Ketika Ia Datang Tanpa Kuinginkan

41 1 7
                                    

Waktu itu kau datang tanpa kuundang, menyodorkan sepiring harapan kosong. Aku tidak peduli, mengabaikan piring itu. Kau kembali menawarkan, supaya aku menerima. Mungkin kau berpikir tak akan berakibat apa-apa jika aku menerima piring itu. Tapi aku tetap saja mengabaikan. Dan kau kembali menawarkannya berulang kali. Kali ini kau menambahnya dengan secangkir tawa, berharap aku menerimanya. Tapi aku tetap mengabaikan, sampai kau mungkin menyerah. Piring dan cangkir itu sudah hampir basi, dan akupun tidak peduli sama sekali. Kau pulang dengan meninggalkan keduanya ditambah segelas canda yang entah sengaja kau tinggalkan atau tidak. Aku melirik, sedikit penasaran. Bagaimana rasa semua itu? Aku mengambilnya, menyimpannya asal.

Satu jam. Aku tidak peduli. Dua jam. Aku mulai melirik. Tiga jam. Aku mulai tertarik. Empat jam. Aku mengambilnya, mencicipinya, dan ternyata menyenangkan. Sampai pada keesokan hari kau mulai mengirimiku paket senyum yang terlalu aku anggap istimewa.

Esoknya kau tetap mengirimku paket itu, sampai sepiring harapan kemarin menguasai pikiranku. Aku kecanduan. Akan tawa, canda, dan senyum yang kemarin kau sodorkan padaku. Aku terus berharap kau mengirimku paket senyum lagi. Tapi paket itu tak kunjung datang, membuat harapan ini mengikat hati, sesak, dan kecewa. Aku terlanjur berharap.

Kau tau, harapan itu berubah dan bermetamorfosa menjadi kepingan-kepingan rindu yang menggumpal dan bersatu. Mendesak dadaku lebih sesak. Aku tidak tau bahkan aku belum pernah merasakan rindu seperti ini sebelumnya. Kau yang seharusnya bertanggung jawab, membalas buncahan rindu ini, dengan tetap mengirimkan paket senyum atau secangkir tawa seperti kemarin.    

Bukan TentangkuWhere stories live. Discover now