4. Hortensia

Mulai dari awal
                                    

"Anda sudah bangun rupanya," tegur pria tua dari keluarga Duke yang menghampirinya disusul oleh Rosalind dan Alfred.

"Tuan Lyon," balas Olive agak serak. Suaranya aneh, tentu karena menangis semalaman.

"Putri Olive, bagaimana keadaanmu?" tanya Alfred. Sambil menunggu jawaban dia mengecup pelan jidat Olive. Lalu tangan kanannya mengelus lembut pipi ranum gadis tersebut.

Olive tersenyum simpul. "Jika ada kamu di sisiku, semuanya baik-baik saja, Alfred."

"Oh ya ampun! Hentikan lovely doley ini," ucap Rosalind. Gadis itu berkacak pinggang melihat pasangan yang menjalin asmara di tempat seperti ini. Matanya melirik kepada Olive, jadi mau tidak mau mereka harus bertatapan. "Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu."

"Apa?"

Alfred memegang bahu Rosalind, wajahnya memelas dan bibirnya berucap, "Nanti saja, Olive baru bangun."

Sudah pasti Rosalind tidak ada niatan berhenti. "Kenapa banyak bunga bokor yang tumbuh di kamarmu, Putri?"

"Bunga bokor?" Olive menautkan kedua alisnya, "bunga apa itu?"

"Demi apa! Keluarga Sperare tidak tahu apa itu bunga bokor?" balas Rosalind.

Lyon menjelaskan, "Bunga bokor adalah bunga yang hanya bisa ditumbuhkan oleh penyihir dan bunga itu juga hanya ada di Kerajaan Ranhold."

Olive mengangguk lemas, terlalu bingung untuk menjawab. Lagi-lagi yang dibahas penyihir, bosan sudah telinganya mendengar kata itu. Wajah Rosalind merah, bukan karena malu, justru sebaliknya. Kemarahan gadis itu tidak Olive mengerti.

"Anda harus melaksanakan hukum, Tuan Alfred," celetuk Rosalind.

Alfred menggaruk pipinya. Pandangannya teralihkan dari wajah Olive seraya dia mengembuskan napas. "Ada satu hukum, di mana orang-orang akan dihukum mati jika dia menyimpan atau bahkan berhubungan dengan para penyihir."

Olive membelalak. Tidak mungkin dirinya, kan? Dia pun angkat bicara, "Tapi aku tidak tahu apa-apa, Alfred. Percayalah!"

"Namun kamar Anda dipenuhi tanaman bokor! Mereka bunga milik penyihir. Bisa saja Anda kena kutukan mereka," ucap Rosalind bersikeras. Tangan gadis itu berada di di depan dada, memandangnya rendah dan membuat hati Olive seperti sedang ditusuk oleh sesuatu.

Olive kembali menangis, kedua tangannya mencoba meraih kerah lengan Alfred. Seolah pegangan itu ingin berkata 'Percayalah itu bukan aku'. Namun, Alfred bergeming, tidak ada satu pun jawaban yang dia lontarkan. Tidak satu kata pula yang terucap untuk menguatkan.

"Baiklah jika Anda tidak memercayainya, tetapi bisakah Anda jelaskan tentang stempel kerajaan yang hilang?" celetuk Lyon pada Olive.

"Aku tidak menghilangkannya!" sanggah Olive cepat. Matanya masih berlinangan air mata. "Sejak awal kotak itu tidak berisi stempel kerajaan."

"Tidak mungkin Raja menyerahkan kotak kosong padamu. Ah, tetapi Anda tetap bersalah dan hukum harus dijalankan. Meski keluarga Knight tidak menyetujui, hukuman harus diberlangsungkan. Empat lawan satu, percuma saja," lanjut Lyon.

Olive bangun dari posisi tidurnya, menggigit bibir bawah dan memelas. Seolah perlakuannya enggan mendengar apa pun yang akan dikatakan para bangsawan. Olive mengeratkan jari-jemarinya pada Alfred. Menatap tunangannya dengan berbinar-binar, berharap bisa membantu menenangkan hati. Namun, Alfred melepaskan pegangan Olive dari jemarinya. Dia juga menatap sendu gadis tersebut.

"Maaf." Kata itu terlontar dengan jelas di telinga Olive ketika Alfred menatap Lyon dan Rosalind, "Viscount menyetujuinya, Putri."

