Waktu

7 5 2
                                    

Malam ini aku berjalan di tengah kehampaan, bermandikan cahaya dewi malam. Sebuah suara terdengar dari sekitar dan menarikku untuk mendekatinya.

Kulihat seseorang yang sedang putus asa, ingin mengakhiri hidupnya.

"Apa kau pikir itu akan membuat hidupmu berubah?" tanyaku kepadanya.

"Si-siapa kau? Jangan ikut campur urusanku!" ucap pria itu.

"Kau ingin usahamu sukses, bukan? Aku bisa membantumu," kataku.

"Membantuku? Memangnya kau ini siapa?" tanyanya.

"Kau ingin dibantu atau tidak? Tapi ada sesuatu yang harus kuambil sebagai gantinya." Aku pun mendekat ke arahnya.

"Benarkah? Aku rela memberikan apa saja, kau minta apa?" tanyanya bersemangat.

"Aku hanya meminta waktumu, itu saja."

"Waktu? Aku tak mengerti maksudmu," sahut pria itu?

"Kau jawab saja, kalau tak bersedia. Aku tak akan memaksamu."

"Tunggu! Aku bersedia. Akan kulakukan apa saja agar usahaku sukses," ucap pria itu.

"Baiklah, sekarang kau pulanglah ke rumah. Jangan pikirkan apapun. Besok pagi, hidupmu akan berubah."

Pria itu pun bergegas pulang dan melaksanakan semua perintahku. Waktu terus berjalan, dan pria itu mendapatkan apa yang ia mau.

Beberapa waktu kemudian dia kembali berada di sebuah persimpangan jalan, dan membuatku harus menemuinya lagi.

"Bagaimana usahamu? Bukankah kau sudah sukses? Tapi sepertinya kau tak terlihat bahagia."

"Kau, bukankah kau yang ...," ucapnya terputus.

"Ya, apa kau menikmati hidupmu?"

"Tidak, aku sekarat. Kali ini aku benar-benar ingin mati. Apa kau yang menyebabkan semua ini?"

"Hahahaha, aku hanya meminta waktumu."

""Lalu sebenarnya apa yang kau maksud dengan meminta waktu?" tanyanya dengan sedikit amarah.

"Baiklah, akan kujelaskan sedikit. Kau memang sukses, tapi apa kau ada ketika anakmu sakit sampai akhirnya meninggal? Apa kau berada di sisi istrimu ketika ia mengalami depresi dan membutuhkanmu? Kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu dan sama sekali tidak punya waktu untuk bersama keluargamu. Kau tak memiliki waktu untuk beristirahat dan menjalani hidup normal seperti biasanya, namun sebagai gantinya, kau sangat sukses, bukan?"

"Jadi itu maksudmu? Ya, aku memang tidak berada bersama mereka, tapi yang kulakukan demi kebahagiaan mereka," ucapnya.

"Hahahaha, itukah yang dinamakan kebahagiaan? Kau bahkan tak tau apa arti kebahagiaan, kau hanya mementingkan dirimu sendiri tanpa tau apa yang sebenarnya dibutuhkan keluargamu."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan. Sekarang aku memiliki penyakit dan dokter mengatakan ...," ucapnya terputus.

"Hidupmu tak lama lagi, bukan? Itu memang tujuanku," ucapku sambil tersenyum puas.

"Tapi kau tak mengatakan ingin meminta nyawaku," katanya.

"Jika aku langsung meminta nyawamu, itu tak akan mengasyikkan. Sekarang, nikmatilah sisa hidupmu!" seruku sambil meninggalkannya.

Perlahan ia jatuh tak berdaya, penyesalan memang selalu datang kemudian.

-END-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 31, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebuah PermintaanWhere stories live. Discover now