Berubah

1 0 0
                                    

Aku masih duduk di trotoar, harusnya aku tak melalukan hal sebodoh ini untuknya. Pada akhirnya, aku kembali  berdiri dan kembali memasuki kafe yang sempat aku tinggalkan. Pria itu tersenyum senang ketika mendapatiku masuk kembali. Aku duduk dihadapannya, membanting tas tanganku ke atas meja, mengeluarkan handphone dan memainkannya tanpa menghiraukan dirinya.

"Kau kembali lagi, eh?" Dia mengacak rambut kecoklatannya. "Berubah pikiran?"

"Katakan saja apa maumu."

"Menjadi pacarku." Lelaki itu tersenyum senang.

Aku terbelalak mendengar perkataan orang ini, berkata tanpa dosa. Apa dia tak tahu yang baru saja ia bicarakan? Dia meminta seseorang menjadi pacarnya tanpa beban. Kurasa dia gila, lihat, sekarang saja dia sudah tertawa lebar. Aku mendengus kasar dan menarik tasku di atas meja, tangan kekarnya menahanku, mata elangnya tajam menusuk matanya.
Aku bingung dengan tingkahnya, sebenarnya dia kenapa? Tadi dia tiba-tiba meneleponku agar datang ke kafe Jupiter cepat-cepat. Dan dia seperti sedang ngomyang mengatakan bahwa dia menyukai diriku dan lainnya, sungguh random. Dan sekarang? Ia mengatakan diriku harus menjadi pacarnya? Aku benar-benar tak sudi. Cukup sudah.

"Kudengar angkot banyak demo sekarang." Suaranya tenang, sambil menyeruput kopi.

Huh, dipikirnya aku goyah? "Sayangnya, kakakku bukanlah tukang angkot."

Aku kembali berdiri, menarik keras lenganku yang ada di cengramannya hingga terlepas. Aku merapihkan baju yang sedikit kusut dan rok yang sempat kotot saat di trotoar tadi. Aku berjalan dengan langkah lebar sambil menghentakkan kaki, apa dipikirnya aku akan putus asa dan meminta lelaki itu mengantarku? Oh tidak terima kasih. At him higher dream, tidak akan pernah. Masih jelas kudengar tawa mendayunya dari radiusku, ia juga meneriakan bahwa kasus bocor ban juga makin menjamur. Tapi aku, tidak peduli sama sekali dengan segala omong kosongnya, memangnya dia polisi? Tahu bahwa angkot mogok dan marak kasus bocor ban?
Aku berdiri di halte, membuka teleponku dan menelepon salah seorang sahabatku, Hana namanya. Tak perlu waktu lama, Hana sudah mengangkatnya.

"Han, tau ga? Masa pagi-pagi si Daniel udah ngajakin gua ketemuan di Cafe Jupiter! Gila ga tuh anak? Trus masa tiba-tiba dia bilang kalo dia suka sama gua lah, katanya sayanglah dan bla … bla … bla …. Terus, dia juga bilang kalo itu angkot kenapa ya itu …,"

"Pada demo." Lanjut suara disebelahku.

"Iya pada demo! Trus …,"

"Banyak kasus pecah ban." Suara disebelahnya melanjutkan.

"Nah iya itu Han bener banget." Aku masih berteriak semangat.

"Gua ngomong apa Ven? Ga ngomong apa-apa deh." Suara Hana terdengar bingung.

Aku memalingkan kepalaku tepat sembilan puluh derajat, kudapati seorang pria dengan topi bermerk Shark berdiri manis. Dia juga tersenyum, walau kata Hana senyumnya manis, bagiku itu racun. Mematikan. Dia berkata, sudah diduganya bahwa aku disini dan menelepon Hana, kututup panggilanku dan ku berpesan bahwa akan kuhubungi nanti. Daniel masih tertawa dengan khasnya, berusaha menawarkan tumpangan untukku. Mau tak mau ki setujui, sambil ketekankan pada Daniel, bahwa aku tak menyukai seinchipun dari dirinya.

***

"Eh gua punya hosip besar, lebih besar dari bokong Nikki Minaj." Seorang lelaki dengan mulut lemes mendatangi mejaku dan teman-teman lainnya. "Masa ya, Daniel ngebonceng Steven pagi ini!"

Hana kaget bukan kepalang, padahal semalam dia dan Steven baru saja membahas soal Daniel. Dan, Steven mengatakan bahwa dia tak sedikitpun memiliki rasa untuk Daniel, bahkan dia memperingati Hana untuk menjaga jarak dengan Daniel. Steven juga menambahkan, bahwa Daniel bisa menjadi monster suatu waktu dan pemaksa. Otak Hana berputar, dia mendapatkan sebuah pemikiran kacau, dia menutup mulutnya. Teman-teman semejanya menatap Hana heran, mereka tahu perubahan yang terjadi dengan Hana sejak Reza -cowo mulut lemes itu- mengungkapkan berita itu. Hana dengan hati-hati membisikkan kalimat demi kalimat, yang pertama adalah yang Hana rasakan terhadap Daniel dan yang kedua adalah tentang hipotesanya terhadap Steven -tentu saja dengan tanpa mengatakan bahwa itu adalah hipotesa-. Semua ikut membelalakkan mata dan membuka mulut tidak percaya, Venus, cewe paling ramah sepanjang sejarah Kampus Indonesia Merdeka, tega melakukan hal senista itu? Tapi toh, itu dikatakan oleh Hana, sang korban. Siapa coba yang tak percaya dengannya? Selang sepuluh menit, Venus hadir sendiri, semua pasang mata sudah tertuju padanya.

"Anu, ini kenapa ya?" Steven bertanya polos terhadap Hana ketika Steven duduk di sebelah Hana.

Wajah Hana sinis sempurna, matanya menatap Steven dengan jijik dan smirk yang tidak pernah dikeluarkan. "Lo udah buat salah, masih ga nyadar?"

Steven makin bingung dibuat dengan Hana, "Lo apa-apaan sih?" Steven memutar otak kembali, "Apa gua lupa bantuin ngerjain kalkulus lo?"

Hana tertawa kencang, sampai satu kantin melirik kepada Hana seorang. Tatapan mereka ada yang terganggu, ada pula yang penasaran, Steven dan Hana terlihat tak akur. Hana menarik nafas, bersiap-siap meneriakan hipotesanya yang sekarang ia yakini sebuah fakta.

"Dengar semua," suara Hana menggelegar bagai mengguncang kantin teknik, "Kalian tahu 'kan dengan Steven Putri Abadi? Dia padahal tahu bahwa gua, masih suka Daniel, dan dia. Sebagai sahabat baik, dengan terang-terangan dia menggoda Daniel."

Semenjak itu semuanya berubah, tak ada lagi yang sama. Semua memandang remeh temeh seorang Steven, mengucilkan Steven, menganggap dia hanya kerikil saja. Steven padahal juga sudah berkali-kali mencoba menjelaskan kepada Hana tentang kesalahpahamannya. Tapi, apalah daya kuping Hana menuli ketika mendengar suara Steven.
Dan sekarang, Steven mendapatkan pelajaran, mana teman dan mana hewan berkaki empat yang rajin menggonggong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

G DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang