Jika teman-teman seusiaku yang lain sedang asyik-asyiknya merajut impian dan cinta, tidak denganku. Aku tak mengenal keduanya. Aku tak punya impian dan tak mengenal cinta seperti mereka. Lebih tepatnya aku tak percaya cinta. Aku hanya percaya pada ketekunan bertahan hidup dan itu yang membuatku masih hidup sampai saat ini.
Aku bergerak saat ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Papa.
Saya ke Jakarta minggu depan.
Aku lekas membalasnya. See you soon.
Lalu melempar ponselku ke atas kasur sambil menarik napas dan duduk di tepi kasur. Aku membongkar isi tas sekolahku dan mendapati kertas undangan ulang tahun Natasha. Aku meraihnya dan membacanya lagi. Orang kaya memang hobi menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak penting. Hanya untuk mengadakan pesta ulang tahun, mereka rela membayar mahal demi menyewaa sebuah ballroom di hotel berbintang. Bahkan itu bukan pernikahan, hanya sekadar pesta ulang tahun.
*
Aku memutuskan untuk naik taksi ke Hotel tersebut lantaran malas menyetir jauh. Sebelumnya, aku menyempatkan diri ke salon untuk tampil sempurna. Tentu saja aku tak ingin tampil jelek di hadapan mereka.
Aku melangkah masuk ke sebuah ballroom yang sudah dihias sedemikian rupa dengan berbagai dekorasi bunga dan balon yang dirangkai indah. Orang-orang berdandan apik hilir mudik. Sebagian besar dari mereka masih anak sekolah, namun penampilan mereka bak Madison beer, Kylie Jenner, bahkan Gigi Hadid. Tampak pula beberapa artis remaja yang hadir di sana melengkapi keeksklusivan pesta malam itu.
"Hai, Laura.." sapa salah seorang teman satu sekolahku. "Kamu sama siapa ke sini?"
"Aku sendiri," jawabku.
"Wah, kamu benar-benar kelihatan cantik," pujinya.
"Kamu juga cantik," balasku memujinya.
"Ayo, gabung ke sana." Ia menarik tanganku. Aku bahkan tak ingat siapa nama wanita itu. Ia mengajakku bergabung dengan sekumpulan orang yang sedang mengobrol sambil menikmati minuman mereka.
Beberapa dari mereka mengenalku. Sudah kubilang, aku cukup popular di mata mereka.
"Kamu tinggal di mana? Kalau kamu nggak bawa mobil, nanti ikut kita aja," ujar mereka saat kukatakan aku naik taksi ke sana.
"Kemang," jawabku.
"Ohh." jawab mereka.
"Papa kamu bekerja di bidang apa? Mungkin aja papaku kenal." tanya salah satu dari mereka.
"Papaku menjalankan perusahaan pelayaran di Brunei."
"Ohh.." lagi-lagi mereka ber-oh.
"Jadi di sini kamu tinggal sama siapa?" tanya mereka lagi. Aku merasa seolah-olah sedang di interview oleh mereka.
"Aku tinggal sendirian."
"Papa dan mamamu tinggal di Brunei?"
"Mamaku sudah meninggal," jawabku tersenyum tipis. Kulihat mereka mengangguk paham dan menunjukkan sedikit simpati. Mereka pun tak lagi bertanya dan kembali melanjutkan obrolan yang mungkin tadi sempat tertunda lantaran kehadiranku.
Jujur saja, aku tak terlalu nyaman bersama mereka. Sepanjang obrolan, aku lebih banyak menjadi pendengar. meski dari luar kami kelihatan sekumpulan remaja yang hidup glamour, tapi aku berbeda dari mereka. hidupku tidak sama dengan hidup mereka. Tidak sama sekali.
*
Aku lekas bangkit dari kasurku saat kudengar bunyi bel. Begitu pintu terbuka, tampak seorang pria berusia 47 tahun yang berdiri di sana dengan koper kecil miliknya. Ia lantas memberi kecupan di dahiku sejenak lalu menggeret kopernya masuk. Aku pun lantas menutup pintu.
"Jam berapa tadi dari Brunei?" tanyaku sambil menuju dapur, menyiapkan teh hangat.
"Jam 1 siang. Tapi, penerbangannya delayed," sahutnya sambil masuk ke kamar.
"Oh," sahutku lalu mengangkat cangkir teh tersebut ke ruang makan.
"Laura.." panggilnya dari dalam kamar.
"Ya.." sahutku sambil menghampiri kamar tidurnya. Kulihat ia sedang membongkar isi koper kecilnya. Aku pun menghampirinya dan duduk di sisi tempat tidurnya.
"Untukmu." Ia memberikan sebuah kotak dengan nama brand sebuah jam tangan di atasnya. Aku pun menerima dan membukanya.
Sebuah jam tangan mewah berwarna putih, warna kesukaanku berada di sana.
"Suka?" tanyanya sambil mengambil handuk dari dalam lemari.
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari jam tersebut.
Kulihat pria yang tengah melepas kancing kemejanya itu sambil tersenyum. "Aku suka."
"Selamat ulang tahun yang ke-18," ujarnya sambil melepas kemejanya dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Aku tersenyum kecil dan berkata," Ulang tahunku sudah lewat 2 bulan. Tapi, terima kasih."
Ia kelihatan mengangguk dan berlalu dengan handuknya ke dalam kamar mandi. Pria itu, aku sudah mengenalnya sejak bertahun-tahun silam. Pria yang kuperkenalkan pada semua orang sebagai papaku. Meski nyatanya bukan.
"Laura.." panggilnya lagi dari dalam kamar mandi dengan nada berat.
Aku menoleh dan menatap pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Pria itu di dalam sana. Menungguku.Kuletakkan kotak jam tangan itu di atas kasur dan lantas bangkit dari sana. Aku berjalan perlahan dan masuk ke kamar mandi tersebut lalu menutup pintu dari dalam.
Hubungan kami lebih complicated dari yang orang lain kira. Gadis yang dianggap sempurna oleh orang lain ini, hanya ilusi. Aku bukan princess seperti di buku-buku dongeng. Aku sama sekali tak sempurna.
***
Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Laura? Baca next chapter untuk tahu rahasia Laura.
Happy Reading!
Jangan lupa vote, comment, dan juga follow.
Thank You
xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lover
Romance18+ Laura (18thn) dikenal sebagai gadis sempurna di mata orang lain. Cerdas, cantik, baik, dan kaya. Namun, orang-orang tak sadar bahwa gadis itu hidup dengan sisi kelam yang membelenggunya Kesempurnaan itu hanyalah ilusi semata. Ia hidup di bawah k...
Part 1
Mulai dari awal