14. Suatu kebiasaan.

Mulai dari awal
                                    

Tak bisa membayangkan jika aku harus kembali bersama Kak Bagas. Lalu membesarkan Qaira, aku tak mampu terlebih wajah gadis mungil itu yang persis seperti ibunya, benar-benar mengingatkanku akan sosok Mbak Fira yang telah tiada. Semua akan membuatku terasa sakit, aku tak mau lagi menjadi yang tertindas.

"Lin..." Aku terus berjalan menuju ruang persalian tak menyahuti panggilan Kak Bagas yang bersautan dengan suara tangis Qaira.

"Alian..."

Tak kuhiraukan panggilan Kak Andra, suara tangis Qaira, dan tatapan orang-orang. Kubuka pintu ruang bersalin, berjalan menuju mejaku. Melipat tanganku dimeja, menenggalamkan wajahku disana. Aku pun ingin menangis, sangat ingin.

"Lin kenapa kamu?"

"Alina, why?"

"Alina, mboten gerah?

"Alina?"

"Woy, sampean kenapa Alin?"

Tak kuindahkan berbagai pertanyaan dari para rekan kerjaku, hanya diam tak menyahut. Haruskah pagi hariku sesuram ini, bahkan aku baru sempat solat subuh dan menengguk segelas teh tawar. Tubuhku sehat, entah kenapa pil pahit ini harus ku telan. Menggetirkan lidah dan menyakitkan di leher.

🏩🏩🏩

Aku menjatuhkan tubuhku di atas karpet ruang keluarga. Tak perduli bahwa itu hanya berupa alas lantai karpet persia.
Jeritan kecil diujung lidah kutahan saat tubuhku berbenturan dengan lantai. Menengadah menatap langit-langit rumah.

Lelah sekali hari ini. Banyak pasien yang mengantri, walau aku sedikit terhibur dengan suara melengking dari bayi-bayi mungil yang masih merah.

Kupejamkan mataku, meresapi lelah ini. Bersyukur atas-Nya bahwa aku masih diberikan respon tubuh.

"Sudah solat Lin?" Tanya bunda, duduk di sofa sampingku  menyalakan televisi.

"Udah Bun."

"Sana mandi, bersih-bersih terus makan."

Aku menurut, berjalan menuju kamarku dilantai atas. Meraih handukku lalu masuk ke dalam kamar mandi. Setelahnya aku kembali turun dengan setelan baju tidur, tak perduli jam masih menunjukan pukul satu siang.

Duduk di samping Bunda yang tengah menatap tayangan TV tentang dunia hewan. Namun baru saja aku duduk bunda meraih remot, mematikan benda kotak itu. Seketika kulayangkan tatapan bertanya.

"Makan dulu Alina, kebiasaan kamu suka telat makan." Jawab Bunda seakan tahu tentang apa yang kufikirkan.

Ditariknya tanganku oleh Bunda menuju, ruang makan. Seperti anak kecil Bunda mendudukanku di kursi makan. Sejak adikku-Viona menikah Bunda memang sangat-sangat memperhatikanku, bukannya senang aku malah sedikit risih. Karena pada dasarnya aku memang bukanlah seseorang yang manja.

"Bunda... aku bisa ambil sendiri." Protesku saat bunda mengambilkan lauk pauk untukku.

Kurebut pelan piring yang tadi baru kuisi nasi putih, kini ada sayur bayam dan ayam semur diatasnya. Kuletakan dihadapku, lalu meraih sebuah piring lain berniat mengambilkan makanan untuk Bunda.

Namun seakan tahu akan apa yang ingin kulakukan Bunda mencegahnya. "Bunda sudah makan, Lin."

Baiklah aku hanya akan makan sendiri, tidak lebih tepatnya  bersama Bunda yang terus menatapku. Cepat-cepat ku kunyah nasi dimulut mengandalkan gigi graham, tak ingin rasanya mendapat tatapan seperti itu terlalu lama dari Bunda. Aku tahu tampaknya ada yang tak beres.

Kuangkat peralatan bekas makanku, menuju tempat cuci piring. Namun lagi-lagi aku hanya bisa menatap Bunda heran. Ketika Ia merebut benda itu dari tanganku.

"Ta...Ita." Bunda berseru memanggil Mbak Ita.

"Iya Mbak, kenapa?"

"Tolong cuciin ini yah, Mbak mau ngomong sama Alina dulu."

Setelah mendapat anggukan dari Mbak Ita Bunda menarik tanganku menuju taman belakang. Memintaku untuk duduk di bangku taman tepat disampingnya.

"Sini Lin duduk samping Bunda," pinta Bunda. Aku menuruh duduk disampingnya.

"Bunda kenapa sih aneh banget?"

"Ada hal serius yang mau Bunda kasih tau nduk..."

"Apa Bun?" Aku menatap bunda penasaran.

Bunda tampak ragu untuk memberi tahuku. Diraihnya tanganku, menggenggamnya hangat. Ini sangat tal biasa, sangat aneh.

"Tadi Mbak Diah, Ibunya Bagas nelfon Bunda Lin..." Bunda tampak gelisah, dia diam sejenak.

Aku benar-benar dibuat bingung. Penasaran? Tak perlu ditanya lagi.

"Iya kan biasa Ibu nelfon Bunda kan..." Setahuku Bunda kini kembali sering berhubungan dengan Ibu- orang tua Kak Bagas. Seperti dulu saat kami memiliki hubungan, jadi tak ada hal yang aneh atas itu.

"Dengerin Bunda dulu nduk..." suara Bunda mendayu.

Aku diam, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Dia bilang nanyain kamu mau ngga jadi istrinya Bagas ?"

WHAT...

Apa aku tak salah mendengar. Istri?
Istri Bagaskara Anggara? Mantan suami model majalah Fira Esmeralda? Orang tua tunggal dari seorang gadis kecil bernama Qaira Firabaskara Alina?

Seingatku ulang tahunku sudah terlewat beberapa minggu lalu. Benar-benar bingung sekaligus tak percaya. Apakah mereka tak tahu bagaimana perasaanku. Sudah berapa kejutan yang kudapatkan hari ini. Beruntung aku tak memiliki riwayat jantung.

Ya Allah dosa besar apa yang telah ku perbuat. Mengapa harus seperti ini?
Kenapa?
Kenapa jalan cerita hidupku lebih sedih dari sinetron.
Maafkan aku yang saat ini begitu lebay dan alay. Ketahuilah bahwa semua ini membuatku benar-benar ingin menangis.

*****************************************
Sabtu, 28 April 2018
Rabu, 3 Juli 2018

Maafkan saya kalo masih banyak typo harap dimaklum yah. Penulis baru.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang