XIV- Kepo Membawa Petaka

Mulai dari awal
                                    

"Nonton midnight aja apa?" usulku.

"Mau nonton weekend gini pasti mahal, woy," Shafira mengingatkan.

"Oh iya... Jangan lah kalau gitu," Tiara menyetujui Shafira untuk menolak usulku.

"Terus ke mana, dong?"

"Ngikut."

"Ngikut," Shafira ikut-ikutan menimpali dengan jawaban yang sama sekali tidak membantu.

"Ck!" Selalu begini kalau aku sedang bersama Tiara dan Shafira. Dua orang itu sama-sama penggemar kata "terserah" dan "ngikut aja". Sama sekali tak bisa diharapkan untuk memberi ide dalam suasana seperti ini. "Kalian lapar nggak sih?"

"Lapar sih nggak, tapi kalau mau makan lagi juga perut gue masih muat," jawab Shafira.

"Nah, gue juga sama."

"Apa kita ke angkiran yang di daerah Slamet Riyadi aja? Kak Chyntia pernah cerita, katanya angkringan di sana rasanya enak."

***

Kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke angkringan di jalan Slamet Riyadi. Tiara dan Shafira, si tim "ngikut aja", tentu saja langsung menyetujui usulanku itu. Namun baru dua menit perjalanan, motor Tiara yang tadinya berada di depanku tiba-tiba memelan lajunya dan berhenti di pinggir jalan, tepat di sebuah rumah besar yang terletak di perkampungan.

"Kenapa, Ra?"

"Gue udah pernah cerita belum sih kalau kosnya Nadhif tuh di daerah sini?"

"Demi apa?" sahutku. Kok Tiara nggak pernah cerita ke aku, sih?! "Di daerah sini banget, Ra?"

"Iyaaa."

"Lah, berarti gue selalu lewat kosnya dia dong kalau mau ke kampus?"

"Nggaak. Kosnya tuh di daerah sini, tapi masuk ke gang lagi, gitu."

"Coba lewat kosnya dong, Ra!" pintaku.

"Lah, ngapain, anjir?" Shafira tak setuju.

"Yaaa emang lu nggak kepo sama kos Nadhif, Shaf?" tanyaku pada Shafira yang sedang kubonceng di belakangku.

"Enggak," jawab Shafira lugas.

"Ck! Nggak seru!"

"Gue juga takut ketahuan kalau malam-malam gini, Cit," ujar Tiara. Jam sembilan di Surakarta sama dengan tengah malam. Jalanan sudah sepi dan toko sudah banyak yang tutup. "Kapan-kapan aja lah gue kasih tau."

"Ish, jangan laaah! Nggak bakal ketahuan, kok!" Aku tak setuju. Tiara sih mancing. Aku kan jadi penasaran sekarang di mana tempat tinggal cowok itu. "Emang rumahnya di sebelah kiri apa kanan, sih?"

"Pokoknya nanti tuh masuk gang yang itu, terus belok kiri, habis itu..."

"Nggak usah diceritain!" kupotong penjelasan panjang Tiara. "Jawab aja, rumahnya di sebelah kiri atau kanan?"

"Kanan."

"Nah, nanti kalau lo udah di depan kos si Nadhif, lo pasang sen ke kanan, terus jalannya pelan-pelan, ya."

Tiara bengong sejenak. Cewek itu lalu tertawa mendengar instruksi dariku. "Anjir, jenius juga cara lo!"

Aku ikut tertawa. Di belakangku, Shafira geleng-geleng kepala.

"Buruaaan, Ra!" seruku tak sabaran.

"Iyaaa... Ini lo ikutin dari belakang gue pelan-pelan ya pokoknya?"

"Siap, Bos!"

Dengan kecepatan perlahan, Tiara memimpin di depan. Ternyata untuk menuju ke kos Nadhif, kami harus berbelok ke beberapa gang dulu. Aku berkonsentrasi memperhatikan lampu sen Tiara. Cewek itu menyalakan lampu sen tepat di depan sebuah rumah kecil berwarna merah. Aku spontan memelankan laju motorku dan menoleh ke arah kanan. Namun tak berapa lama kemudian, Tiara menyalakan lampu sen lagi.

"Kok si Tiara ngesen lagi, sih?" tanya Shafira.

"Nggak tau, deh," jawabku, lantas berhenti tepat di depan rumah merah tadi.

Tiara justru berjalan semakin jauh di depan sana.

"RA! TIARA! YANG MANA KOSNYA?!" teriakku pada Tiara yang sudah jauh.

"Bego, jangan teriak-teriak, woy. Kalau ketahuan gimana?!" bisik Shafira panik.

Hah! Benar juga. Kenapa aku tak bisa mengontrol mulutku, sih?!

Terlihat Tiara berhenti di depan. Aku cepat-cepat menyusulnya. Cewek itu terlihat gemas padaku ketika aku ikut berhenti di sampingnya.

"Kenapa teriak-teriak, sih?!" tanya Tiara seraya mendelik sebal.

"Ya elu ngesen dua kali!"

"Gue juga rada-rada lupa kosnya yang mana!"

"Jadinya yang mana?" tanyaku.

"Rumah yang kedua, yang warnanya krem," jawab Tiara.

"Yah... Gue nggak lihat rumah yang kedua," keluhku. "Putar balik aja apa?"

"Bego, jangan, lah!" Shafira panik.

"Kalau ketahuan gimana?" tanya Tiara. "Lu tadi teriak kencang banget, Cit!"

"Yaaa tinggal bilang aja kita lagi iseng jalan-jalan. Atau apa kek gitu," jawabku santai. "Puter balik, Ra!"

"Ish, pokoknya kalau nanti ada si Nadhif gue nggak ikutan, ya," ujarnya.

"Iyaaa," jawabku tak sabaran.

Tiara akhirnya memutar balik dan memimpin kami melewati jalan tadi. Kali ini cewek itu menyalakan lampu sennya di depan rumah berwarna krem. Aku spontan memelankan laju motorku di depan rumah berwarna krem itu.

Ketika aku menoleh untuk memperhatikan rumah itu, ada seseorang yang sedang berjalan ke arah pagar. Matanya bertatapan dengan milikku, membuatku rasanya ingin mengubur diri hidup-hidup saja.

Nadhif!

Mampus. Ketahuan.

Aku menyengir padanya. Percuma menghindar. Sudah ketahuan juga. Shafira mencengkram bahuku kuat-kuat dari belakang, seolah mengatakan "apa gue bilang!"

"Pantas tadi ada berisik-berisik di depan," ujar Nadhif. "Ngapain sih kalian malam-malam gini?"

"Itu... Tadi... Uhm..." Ayo berfikir, Cit!!! "Uhm... Mau ke kosan teman! Di daerah sini juga! Tapi kita malah nyasar!"

"Nama kosnya apa emang?" tanya Nadhif, tak curiga sama sekali.

"Uhm... Kos Putri Dina?" jawabku, melontarkan jawaban apapun yang terpikir di benakku.

"Nggak ada kos putri yang namanya Dina perasaan di sekitar sini."

"Masa? Tapi dia bilang di sekitar sini, kok!"

"Iya, nggak ada," jawab Nadhif.

"Ini lo mau ke mana, Dhif, malam-malam?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Cari makan."

"Oh..."

Dia nggak ada pikiran untuk mengajakku makan apa, ya?

"Sama sekalian gue penasaran. Tadi gue lagi lihatin jendela di depan, ada dua motor berisik banget, yang satu pengendaranya malah teriak-teriak. Terus nggak lama setelah itu, dua motor itu balik lagi. Motor pertama malah nyalain sen di depan kos gue," jawab Nadhif, dengan senyum miring meremehkan yang benar-benar kubenci.

Ini... Bisa nggak sih aku ditenggelamkan aja?!

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang