Perempuan Berkepang Dua

87 0 0
                                    


Perempuan itu memandang sosok di sebelahnya lekat-lekat. Ia pandangi rambut kemerahan yang menjulur hingga ke bahu. Dua karet gelang beda warna mengikat kepangan panjang yang turut bergoyang bila kepala mungilnya bergerak-gerak. Rambutnya sendiri pun diikat dengan satu karet gelang di ujung tengkuk. Menjaga agar tak terburai bila tertiup angin.

Bukan. Ia bukan takjub pada jalinan kepangan yang menjuntai itu. Juga tak takjub pada mata bulat kecoklatan yang sering berkedip menahan teriknya mentari. Ia takjub pada tamborin mungil dalam genggaman perempuan berkepang dua itu. Berbentuk bulan sabit dengan warna seputih susu. Bila digerakkan sedikit, lempengan-lempengan berbentuk logam tipis yang dilubangi itu bergerak seirama.

"Crek-crek-crek-creek..." Nyaring bunyinya meski sudah banyak karatan di tiap pinggiran logamnya.

"Bagus ya..." Bisik perempuan berkepang dua pada perempuan berbuntut kuda. "Aku nemuin ini di tong sampah di ujung gang sana." Sekali lagi ia tepukkan tamborin itu dengan telapak tangannya.

"Yuuk kita jalan, Dek...Nanti kita nyanyi lagu apa ya? Tenda Biru? Atau lagu apa ya?" Bibirnya menyenandungkan beberapa lagu dewasa yang ia hapal. Namun serasa tak senada dengan bunyi tamborin di tangannya.

Perempuan berkepang dua menggenggam tangan mungil perempuan berbuntut kuda. Namun si pemilik tangan mungil hanya menunduk saja. Iapun menunduk. Memandangi jari-jari kaki telanjang yang mengkerut dan berdebu.

"Sendalmu ilang ya? Pasti sakit kalo jalan di aspal gak pake sandal."

Sambil tersenyum, ia melepas sandalnya dan meletakkan di depan si perempuan berbuntut kuda.

"Pake ini aja. Nanti kalo udah dapet uang, pasti kubeliin es campur yang enak itu pake tape, ketan dan cingcau item." Ia menyemangati perempuan berbuntut kuda yang malu-malu memasukkan jemarinya pada sandal tipis itu.

Mereka berdua berjalan bergandengan. Perlahan-lahan. Yang satu karena memakai sandal tipis kebesaran yang hampir putus, yang satu lagi menghindari aspal yang terasa panas menyengat kakinya.

"Nah, itu..."

Perempuan berkepang dua menunjuk sebuah warung nasi yang lumayan ramai pengunjung. Mereka berdua segera beraksi.

"Kutrima suratmu dan kubaca dan aku mengertii....Betapa merindunya dirimu...."

Suara nyaring perempuan berkepang dua bersahutan dengan cekrek-cekrek tamborin dalam genggaman.

Pengunjung yang ramai banyak yang tak acuh dan hanya fokus pada makanan di piring mereka. Ada pula yang melontarkan recehan ke kaleng bekas yang disodorkan si perempuan berbuntut kuda.

Pemilik warung segera beraksi, " Udah ya, cukup ya, bubar sana..." Sebelumnya iapun mengangsurkan recehan seribuan ke dalam kaleng bekas itu.

Tiga-empat warung makan mereka datangi. Dengan konfigurasi yang sama persis, lagu-lagu pop lawas diiringi tamborin tak senada, dan perempuan berbuntut kuda yang menyodorkan kaleng bekas kepada semua pengunjung. Sambil sesekali menyeka keringat di dahinya dan menyedot ingus yang pelan-pelan ingin meleleh dari hidungnya.

Di warung makan kelima, sebelum sempat memulai pertunjukan, pemilik warung menyapa. Wajahnya bulat. Gamis longgar serta kerudung lebarnya tampak tak mampu menutupi lipatan lemak yang menonjol. Lesung pipitnya tampak timbul tenggelam saat ia berbicara.

"Kalian bantu Ibu ya, cuci piring sebentar. Nanti Ibu bayar dengan 2 nasi bungkus, telur balado serta 2 es teh manis, mau?"

Perempuan berkepang dua terdiam sejenak. Dilihatnya tumpukan piring menggunung di balik rak-rak lauk pauk yang berjejer dan bertingkat rapi. Namun tanpa pikir panjang, diletakannya tamborin di ujung meja, dan dengan hati-hati mulai tenggelam di antara piring kotor, busa sabun dan kran air yang tak henti mengalir ke ember.

Perempuan berbuntut kuda hanya memperhatikan saja, Ia takut membantu. Takut memecahkan piring dan gelas yang sedang dicuci. Bernapas pun rasanya ia tak berani. Jadi ia hanya berdiri diam-diam di dekat perempuan berkepang dua, sambil mencium aroma masakan yang tersaji di rak. Perlahan mengelus perutnya yang serasa perih. Lidahnya menjilati bibirnya agar mampu menghilangkan rasa kering dan dahaga.

"Wah pinter, cepet juga nyucinya."

Ibu pemilik warung tiba-tiba menghampiri mereka. Ia menggenggam 2 bungkus nasi dan 2 bungkus plastik berisi es teh manis. Perempuan berkepang dua menerimanya dengan malu-malu.

"Terimakasih, Bu..." Bisiknya terharu.

"Ini dipake ya, punya anak Ibu, udah kekecilan, sepertinya muat di kamu,"

Ibu pemilik warung mengangsurkan sepasang sandal jepit. Pas sekali. Jemari-jemari berdebu itu kini tampak nyaman dalam pelukan sandal berwarna hijau.

Bergandengan tangan mereka berjalan menuju gudang kosong di gang buntu. Di sana tampaknya tempat yang pas untuk beristirahat sejenak. Tak terkunci. Gembok karatan tampak masih menggantung di pintu gudang. Gudang itu kosong. Lantainya berdebu. Namun langit-langit yang tinggi memberi sedikit kesejukan untuk mereka berteduh.

Dengan mata berbinar keduanya membuka bungkus nasi. Panasnya masih mengepul. Telur balado bulat bertabur sambal kemerahan tampak menggoda. Bibir mungil perempuan berbuntut kuda asyik meniup nasi agar cepat hangat dan bisa meluncur nyaman di tenggorokannya.

"Huaa ada pesta gak ngajak-ngajak...Gak sopan ya,"

Lima orang pemuda tiba-tiba memasuki gudang tua itu. Baju mereka lusuh. Jaket jins dan celana jins belel yang tampak sobek di beberapa sisi serta anting hitam di telinga kanan. Penampilan mereka serasa tak nyaman dilihat.

"Suit-suiiit....cantik-cantik ini, beneran pesta kitaaa hahaha..."

Pemuda bertubuh tambun berdecak sambil berkacak pinggang. Bau alkohol menguar dari mulutnya.

Serentak, tiba-tiba ketiganya meringkus perempuan berkepang dua. Menggendongnya ke ujung gudang. Satu pemuda mengunci pintu dengan gembok karatan yang tadi tergantung di pintu gudang. Kini mereka tinggal bertujuh dalam gelap dan hawa panas.

Perempuan berkepang dua meronta sia-sia. Mulutnya dibekap tangan-tangan kekar itu. Kedua lengannya dicekal erat-erat entah oleh siapa. Rok selututnya ditarik dan diluncurkan begitu saja hingga kakinya. Bergiliran mereka merabanya. Meremas. Menindih. Sakit. Perih. Meronta. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi menjerit. Tergolek. Terbujur kaku.

Perempuan berbuntut kuda hanya mampu berteriak tanpa suara. Ia menangis tanpa mengeluarkan air mata.

PEREMPUAN BERKEPANG DUAWhere stories live. Discover now