Cinta Proletarian

Mulai dari awal
                                    

"Ma..maaf, silahkan." Singgih bergeser sedikit, Ayu langsung menyisip di sampingnya, aroma vanilla ikut mengayun di udara setelahnya.

Singgih hanya bisa memandangi gadis itu dari belakang, memandang rambutnya yang melambung lembut setiap ia berjalan.

"Ayu!" Sergah Singgih. "Eng....Be.... Besok malam mau makan malam?"

Singgih memberanikan diri.

"Dengan siapa?"

"Sa...Saya." Singgih bergetar menjawabnya. Ada penolakan dirasanya.

"Boleh, saya selesai shift jam sembilan, kamu jemput saya, ya."

Ayu menyahut seraya berlalu.

Pucuk dicinta ulam tiba, Singgih tidak jadi mengunci dirinya di dalam lemari. Matanya membundar mendengar jawaban yang tidak ia sangka barusan. Ada desakan yang mau mencuat dari tubuhnya, adrenalinnya terpompa cepat, ia akan meledak.

"Ya...Ya...Ya, akan saya jemput! Pasti!"

Singgih membalas yakin. Kepalanya mengangguk-angguk mirip boneka di dasbor mobil.

Singgih pun kembali menyisiri lorong kampung berdempet tersebut. Hanya saja kali ini, ia tidak lagi menunduk, langkahnya mendadak ringan, melambung begitu saja. Setelah dua tahun lebih hanya memujanya diam-diam, besok ia akan makan malam bersama gadis pujaannya. Akhirnya.

Sesaat Singgih lupa dengan janji Bima yang mau mengajaknya bekerja, sudah delapan bulan lamanya janji terucap, tapi Bima tidak kunjung kembali ke parkiran apotek. Lama sudah Singgih patah arang, kalau memang takdirnya menjadi tukang parkir, mau apa lagi.

Ah sudahlah!


..........

Kamar itu terasa sumpek dengan jendela yang berbentuk satu lajur sirip-sirip kaca nako. Satu kipas angin yang tertanam di dinding berdengung meniup udara panas yang tersimpan di dalam kontrakan sepetaknya. Untuk kali kesekian ia berdiri, menyimak rupanya di depan cermin, melakukan senam muka, menyisir rambut ke belakang, dan memastikan tidak ada lubang di baju terbaiknya.

"Pukul sembilan, pukul sembilan, tiga puluh menit lagi pukul sembilan," gumamnya di depan cermin. Tungkai kakinya tidak berhenti bergoyang, ini yang terjadi saat ia terlalu gugup.

"Oke, jalan sekarang."

Ia kembali berbicara dengan dirinya sendiri, tapi kakinya tidak kunjung melangkah. Ia malah kembali bercermin dan bermain dengan benaknya.

Bagaimana kalau nanti Ayu malah kabur? saya kan sudah tua, jelek dan miskin pula. Ia pasti malu berjalan dengan pria yang setiap hari makan mie rebus dan sudah lewat masa puber pertamanya.

Ia mulai mengutuk benaknya yang terus berpikir negatif.

"Pukul sembilan, pukul sembilan," ujarnya lagi, meyakinkan dirinya untuk bisa melangkah keluar.

Mini market tempat Ayu bekerja hanya berjarak dua puluh menit berjalan kaki. Lewat setengah blok saja sudah terlihat bangunannya, satu-satunya yang mengerlap karena diapit oleh bengkel servis AC dan servis motor yang sudah tutup sejak sore tadi.

Singgih menghentikan langkahnya saat melihat Ayu sedang berkemas merapikan meja kasirnya. Rambutnya yang diikat menari ke sana kemari seiring pergerakan kepalanya, menyapu lembut udara di sekitarnya dan juga hatinya Singgih. Ia sedang terhipnotis dengan segala gerakan Ayu, mulai dari caranya tersenyum sampai caranya memakai jaket. Bagi Singgih, Indira Ayu bukan manusia, dia malaikat yang kebetulan terdampar sebagai kasir mini market.

KINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang