"Gini," Ola tiba-tiba terlihat mengulur waktu. Gadis ini duduk di kasurnya dan menepuk kasur itu, meminta Adria duduk di sebelahnya. "Mama itu lagi pergi ke rumah Mbah Ti di Ponco Kusumo... pucuk gunung tuh. Rewang, ada yang mau jadi manten."

"Rewang? Bantuin nyiapin pernikahannya gitu? Sampai kapan?"

"Nah itu..." Ola nyengir lagi. Kali ini firasat Adria semakin memburuk. "Nikah adat Jawa kan lama. Persiapannya aja bisa seminggu, belum acaranya, terus beres-beresnya. Jadi ya... minimal dua minggu."

"Oh!" balas Adria kalem. "Sepi dong di sini. Terus, yang masak siapa? Beli di luar?"

"Nah... itu dia. Kamu kan pinter masak, Dri. Kamu bantuin aku masak ya. Sekalian buat para cowok itu. Kasihan mereka, dua hari ini cuma aku kasih nasi goreng sama telur, mana nggak enak lagi. Aku kan tahu batas kemampuanku, meski mereka bilang enak tapi aku yakin itu cuma basa-basi."

"Jadi..." Adria hampir kehilangan kata-kata. Tiba-tiba matanya terbuka. Desakan Ola, telepon bertubi-tubi yang memintanya mampir ke rumahnya dengan alasan kangen... semuanya adalah tipu muslihat?

"Ola!" Adria berteriak. "Jadi aku diminta ke sini buat dimanfaatin?" bentak Adria galak.

Ola segera menggelindingkan dirinya ke belakang. Ia terbahak di atas kasur. "Baru nyadar ya? Kamu sih, gampang dimakan rayuan!"

"Enak aja!" Adria menepuk pantat Ola yang membelakanginya. "Ogah ah, masak buat kalian!"

"Yakin?" Ola menggoda. "Cowoknya cakep-cakep lho. Calon dokter lagi. Yakin nggak mau? Kamu kan bisa pamer kemampuan masakmu. Ingat kan kata Papa, kalau mau menangin hati cowok itu lewat perutnya."

Adria tertawa, ikut merebahkan diri di samping Ola. "Itu kan si Oom... suka banget makan. Buktinya Oom nikah sama Tante yang sama sekali nggak bisa masak. Produknya juga sama saja nggak bisa masak. Tapi Oom tetep jatuh cinta tuh sama kalian."

"Yaelah... pakai nyodorin teori!" Ola geli.

"Itu fakta, tahu! Fakta!" balas Adria.

"Iya deh..." ucap Ola. "Eh, tapi beneran lho, kamu yang masak. Di sini beneran nggak ada yang bisa masak. Kan malu sama tamu-tamunya."

"Iya... iya... cerewet ah!"

*


Adria menggeliat. Matanya membuka dan sinar remang yang masuk melalui lubang berkuran 30x30 cm itu langsung membuat kaget matanya. Adria mengerjap, "Oh, Tuhan!" Tangannya segera menggapai ke samping, berusaha membanggunkan gundukan selimut di sebelahnya.

Selimut itu mengerang, jengkel karena dibangunkan. Isi di dalam selimut itu bergerak ke samping membuat selimut yang melilit tubuh Adria terbuka. "La! La! La!" Adria tidak tinggal diam dan kembali memukul gundukan selimut itu.

"Hm?" Ola masih belum mau membuka mulut dan mengerang di bawah selimut.

Adria menatap jam dinding itu dengan mata melotot. "La, jam kamarmu ini bener?"

Sunyi sejenak. Ola membuka selimut yang menutupi kepalanya dan menguap, "Enggak." Ola menjawab dengan suara yang tidak jelas.

Adria menghembuskan nafas lega. Tentu saja. Nggak mungkin jam itu benar karena sekarang masih gelap di luar. Tidak terlihat seperti jam 7 lewat 15 menit. Kalau jam itu benar artinya mereka telat bangun karena seharusnya mereka membuat sarapan untuk para mahasiswa itu, yang sampai sekarang belum bertemu muka dengannya. Adria hanya mendengar suara mereka semalam saat pulang menjelang tengah malam kemudian terdengar suara musik mengalun diantara printer yang bekerja memuntahkan hasil pekerjaan dua cowok itu.

"Jamnya kelambatan 40 menit tapi aku males benerin!" suara serak Ola melanjutkan beberapa detik setelah Adria menghembuskan nafas lega.

Adria menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Ola yang sepertinya belum menyadari apa yang terjadi. "Yakin nih?"

Adria melihat Ola mengerjapkan mata berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya yang masuk ke dalam kamarnya sementara jemarinya membersihkan kotoran matanya. "He-eh, jam berapa sih memangnya? Kemarin kita baru tidur jam empat ya kayaknya? Aku masih ngantuk."

Tak butuh waktu lama, Adria langsung meloncat dari tempat tidur dan meraih jam tangannya yang ia letakkan di atas meja rias. Jam 8 pas. Sial! Mereka benar-benar telat bangun. "Jam 8 nih," ucap Adria lemas.

Ola melirik Adria bingung. Memangnya kalau jam 8 kenapa? Mereka kan sedang liburan. Bangun lebih siang kan nggak apa-apa. Adria menatap jengkel sepupunya. "Sarapan? Ingat?"

"ASTAGA!" sekarang Ola sadar sepenuhnya. Ia langsung menuju pintu dan membukanya. Suara mobil yang distarter adalah suara pertama yang ia perhatikan. Gadis ini beranjak menuju jendela ruang tamunya dan melihat mobil perak itu keluar dari garasi rumahnya. "Mereka sudah pergi! Ya ampun... kok alarmnya nggak bunyi sih!"

"Memangnya kamu pasang alarm?" tanya Adria yang ikut mengintip di belakang Adria.

Ola nyengir dengan wajah bersalah. "Enggak sih. Ya ampun... gimana nih?" Sekarang gadis itu panik.

"Gimana apanya?"

"Itu... kita jadi tuan rumah yang nggak baik. Masa nggak kasih mereka sarapan. Minuman teh hangat kek atau roti."

Adria mengangkat bahu dan kembali ke kamar. "Eh, eh... kok malah masuk kamar lagi? Ngapain kamu masuk kamar lagi?"

"Tidur. Kan kita baru tidur jam 4 pagi." Adria mengutip ucapan Ola.

"Aduh gimana nih, kita tuan rumah yang buruk," Ola ternyata masih memikirkan itu.

"Kamu!" Adria berteriak dari dalam, meralat ucapan Ola. "Kamu tuan rumahnya. Aku juga tamu di sini."

"Bangun!" Ola menarik tangan Adria.

Sebentar saja, ucap Adria dalam hati. Ia ingin menikmati suasana mendung di pagi hari ini. Seperti hari itu. Hari yang selalu diingatnya sebagai hari yang bisa membuatnya tersenyum itu diliputi awan mendung kehitaman yang menggantung di langit.

*

EmpatWhere stories live. Discover now