CHAPTER 5 - A CONFUSING FEELING

Mulai dari awal
                                    

Zara tersenyum sekilas kemudian mengangkat bahunya. Abi menghela napasnya.

"Itu alasan saya menuliskan karakter-karakter mahasiswa saya di buku catatan yang pernah saya tunjukkan ke kamu. Saya ingin melakukan pendekatan kepada mahasiswa saya. Agar mereka tidak hanya memahami apa yang saya ajarkan tapi juga mereka menambah kelakuan baik mereka. Makanya saya tahu mana mahasiswa yang memang rajin, pintar, malas dan bahkan yang hanya pintar bicara pun saya tahu. Tapi kamu, saya baru pertama kali menemukan mahasiswa dengan karakter seperti kamu. Dan saya merasa bahwa saya harus menunjukkan ke kamu betapa luar biasanya dunia ini."

            Zara tidak bergeming.

            "Saya yakin bahwa kamu tidak tahu dunia itu seperti apa. Kamu hanya menganggap dunia adalah tempat kamu berpijak setiap harinya tanpa memikirkan untuk apa kamu berdiri disini. Dan saya sangat yakin pasti ada penyebab kenapa kamu lebih memilih membungkam dan hidup dengan kehidupanmu sendiri."

            Zara membuka mulutnya seolah ingin menyuarakan pikirannya. Namun kemudian ia menutup mulutnya kembali dan mengalihkan perhatiannya dari Abi.

            Abi tersenyum melihat Zara yang hampir saja tergerak untuk berbicara namun kemudian ia menghela napas.

            "Apapun penyebabnya, saya tidak yakin penyebab itu cukup berhak untuk membuat kamu terdiam seumur hidupmu. Apakah kamu mau dikalahkan oleh penyebab itu?"

            Zara tetap tidak memperhatikan Abi, ia sibuk dengan pikirannya sendiri.

            "Zara, umur kamu baru 20 tahun. Perjalanan hidup kamu mungkin masih panjang. Kamu tidak bisa menyimpan segalanya sendiri. Kamu harus menyuarakan isi hati kamu agar orang lain bisa menerima kamu. Apa kamu tidak pernah membayangkan seperti apa kamu 20 tahun yang akan datang?"

            Zara mengangkat bahunya dan melirik jam tangan.

            Abi menghela napas, menyerah akan mahasiswanya tersebut. "Kamu boleh pulang. Tapi pikirkan apa yang sudah saya katakan."

            Zara tersenyum kemudian pamit pada Abi.

***

            Zara baru saja keluar dari lift ketika ia melihat Zafran sedang duduk di bangku yang terletak di lobby gedung jurusannya bersama Deeva dan Tatiana. Zara menghampiri mereka.

            "Hai, Zar. Gue udah nungguin lo dari tadi. Untung ada mereka yang nemenin gue." Sapa Zafran sambil merangkul Zara.

            Zara tersenyum pada Deeva dan Tatiana. Deeva dan Tatiana memang mengenal Zafran karena mereka pernah beberapa kali bertemu dengan Zafran saat bersama Zara.

            "Duh enak banget ya ada yang nungguin." Ledek Tatiana pada Zara.

            Zara hanya tersenyum mendengar ledekan Tatiana. Zafran memperhatikan Zara yang menurutnya berbeda. Zara yang merasa diperhatikan oleh Zafran langsung menatapnya. "Gue balik duluan ya, Deev, Ta." Pamit Zara pada Deeva dan Tatiana.

            Yang tidak Zara sadari, banyak orang yang memperhatikannya saat itu.

***

            "Kenapa gue ngerasa yang ada di samping gue ini bukan adik gue ya?" Ledek Zafran saat ia baru saja melaju mobilnya keluar dari lingkungan kampus.

            Zara menatap Zafran sekilas. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada jalanan di sisi kirinya.

            "Zar, gue suka melihat lo tersenyum." Zafran menghela napasnya ketika Zara justru menunjukkan ketidaktertarikannya pada obrolan tersebut. "Dari kecil, gue selalu melakukan apapun yang bisa bikin lo tertawa. Selucu apapun tingkah laku gue, lo hanya tersenyum."

            "Lo engga ke rumah Gia?" Tanya Zara mengalihkan pembicaraan.

            Zafran tersenyum sekilas. "Ternyata lo ingat soal Gia ya. Padahal lo engga pernah nunjukin kalau lo tertarik dengan Gia saat gue cerita tentang Gia."

            Zara menatap Zafran sejenak. "Lo engga ke rumah Gia?" Ia mengulangi pertanyaannya.

            Zafran mengangguk. "Nanti gue mau ke rumah Gia. Kenapa? Lo mau ikut?"

            Zara menatap jalanan didepannya. "Didepan ada pintu tol. Lo keluar di situ aja."

            Zafran menaikkan salah satu alisnya. "Kenapa? Rumah kita kan masih jauh. Dan rumah Gia juga engga keluar tol itu."

            "Gue ada urusan." Ucap Zara sekenanya.

            Zafran mengangguk. "Gue anterin."

            "Engga usah."

            "Tapi gue harus nganterin lo, Zar."

            "Engga perlu."

            "Zar, lo kenapa sih?"

            Zara menghela napasnya. "Keluar tol didepan."

            "Gue engga mau."

            "Kalau gitu, berhenti di bahu jalan sekarang."

            "Engga boleh, Zar. Bahu jalan cuma buat darurat."

            "Ini darurat."

            "Lo kebelet, Zar? Tapi engga dibahu jalan juga. Oke. Kita keluar tol dan nyari toilet buat lo."

            Zafran melaju mobilnya menuju pintu keluar tol. Ia memperlambat kecepatan mobilnya ketika sudah berada di luar tol. Ia terlihat mencari-cari suatu tempat.

            "Berhenti disini."

            Zafran melirik Zara sekilas. "Gue tau lo kebelet. Tapi jangan disini juga, Zar. Itu didepan ada café. Kita ke situ aja."

            "Berhenti, Zaf!" Zara meninggikan suaranya.

            Zafran menatap Zara dan menghentikan mobilnya demi mendengar nada suara Zara yang tidak biasa.

            Zara menarik napasnya. "Gue bisa pulang sendiri." Zara buru-buru keluar dari mobil karena ia takut Zafran akan menghalanginya.

            Zafran baru saja akan keluar dari mobilnya dan menyusul Zara namun gerakan tangannya terhenti karena klakson mobil yang terus bersahutan di belakang mobilnya, ia baru saja menimbulkan kemacetan. Zafran melajukan mobilnya untuk mengikuti Zara, namun Zara masuk ke jalan kecil yang hanya dapat dilewati oleh motor sehingga Zafran kehilangan jejaknya.

Sweet PeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang