“Kenapa dia nggak mau dipanggil ‘Pak’?”
“Karena dia ingin awet muda?” Jawaban Kai terdengar seperti sebuah pertanyaan. “Gue nggak tahu pasti. Yang jelas gue selalu memanggil dia ‘ma bro’.”
Aku mengangguk saja meski masih bertanya-tanya. Yah, mungkin pria paruh baya itu memang ingin awet muda. Aku memutuskan untuk melihat-lihat buku koleksi kios Dunia Mimpi ini. Tak ada buku sejarah atau buku pelajaran seperti yang tersedia di kios lain. Kios ini hanya menyediakan buku dongeng dari berbagai negara.
“Wow…”
Kai mendongak ketika mendengar decak kagumku. Ia tersenyum hangat dengan mata teduh. Aku selalu suka senyum itu. Terasa sangat… sangat… sangat Kai.
“Suka?”
Aku mengerjapkan mata. Apa katanya barusan?
“Eh?”
Kai mengangkat sebelah bahunya. “Lo selalu suka dongeng. Jadi gue rasa, mungkin ini tempat yang pas buat lo.”
Aku menghela napas. Sesuatu tentang cara Kai memerhatikan hal-hal kecil membuatku merasa hangat. Ia selalu seperti itu sejak dulu. Menjauhkan sambal ketika kami makan bakso bersama karena tahu aku tak suka aroma sambal. Memesankan lemon tea ketika aku datang terlambat untuk pertemuan kami. Membawaku keliling kota tanpa tujuan ketika aku sedang marah. Atau memasukkan lagu-lagu baru ke dalam I-Pod usangku. Hal-hal sederhana yang seringkali malah kulupakan.
“Thanks, Kai.”
“Untuk perjalanan ‘menghilang’ yang luar biasa ini?”
Aku mengulum senyum, tapi tetap mengangguk.
“Tapi ini nggak gratis, Vi.”
“Pamrih!”
Kai tertawa lepas, membuatku tersenyum. Aku sudah bilang kan bahwa tawanya menular?
“Nggak susah, kok. Mari bermain.”
“Apa?”
“Tantangan buku!”
Tantangan buku adalah permainan konyol yang kami ciptakan sendiri. Permainan ini tercipta karena kami sangat sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Cara memainkannya cukup mudah, sekaligus gila. Kau hanya perlu memilih satu buku, pejamkan mata, buka buku itu secara acak, lihat ke halaman yang kau buka, lalu baca kalimat pertama yang kau lihat. Tantangannya adalah, kau harus melakukan apapun yang kau baca.
Permainan ini sungguh menyenangkan. Kami memainkannya ketika sedang bosan, atau untuk menentukan siapa yang akan mentraktir makan siang. Tapi tak jarang permainan ini membuat kami tampak seperti dua idiot yang kurang kerjaan. Apalagi jika buku yang kami gunakan untuk bermain adalah novel-novel karya Andrea Hirata.
Pernah suatu hari di siang yang terik, kami nekad menggunakan novel Laskar Pelangi untuk bahan bermain. Beruntung aku hanya mendapat kalimat yang mengharuskanku menangis merengek. Tapi sial bagi Kai yang membaca kalimat pada bagian ketika Ikal dan kawan-kawan menari ala suku di pedalaman Afrika. Alhasil, terjadilah pertunjukan gila siang itu di tengah lapangan, di bawah sinar matahari yang terik.
Setelah hari bersejarah itu, banyak orang yang mengolok-olok Kai dengan menirukan gerakan konyol Kai siang itu. Oh, sungguh. Aku tak akan pernah melupakannya. Dan aku jelas tak akan pernah menolak ajakan untuk bermain permainan konyol ini. Maka kuterima tantangannya.
“Setuju!”
Aku memilah buku yang kebanyakan tak terlapisi plastik. Koleksi kios ini cukup lengkap. Buku-buku dongengnya adalah buku asli yang sudah bekas. Beberapa sudah lusuh dan menimbulkan aroma lapuk. Sebagian lainnya masih tampak bagus.
Aku menjatuhkan pilihan pada sebuah buku dongeng berjudul Pied Piper of Hamelin.
“Gue udah si…” aku berbalik dan melupakan apapun yang barusan ingin kuucapkan ketika melihat Kai memegang buku dongeng Cinderella. “Lo serius?”
Sebenarnya tak ada yang salah dengan dongeng itu. Hanya saja, Cinderella untuk Kai terlalu… terlalu… terlalu manis?
Lagipula dia kan sama sekali tidak menyukai kisah-kisah semacam ini!
