? Malu? Nggak usah malu. Well, kamu boleh anggap aku sebagai teman kamu, sahabat kamu, kakak kamu, atau bahkan… pacar kamu. Tapi hanya untuk malam ini aja.” aku diam sebentar. Namun kupikir sarannya bagus juga, jadi aku melangkah ke pinggiran atap dan mulai meneriakkan apa yang ada dalam hatiku. Sekeras-kerasnya.
“ONTA ARAAAABBBBB, GUE BENCI ELOOOOOOOOO!!!!” aku berteriak, “BERANINYA LO SELINGKUH SAMA KNALPOT MOTOR YANG SAMA JELEKNYA SAMA PANTAT PANCI DI BELAKANG GUEEEEE !!!!” aku menarik napas untuk berteriak lagi, “KURANG APA SIH GUEEEEE??? UDAH CANTEQQQQQ, BAEQQQQQ LAGEEEEEE. KENAPA LO SELINGKUHIN MAKHLUK KECE YANG UNYU NYA DUNIA AKHIRAT MACAM GUEEEEE??? ZAYNNNN, LO JAHATTTT. MANA BISA LO TEMUIN CEWEK SEKECE GUE DI—” ucapanku mendadak terhenti begitu Justin memotong perkataanku dengan nada paling sewot sepanjang sejarah diciptakannya jamban.
“Kamu teriak ngungkapin perasaan apa lagi curhat?” tanyanya dongkol. Aku merengut, namun melangkah ke arahnya dan membaringkan diri tepat di sebelahnya. Langit dipenuhi bintang malam ini. Indah. Oh bahkan lebih dari indah. Dan kehadiran Justin seolah membuatnya menjadi lebih baik. Oh the hell. Lupakan saja.
“Katanya tadi disuruh ngungkapin perasaan yang ada di hati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia (by Renita Nozaria)
Fanfiction"When you lost most all of your memories, your head's spinning round and your enemy becomes your beloved one." I do NOT own this story. Just read my bio. And don't forget to hit the follow button._. Author : Renita Nozaria Title : Amnesia Genre : Co...
Part 19
Mulai dari awal