"Sebaiknya kita pergi, Tuan Lyon. Biarkan Alfred yang menjelaskan semuanya pada Putri Olive," usul Rosalind. Lyon menyetujui dengan anggukan. Keduanya berbalik meninggalkan ruang medis.

Alfred masih berdiri di sampingnya, menatap mata Olive. Jari-jemari Alfred menyelinap di antara jari-jemari gadisnya. "Harusnya besok adalah penobatanmu."

"Seharusnya kamu sudah jadi pasanganku," lirih Olive. Keduanya saling mengeratkan pegangan. Kembali dirinya membuka pembicaraan, "Apa hukumanku sangat sulit?"

Alfred bergeming. Di antara keheningan wajahnya semakin mendekat dan menghampiri Olive. Jarak antara keduanya hanya sepuluh sentimeter, embusan napas masing-masing terasa di permukaan kulit. Bola mata hijau Alfred begitu menenangkan layaknya daun-daun yang asri di musim panas. Bagi Alfred sendiri, mata biru Olive terlihat tenang, tetapi rapuh.

Alfred semakin mendekat ke telinga Olive dan berbisik, "Seandainya aku tidak terlahir sebagai anggota Viscount, tentunya bukan aku yang menjatuhkan hukuman mati untukmu, Putri Olive."

Alfred menjauhkan diri, tangannya meraih tangan kanan gadisnya. Dia menunduk hingga permukaan lembut bibirnya menyentuh punggung tangan Olive. Sekejap dia kembali melihat Olive yang menatap dirinya kosong.

"Aku mencintaimu, Putri Olive."

••••

"Alfred, aku mohon pertimbangkan kembali. Kita tidak mungkin memenggal kepala Putri Olive! Kita bahkan baru saja kehilangan Raja Kenneth!" Kyle langsung mendorong pria berambut pirang tersebut ke tembok.

Alfred baru saja keluar dari ruang medis dan panglima termuda menyambut dengan cara yang amat kasar. Dia membalasnya, turun berperang bersama raja membuat kekuatan fisiknya meningkat lebih. Bahkan dia mendorong Kyle, setidaknya dia terlepas.

"Perbandingannya terlalu sulit, empat banding satu. Hanya keluargamu yang menolak. Bahkan Sperare langsung menyetujui tanpa peduli kondisi Putri Olive saat ini. Lalu, kamu, Kyle. Kenapa kamu begitu keras kepala melakukan apa yang sudah hukum tuliskan?" balas Alfred.

"Apa kamu berniat untuk melihat tunanganmu sendiri mati di hadapan semua orang? Bukankah kamu mencintainya dan dia mencintaimu?" ucap Kyle tidak mau kalah. Tangannya mengepal, seperti siap untuk memukul lelaki yang menjadi sahabatnya.

"Memangnya aku bisa apa? Kita hidup di kerajaan dengan hukum di atasnya. Memangnya kehendakku untuk terlahir sebagai bagian dari Viscount?"

Alfred memilih pergi. Tidak perlu memanjangkan percakapan lagi, begitu juga yang Kyle pikirkan. Panglima tersebut lebih memilih menemui Olive ketimbang berurusan lebih lanjut dengan orang yang tidak mau berusaha. Melangkah lebih cepat, Kyle masuk ke dalam ruangan dengan semerbak rempah-rempah herbal.

Gadis itu menatap kosong ke depan. Kyle tahu apa yang Alfred perbuat, itu benar-benar keterlaluan. Dia semakin mengeratkan kepalan. Menahan amarah bukan salah satu kemampuannya, tetapi melampiaskannya pada Olive adalah hal yang paling tidak bisa dia benarkan.

"Putri Olive," panggil Kyle.

Olive mendongak dengan tatapannya yang kosong. " Kyle, aku ... mati?"

Kyle menggeleng. Dia tarik pelan tubuh Olive agar menyandar di dada bidangnya. Biarkan saja jika gadis itu mendengar degup jantungnya yang kencang. Biar saja jika kali ini perlakuannya tidak sesuai etika. Kyle hanya ingin Olive tersenyum, tidak masalah jika cerewet dan merengek, itu lebih baik.

"Aku akan mati, Kyle," lirih Olive dan tetesan air mata jatuh menuruni pipi. Kyle membiarkan air mata putri dari Kerajaan Lowind membasahi baju zirahnya.

"Aku tahu," bisik Kyle pilu. Hatinya mencelos, semakin erat pula dia mendekap Olive.

"Aku akan mati ...."

Tuhan inikah akhir hidupnya?

Hortensia's Tears (END) [dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang