1. °Hari Paling Buruk°

Start from the beginning
                                    

"Aku takut, jika dia terus seperti ini, dia bisa sakit."

"Biarkan saja dia menenangkan diri, Sonia. Jangan memaksa dia, dia baru saja berduka. Dulu saat ibu kehilangan bapakmu, ibu juga merasakan hal yang sama. Beri dia sedikit waktu untuk berfikir jernih."

Sonia mendesah resah. Tidak bisa diam begitu saja. Keadaan Adrian benar-benar membuatnya merasa khawatir. Sepatah katapun tidak keluar dari mulunya.

"Tapi, bu. Aku tidak bisa membiarkan dia tidak makan seperti ini."

"Kalau dia lapar, dia akan mencari makanan sendiri, dia akan mengisi perutnya tanpa kamu memaksanya. Ingat Sonia, anakmu bukanlah anak kecil lagi. Adrian itu tidak sewajarnya kamu perlakukan seperti itu." Nek Ami bersikap tenang. Bukan tidak perduli, hanya saja tidak ingin mengganggu Adrian yang masih belum tenang. Sejak Bayi, Adrian selalu dia rawat, ketika Sonia dan  Alex sibuk bekerja, Nek Ami lah yang selalu menjaga Adrian. Jadi, dia lebih tahu bagaimana watak Adrian. Setelah Amel lahir, tante Sonia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, karena tubuh Amel yang tidak sekuat Adrian, anak perempuan itu sangat membutuhka ibunya saat jatuh sakit. Ketika demam, ia tidak mau diurus siapapun kecuali sang mamah.

"Aku ingin ke kantor." Adrian keluar dengan pakaian rapi, jas hitam kini membalut tubuhnya. Adrian ingin sekali menyibukan diri, agar dengan begitu bisa melupakan kesedihannya.

"Adrian, kamu benar-benar ingin ke kator?"

"Ya..."

"Tapi, kamu makan dulu ya."

"Aku tidak lapar. Kalau nanti aku merasa lapar, aku bisa makan di luar," jawab Adrian ketus, air mukanya sangat datar, sosok Adrian yang selalu hangat berubah menjadi dingin. Tante Sonia tidak pernah melihat Adrian berlaku seperti ini, sedih sampai berlarut hingga merubah dirinya menjadi sosok lelaki yang lebih banyak diam, bicara seperlunya dan itu membuat tante Sonia merasa asing dengan anaknya sendiri. Om Alex sudah lebih dulu pergi ke kantornya, sementara Amel sudah berangkat ke sekolah. Dulunya, setiap pagi Amel selalu menjadi bahan ledekan Adrian. Tubuhnya yang pendek dengan pipi yang tembem, Adrian sering memanggilnya bogel. Adik perempuan yang selalu ditarik pipinya, dilarang berpacaran karena Adrian selalu menganggapnya bocah sepuluh tahun. Sekarang, semuanya berubah. Tidak ada lagi Adrian yang jail, tidak ada lagi Adrian yang selalu merebut jatah segelas susu sang adik. Semuanya berubah semenjak hari itu, kematian Nabila telah membawa separuh semangat hidup Adrian.

"Yasudah, kalau gitu. Nanti, mamah akan suruh supir untuk nganter kamu."

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

Adrian menolak, lalu pergi begitu saja. Tidak mengucapkan apa-apa.

"Ibu liat sendirikan?"

"Itu hanya kekhawatiran mu, Sonia. Adrian masih bisa melakukan aktifitasnya saja itu sudah jauh lebih baik. Itu artinya dia bisa melupakan istrinya itu."

Di dalam mobil, Adrian tidak bisa fokus, ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, menguasai jalan raya tanpa memerdulikan orang lain. Adrian masih belum meyangka kalau istrinya sudah benar-benar pergi untuk selamanya. Awalnya, Adrian berharap semua itu hanyalah mimpi buruk, berharap bisa kembali memeluk istrinya. Namun nyatanya kebenaran sangat menyakitkan, Adrian harus menerima bahwa Nabila telah benar-benar pergi.

Nabila adalah gadis yang sangat lembut, suaranya karap kali nyaris tidak terdengar oleh telinga Adrian saat bicara, ketika Adrian memiliki masalah, Nabila berhasil menyejukan hatinya, membawanya tenang lalu mencari solusi bersama. Nabila tidak pernah membantahnya, ketika Adrian memintanya diam di rumah, tidak pergi kemana-mana, perempuan itu selalu menurut. Sekarang, tidak ada lagi yang akan memberikan itu semua. Dada Adrian mencelos sakit, menghentikan mobil di pinggiran, lalu menangis sesegukan. Adrian sangat merindukan Nabila. Biasanya, jam seperti ini Nabila sudah bersiap untuk datang ke kantor, menemui Adrian sambil berkata rindu, suara manja yang sangat Adrian rindukan, perempuan paling sempurna yang tidak akan pernah ditemukan dimanapun.
Sekarang, baru satu hari Nabila tidak ada di sisinya. Adrian sudah merasa mati, hidup di antara puing-puing kelaraan, Adrian ingin mati, ingin menyusul Nabila, jengah melihat dunia, bernafas di bumi tanpa Nabila benar-benar membuatnya tersiksa, Adrian telah melupakan ttuhannya sendiri.

