"Tapi, hidup ini cuma sekali, Bar. Apa kamu sanggup, menjalaninya seperti sedang memasang taruhan pada sebuah judi?" sindiran Hendra mengenai sasaran. "Nggak semua kerusakan bisa diperbaiki, Bar. Apalagi, kalau itu kerusakan hati. Mau kamu cari di mana obat untuk kepercayaan dirimu nanti? Bila akhirnya, pilihanmu itu terbukti salah." Hendra mematahkan semangat Akbar yang menggebu-gebu dengan mudah. "Masa depanmu jauh lebih berharga daripada sekadar menuruti ego, Bar."
Biasanya, Akbar akan terdiam cukup lama. Mencerna baik-baik ucapan sang ayah, lalu mulai memproyeksikan kegagalan seperti apa yang menimpah dirinya, bila tak mengindahkan kata-kata pria penyelamatnya itu. Tetapi, seperti yang Akbar katakan, itu dulu. Sebelum ia tahu, ada Aruna dan calon anak mereka yang menunggu diperjuangkan olehnya. "Akbar nggak bisa nikahin Hesa, Pa," ujarnya tanpa keraguan.
Sirat lembut di mata Hendra memudar, berganti pendaran penuh selidik. "Alasannya? Hanya karena belum ada cinta di antara kalian?"
"Karena ada orang lain yang Akbar cinta."
"Ck, klasik," cibirnya membuang pandangan ke arah lain. "Banyak pasangan menikah dengan cinta. Lalu bercerai karena cinta mereka sudah hilang."
"Itu semua tergantung orangnya, Pa," sahut Akbar cerdas. "Papa nggak bisa menyamaratakan nasib orang lain dengan kegagalan pernikahan Papa," lanjut Akbar dengan berani. Lalu menarik napas panjang merasa menyesal menyinggung masalah tersebut di depan Hendra. "Akbar tetap nggak bisa menikahi Hesa," ia bersikeras. "Akbar mau kali ini saja, Papa terima pilihan Akbar."
Terjadi kekosongan suara beberapa saat. Karena baik Hendra maupun Akbar saling terdiam setelah mengeluarkan argumen mereka. Keduanya memilih berkutat dengan pemikirannya sendiri-sendiri, sebelum akhirnya Hendra menjalankan kursi roda untuk menghadap jendela.
"Papa nggak bisa terima alasan kamu, Bar," katanya pendek tanpa menoleh.
"Pa—"
"Oke, kita bicarakan masalah pernikahan kamu beberapa tahun lagi. Kamu nggak perlu kok, menikah dalam waktu dekat." Putus Hendra terkesan dingin.
Suatu keputusan yang membuat Akbar terjangkit percikan emosi yang semenjak tadi ia redam. Hah, apa kata papanya tadi?
Beberapa tahun lagi?
Ia belum diperbolehkan menikah dalam waktu dekat?
Astaga! Bahkan Akbar menginginkan pernikahannya digelar hari ini juga!
Ya ampun ... ini sudah tak mampu ia tolerir lagi.
"Akbar nggak bisa, Pa," gumamnya seraya bangkit.
Awalnya, Hendra hanya ingin menoleh. Tetapi, melihat betapa tajamnya Akbar kala menatap, membuat pria tersebut berbalik dan membalas anaknya dengan sama tajamnya.
"Akbar akan menikah dalam waktu dekat," ucapnya tanpa mengendurkan keseriusan. "Setelah berkas-berkas pernikahan lengkap, dan wali nikah calon istri Akbar tiba, maka pernikahan Akbar bisa dilaksanakan kapan saja."
"Papa nggak akan mengizinkan kamu," tutur Hendra sama seriusnya. "Kamu boleh atur apa pun yang mau kamu. Tapi pernikahan kamu, nggak akan terjadi."
"Pa!" ini kali pertama Akbar berseru kurang ajar di depan ayahnya. "Papa nggak bisa ngelakuin itu sama Akbar!"
"Oh, ya? kenapa nggak?" tantang Hendra tak takut. "Papa bisa berbuat apa saja, Bar, selama hal itu menyangkut kebaikan kamu. Papa akan pastikan, kamu nggak bisa menikah dengan siapa pun selain pilihan Papa!"
Menyugar rambut frustrasi, Akbar menendang meja karena ia tak pernah belajar bagaimana mengeluarkan emosi dengan memaki. Ia berbalik badan demi menentramkan amarah yang mengamuk di dada. Tetapi rasanya teramat sulit. Jadi, dengan napas sedikit memburu karena tengah berjuang agar tetap waras, ia pandang Hendra penuh kemarahan. "Akbar nggak akan menikahi siapa pun selain dia," sengaja Akbar menekan kata terakhirnya. "Kali ini, Akbar akan melawan Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Attention Of Love
ChickLit(PRIVATE) Karena bagi Aruna, jatuh cinta pada Prasetyo Akbar itu sangat mudah. Dengan segala apa yang pria itu punya, menaruh hati padanya bukan perkara susah. Sementara bagi Akbar, mencintai Salsabila Aruna amat rumit. Dengan segala hal yang mere...
42. Tak Hanya Sekadar Tabir
Mulai dari awal