Gadis itu memberi elusan lembut pada wajah Aomine. Bergumam maaf dan meniupnya berharap rasa sakitnya akan hilang.
Aomine tidak merasa keberatan sama sekali toh tujuannya memang ini sedari awal. Dia tahu kebiasaan kelinci manisnya saat merasa bersalah. Aomine tak akan menjamin kelincinya mau melakukan ini saat dalam keadaan sadar.
Dengan hati berbunga-bunga, tangan kanan Aomine melingkari pinggang Hinata dan membawa tubuh gadis itu semakin mendekat padanya, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan kanan Hinata dan mengarahkannya pada bibirnya yang tipis. Bahkan, Aomine memberi kecupan sekilas pada jari-jemari Hinata.
"Disini juga sakit, my bunny."
Bluuussshhh...!
Wajah Hinata merona merah hingga ketelinganya juga. Buru-buru gadis itu menjaga jarak dari Aomine.
"A-aku buatkan ko-kopi dulu!"
Dan Hinata melesat cepat menuju dapur meninggalkan Aomine yang menyangga kepalanya dengan seringaian seksi juga kekehan menawan saat bunnynya hampir saja terjungkal.
*
*
*"Em... Ke-kenapa Dai-kun kemari?"
Hinata bertanya setelah keberaniannya terkumpul. Wajahnya masih saja merona mengingat apa yang tadi dilakukannya tanpa sadar.
"Menemuimu, tentu saja. Apa kau tidak membaca pesanku?"
Gelengan menjawab pertanyaan yang Aomine ajukan.
"Dasar, kebiasaan deh!"
Hinata tersenyum kikuk. Mengusap lengannya yang tidak gatal akibat merasa bersalah.
"Sudahlah, aku ingin menyampaikan pesan dari ibu. Beliau menyuruhmu datang untuk makan malam."
"Sendirian?"
"Kata ibu kau boleh mengajak keluargamu."
"Uum, baiklah."
"Pulang?"
Hinata mengangguk.
"Aku antar."
"Eh, tidak perlu Dai-kun. Aku..."
"Aku antar titik!"
Hinata mengkeret saat Aomine menatapnya tajam tanpa bantahan. Gadis itu menghela napas dan akhirnya mengangguk.
*
*
*Aomine dan Hinata berjalan beriringan. Sebenarnya, mereka berdua bisa saja menaiki kendaraan umum namun Aomine menolaknya. Laki-laki sangar tapi keren itu mengatakan jika berjalan kaki akan lebih bermanfaat. Hinata yang sejatinya penutut hanya manggut-manggut saja. Sebenarnya, ini bukanlah kali pertama Hinata diantar pulang oleh Aomine. Ini yang ketiga kalinya. Meski diantara keduanya tak ada percakapan namun mereka tetap merasa nyaman.
"Awalnya aku kira kau itu masih anak SMA lho. Tak tahunya kau sudah dua puluh tiga tahu. Wajahmu benar-benar menipu, bunny!"
Aomine memecah keheningan. Dia mengutarakan pikirannya yang mengganggu semenjak bertemu untuk pertama kali dengan Hinata.
Hinata menatap Aomine dari samping lalu tersenyum.
"Aku juga terkejut ternyata Daiki-kun masih muda. Aku kira sudah tua. Hihihi..."
"Ish! Tidak ada orang tua yang setampan aku tahu!"
Aomine menatap Hinata yang kini terkikik dengan pandangan sebal.
"Eeemmm... Daiki-kun terlihat muda saat tersenyum dan tidak cemberut. Apa kamu tahu, kamu itu menyeramkan saat diam apalagi cemberut."
Aomine menjitak kepala Hinata pelan. Merasa puas saat korban jitakannya mengaduh kesakitan dan memandangnya sebal.
"Jadi, aku harus terus tersenyum seperti ini?"
Aomine memamerkan senyumnya yang tulus dan menawan pada Hinata. Gadis itu terpana, langkahnya tanpa sadar terhenti. Pupil amethys itu menolak untuk berkedip seakan takut pemandangan indah didepannya akan hilang. Wajah porselen Hinata merona, degup jantungnya juga menggila.
Langkah Aomine juga terhenti mengikuti Hinata. Laki-laki itu mengeenyit, merasa heran dengan tingkah Hinata yang tiba-tiba diam dan memandangnya dengan wajah merona.
Aomine lalu menyeringai seksi. Tangannya tanpa izin membelai pipi chubby Hinata yang merona minta dikecup.
"Aku tahu aku ini tampan, mu bunny. Tapi, kau tidak perlu sampai meneteskan air liurmu seperti itu meski kau akan tetap manis dimataku."
Hinata terkesiap.
Gadis itu tergesa-gesa mengusap bibirnya untuk menyingkirkan air liur yang dikatakan Aomine. Tapi, Hinata tidak merasakan adanya air liur dibibirnya.Tawa Aomine menyadarkan Hinata jika dirinya baru saja dikerjai oleh Aomine. Gadis itu melotot. Dengan raut sebal yang kentara, Hinata mencubiti lengan dan perut Aomine.
"Da-dai-kun jahat! Kamu menyebalkan! Sangat menyebalkan!"
"Aw... Aw... Aww... Bunny, jangan mencubitiku. Hey...!"
"Biarin. Aku marah padamu, Dai-kun! Kamu sungguh-sungguh menyebalkan!"
"Awww...! Ok, ok. Maafkan aku, my bunny. Ampun!"
Hinata mencebikkan bibirnya. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Mode merajuk yang membuat Aomine semakin suka.
"Kau ngambek?"
"Tidak. Aku hanya marah saja."
"Oh, marah sama ngambek itu kakak adik lho, bunny."
Hinata menatap Aomine dengan mata melotot yang lucu dimata Aomine.
"Aku tidak peduli!"
Kekehan terdengar dari celah bibir Aomine. Laki-laki itu mendekat pada gadis manis yang masih kekeuh merajuk padanya.
Setelah dekat, tangan kanannya dia letakkan pada bahu mungil Hinata. Merendahkan tubuhnya agar bibirnya sejajar dengan telinga Hinata. Sedang tangan kikinya tersimpan nyaman didalam saku celana. Aomine menyeringai lalu berbisik rendah.
"Aku sangat menyukai mode merajukmu, bunny. Tapi, lakukan itu saat hanya ada aku saja. Kau tahu, saat kau merajuk dan tanganmu tersilang, aku bisa dengan jelas melihat seberapa besar dua semangka milikmu. Hmmm!"
Bluuussshhh!
Wajah Hinata merah padam setelah mendengar bisikan Aomine. Hinata tahu jelas apa yang dimaksud Aomine dengan 'semangka'. Tidak hanya itu, Aomine juga menggigit pelan daun telinganya dan semakin memerahlah wajah Hinata saat ini.
"ME-MESUUUMMM...!!!"
*
*
*~ TBC ~
KAMU SEDANG MEMBACA
About Love Story
FanfictionMengisahkan tentang cerita cinta yang berbeda dari seorang Hyuga Hinata dengan para kiseki no sedai. Setiap tiga chapter akan memuat cerita yang berbeda.
About Love Story _8
Mulai dari awal