***

Nek Ami duduk sendirian di dalam kamar, mendadak kembali dibawa ke dalam beban masalalu, kecelakaan yang menimpanya tiga belas tahun yang lalu, jika bukan karena perempuan itu, mungkin saat ini ia tidak akan berada di sini. Bisa hidup senang menikmati segala kemewahan yang ada, bahkan nek Ami tidak bisa memenuhi permintaan terakhir perempuan itu.

"To---long...," suara nek Ami terdebgar lirih, di kepalanya dibanjiri darah merah nan segar, kecelakaan besar sudah tejadi, badan bus menghantam pembatas jalan yang menghambat jurang yang tajam. Semua penumpang banyak terluka parah, bahkan nek Ami sudah hampir menangis, ia sudah tidak punya tenaga untuk keluar dari dalam bus itu. Kakinya terjepit lalu saat melihat percikan api, membuatnya semakin kekutan.

"Cepat, bu..." perempuan itu menarik tangan Nek Ami dengan kuat, mengekuarkan seluruh tenaga yang ada, mengabaikan rasa sakit yang sedang menghujam dadanya. Sebenarnya ingin sekali menyelamatkan semua korban kecelakaan itu, tapi semuanya sudah tergeletak tak sadarkan diri, hanya nek Ami yang masih bergerak lalu berusaha meminta tolong.

Nek Ami tidak tinggal diam, ia ikut berusah keluar, bersyukur masih ada orang yang menolongnya, apalagi perempuan itu juga sedang terluka parah.

Nek Ami menjerit, saat memaksa tubuhnya ditarik keluar. Tapi, perempuan itu berhasil membawanya keluar, berjalan tertatih-tatih menjauh dari badan bus.

"Terimakasih, karena kamu sudah menolong ibu."

Perempuan itu hanya mengangguk, berusah menahan rasa sakit. Sepertinya serangan jantung sedang menyapa dirinya, akibat terkejut karena kecelakaan itu, membuat jantungnya tidak bisa lagi bekerja dengan normal.

"Apa yang terjadi, sepertinya kau terluka parah."

"Jika sa---saya, tidak selamat..., to--tolong, ca---ri a--anak saya. Di-dia hanya sendiri, ti--tinggal di de--sa kecil, a--ayahnya, su--sudah lama, me--meni--nggal..."

Nek Ami mengangguk, dia pasti akan melakukan itu,

"Ibu akan mencari anakmu, tapi kamu harus bertahan sampai kita mendapatkan bantuan."

"Na--namanya, Ka---ka---," perempuan itu benar-benar semakin sulit bernafas, sepertinya ajalnya memang sudah semakin dekat.

"Ka--nia, dia ada, di ba--ban--dung, se---sendi--rian..."

"Kamu tidak usah khawatir, ibu berjanji akan mencari anakmu."

Saat itu juga, nek Ami menyadari bahwa perempuan itu sudah menghembuskan nafas terakhirnya, bersamaan dengan meledaknya bus yang membawa mereka menuju Jakarta. Nek Ami menangis, tidak tahu harus bagaimana, ia sendirian belum ada bantuan yang datang atau hanya sekedar orang yang lewat. Nek Ami mengambil tas yang masih menggantung di tubuh wanita itu, membukanya lalu mengambil dompet perempuan itu. Di sana ada foto gadis kecil, anak perempuan yang pastinya putri perempuan itu. Nek Ami berjanji, akan mencari gadis kecil itu, lalu mengangkatnya menjadi seorang cucu, anak yang akan menjadi teman cucu perempuanya.

"Maafkan ibu, ibu belum bisa menemukan putrimu. Sepanjang hari, ibu merasa bersalah karena belum bisa menemukan putrimu. Ibu tidak tahu apa yang terjadi pada anakmu itu, bahkan dia belum tau kematianmu. Siapa yang merawatnya...,"

Nek Ami menangis, puluhan kali pencarian itu hanya sia-sia, tidak tahu daerah mana tempat tinggal anak itu. Tapi, nek Ami berjani, akan terus mencari keberadaan Kania, anak itu berhak tau tentang kematian ibunya.

***

Bersambung

K A N I AWhere stories live. Discover now