Kai mengangkat bahunya, tampak tidak peduli. “Gue nggak ngerti soal dongeng. Tapi seenggaknya gue tahu cerita ini.”
Aku ikut mengangkat bahu. “Kita mulai?”
“Lady first.”
Aku menyipitkan mata. “Itu suatu bentuk penghormatan terhadap wanita, atau alibi lo aja biar gue mulai duluan?”
Kai meringis lebar hingga matanya kini menyerupai bulan sabit. “Dua-duanya alasan bagus, kan?”
Oh, tentu saja aku kesal. Tapi apa boleh buat?
Maka aku memutuskan untuk menuruti Kai dan memulai permainan. Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga aku tak mendapat kalimat sial. Aku membuka buku di tanganku lalu berhenti pada entah halaman berapa. Aku membuka mata dan berdoa lagi sebelum membaca paragraf pertama yang kulihat di buku itu.
“Ketika itu tampillah seorang asing di depan kerumunan orang banyak itu. Pakaian orang itu sangat aneh dan berwarna-warni. Di kepalanya ia memakai topi besar yang ada bulu meraknya. Kelihatannya dia lebih cocok menjadi pemain sirkus.”
Oh, sial. Doaku tidak terkabul.
Aku mendelik galak kepada Kai yang tega-teganya tertawa bahagia. “Ini nggak bisa dilakukan! Gue lagi nggak pakai baju warna-warni, Kai! Lagipula kita juga nggak punya topi besar dengan bulu merak!”“Oh! Kita bisa beli baju warna warni yang murah di Malioboro. Kita juga bisa mengabaikan bulu merak. Gimana kalo topi pantai? Sama-sama besar, kan?”
Aku merengut. “I hate you!”
Kai tertawa sekali lagi. Kali ini sampai kepalanya terkulai ke belakang dan tubuhnya mundur satu langkah. Dia tampak sangat bahagia di atas penderitaanku.
“Giliran lo!” perintahku bersungut-sungut.
Kai mencoba untuk meredam tawanya. Ia menyusut air mata yang terbit di sudut-sudut matanya. Terlihat sekali ia tertawa dengan sepenuh hati.
“Oke, gue mulai.”
Kai melakukan hal yang sama denganku. Ia memejamkan mata, mempelihatkan bulu matanya yang tebal dan panjang, hampir menyentuh pipi ketika ia terpejam.
Sejak kapan bulu matanya jadi sepanjang itu?
Aku pasti baru saja melamun, karena aku terkejut ketika Kai membuka mata dan membacakan paragraf yang ia temukan.
“Di pesta, sang pangeran tampan tidak bisa melepaskan pandangan matanya dari Cinderella yang terlihat luar biasa cantik dan menawan. Tidak menyayangkan kesempatan, dia segera mengajak Cinderella berdansa. Orkestra dimainkan dan pangeran mulai menari dengan gadis cantik yang namanya masih belum ia ketahui.”
Kai menggaruk pangkal hidungnya yang kuyakini sama sekali tak gatal. “Ini… kayaknya juga nggak bisa diwujudkan. Gue nggak mungkin dansa sendirian, kan?”
“Kamu nggak akan dansa sendiri, Kai.” Tiba-tiba Pak Moris sudah berdiri di antara kami. “Kan ada Nona Vi yang cantik ini siap jadi Cinderella.”
Aku kaget dan sontak menahan napas. Maksudnya aku harus berdansa dengan Kai? Seperti Cinderella dan pangeran? Oh, dear. Kenapa wajahku jadi terasa sangat panas?
“Tantangan buku dengan buku dongeng ternyata bukan ide bagus.” Kai berseru cepat dan mengembalikan buku yang ia pegang ke tempat semula, lalu mengalihkan topik pembicaraan. “Oh, Papa bilang akan kemari dua minggu lagi.”
Aku mundur beberapa langkah. Memilih untuk mengembalikan buku yang kupegang dan berpura-pura memilah buku lain. Tentu saja itu hanya alibi untuk menyembunyikan wajahku yang pasti sudah seperti kepiting rebus.
Berdansa dengan Kai?
Musik waltz yang lembut, kaki yang saling mengiring, tangan yang saling menggenggam, wajah yang saling…Oh tidak! Siapa saja, tolong alihkan pikiranku dari ini semua!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketch & Story
Short StoryAku mencintai kisah seperti aku mencintai perjalanan. Tapi pria yang mencintai sketsa itu telah mencuri sesuatu dari sudut hatiku. -Ovian- Gue nggak suka diganggu. Tapi cewek itu sudah mencuri pojok rahasia gue dan sebagian besar dari hati gue. -Ka...
Dua
Mulai dari awal