"Nanti malam ada waktu, nggak?" tanya Mas Bayu dari seberang telepon.

Aku melirik pada jam yang ada di atas meja belajar. Sudah pukul lima. "Emang kenapa?"

"Kamu udah pulang kerja, kan? Mau makan malem bareng, nggak?"

Tau, kan, akibat cinta, kita yang sakit bisa berubah menjadi orang yang sehat seketika?

"Iya. Aku ada waktu," jawabku.

"Aku jemput sekarang, ya?"

"Oke. Aku siap-siap dulu. Abis kerja aku masih dekil."

Oh, ya. Cinta itu bisa membuat kita menjadi pembohong ulung; yang tadi sakit, bisa menjadi sehat dalam seketika.

Budak cinta banget.

**

"Kok kamu nggak makan nasi? Kamu nggak diet, kan? Kurus begitu."

"Udah makan, tadi. Jadi mau makan ini aja," kilahku. Di depanku hanya ada coklat panas dan roti bakar dengan selai coklat.

Aku melihat di depan Mas Bayu ada nasi, dua lepek sambal beda varian, ikan bakar, kentang goreng dan jus melon. Dan dia makan dengan lahap sepeti orang yang memang lapar. Sementara itu, aku memakan pesananku dengan malas-malasan.

Apa yang aku takutkan untuk saat ini? Pertama, mutah. Kedua, aku membayangkan bagaimana rasa sambal bawang dengan sambal pete dipadukan menjadi satu dan bercampur dengan saliva.

Bukan mau gimana-gimana, tapi pertemuan pertama kali saja dia sudah berani seperti itu. Dan kemudian hubungan kami masih berlanjut. Dan pertemuan kedua kami, akan seperti apakah? Aku tidak mau sakit untuk kedua kali akibat membayangkan hal yang seperti itu.

Sial. Aku mual sekarang.

"Mas?"

Mas Bayu menanggapiku dengan senyuman. Mulutnya penuh. Dan aku merasa dia terlihat imut dengan pose seperti itu.

"Kamu emang suka makan di tempat lain, sementara kamu punya usaha makan sendiri?"

Mas Bayu mengangguk. Setelah dia menelan makanan dan minum sedikit, dia mulai menjelaskan. "Ibaratnya aku mau berbagi rejeki setelah aku dikasih rejeki orang lain. Semakin banyak kita berbagi, semakin banyak hal yang kita dapetin."

Aku cukup terpesona dengan jawaban yang dia berikan. Aku suka dengan cara pandang seperti ini. Menjadi saluran berkat buat orang lain itu emang bagus. Tapi, setelah aku pikir-pikir, dia berbagi rejeki dengan siapa, ya? Dengan aku, atau kafe yang terkenal mahal ini?

Ah, ya. Malam ini kami makan malam ditemani gerimis dan aingin malam di tempat makan yang penuh dengan tanaman-tanaman. Suasana adem dan romantis karena berada di bawah sorot lampu bolam yang temaram. Tapi, aku juga merasakan sedikit perasaan was-was. Seram. Beberapa kali bulu kudukku berdiri sendiri.

Dan boleh dibilang, saat menuju ke sini, kami menghabiskan waktu hampir satu jam perjalanan sambil mengobrol banyak. Dan juga, Mas Bayu mulai menggenggam tanganku hampir sepanjang perjalanan.

Romantis?

Bisa dibilang iya. Dan aku mules karena usaha dia untuk menarik perhatianku ternyata memercikkan benih-benih cinta. Ihir.

"Aku sama temenku pernah karena cuman pengen makan apa gitu, kami berdua pergi ke Jogja dan pulang setelahnya. Jadi pergi gitu hanya buat makan. Sehabis itu pulang," cerita Mas Bayu. Ada nada sedikit bangga di sana.

"Oh? Gitu, ya? Kalau aku berbeda. Aku jarang suka makan di berbagai tempat dan bela-belain pergi ke sana. Aku lebih suka makan masakan Ibu di rumah. Ibu udah capek-capek masak buat anaknya, masa nggak dimakan. Tapi, kalau emang Ibu nggak masak, kami pergi ke tempat langganan," ceritaku dengan maksud mengatakan jika aku itu setia dan tidak neko-neko.

"Wah, kalau kamu jadi pacarku, kamu kudu siap diajak makan kemana-mana, dong."

Kedua bola mataku serasa ingin keluar saat itu juga. Karena aku jelas-jelas menangkap rayuan yang dia lontarkan.

"Nggak tahu, ya. Aku itu kurang bisa diajak pergi jauh. Suka nggak kuat perjalanan jauh. Pusing, gitu."

Mas Bayu tertawa. "Kamu duduk manis aja, kok. Kalau ngantuk bisa tidur."

Nah itulah masalahnya. Aku nggak bisa tidur di tempat sembarangan dan aku belum yakin jika aku akan aman tanpa aku membuka mata untuk meningkatkan kewaspadaan.

"Kamu makannya kaya anak kecil," ucap Mas Bayu. Sontak, dia mengulurkan telunjuk dan mengambil tisu. Dia mengelap pinggir bibirku. "Cemong-cemong coklat bibirmu."

Aku mules.

"Aku selesaiin makan aku dulu, ya. Keburu dingin."

Ini adalah hal yang perlu aku catat : dia kalau makan tidak suka diganggu dengan obrolan. Jadi, sebisa mungkin harus meminimalisir obrolan.

Aku selesai dengan snack malamku. Aku cukup bersyukur karena aku tidak terbayang-bayang sesuatu yang pedas dan berasa bawang untuk sementara ini. Aku cukup terkesan dengan guyonan, rayuan, bahkan pendekatan Mas Bayu. Dan juga coklat. Aku suka sekali hal-hal yang mengandung gula.

Mas Bayu menyodorkan kentang goreng ke hadapanku. "Aku nggak kuat makan. Kamu aja yang habisin."

Aku mengangguk. 'Apapun bukan nasi, deh,' ujarku. Lambungku masih belum menoleransi.

Kami tidak menghabiskan banyak waktu di sana. Makan ya makan. Kalau ngobrol di perjalanan, kata Mas Bayu begitu.

Kalau soal membayar tagihan makan, orang yang mengajak adalah orang yang melakukan. Itu Indonesia. Dan sejujurnya aku juga nggak bawa uang banyak. Cuma selembar uang kertas biru. Sedangkan tagihan makan kami lebih dari dua kali lipat.

Kami berjalan beriringan ke mobil. Sambil menunggu dia menyalakan mesin, aku mulai memasang sabuk pengaman. Ingat: keselamatan saat berkendara adalah nomor satu.

"Gy?"

"Hm?"

Oh, ya. Karena namaku susah, Mas Bayu memutuskan untuk memanggilku dengan panggilan Gygy. Terdengar cukup... aneh.

"Sabuk pengamannya dicopot lagi bisa. Aku mau ngomong sesuatu," pinta Mas Bayu.

Aku menuruti apa yang dia katakan. Setelah lepas, aku bertanya balik. "Mau ngomong apa?"

"Mmm...," gumam Mas Bayu. "Mungkin ini terlalu cepet. Tapi, aku udah ngerasa sayang sama kamu. Kamu mau nggak, jadi pacar aku?"

Wait... aku nggak salah denger, kan?

[]


Aku mau tanya: PDKT yang ideal itu bagi kalian berapa bulan atau berapa minggu?

Apa bener kalau udah pacaran, bakal kangen masa PDKT? Soalnya pas PDKT itu kayaknya hari-hari yang dilalui itu lebih indah dari pada hari-hari pacaran. Bener?

Love Me HarderWhere stories live. Discover now