"Oke, lo emang bener." Mike mendesah berat. "Lama gak ketemu lo, lo makin gede aja pemikirannya. Terus hubungan lo sama Revo gimana?"
"Gak tau," kata Vita pelan.
**
"Ibu," Vita menyapa ibunya dengan suara yang kecil. Keadaan sepi di dalam ruangan rawat inap itu tentu saja membuat ibunya menoleh.
Ibunya langsung tersenyum saat melihat Vita. Wanita muda yang bernama Mira itu tentu saja langsung menyambut pelukan hangat anaknya. Vita melepaskan pelukan tersebut lalu menoleh ke atah ayahnya yang terbaring disana.
"Papa kenapa sih?"
"Katanya sih Papa kena koma doang," jawab Mira. "Paling cuma beberapa hari."
"Lah, kalau beberapa hari doang ngapain aku kesini segala?" tanya Vita tak bersalah.
Mira langsung melotot ke arah anaknya, namun segera ditepisnya dengan senyuman kecut. "Ceritanya sih, mau ngajakin kamu jalan-jalan disini."
"Ya ampun deh, Bu! Aku udah kelas tiga, bentar lagi ujian loh," ujar Vita tak sabaran. "Intinya kalau Papa udah bangun, aku mau langsung pulang aja."
"Oke, Ibu salah," kata Mira dengan pelan. "Kamu pulang aja secepatnya. Ibu lupa kalau kamu udah kelas tiga."
"Makasih, Bu."
**
Sorenya, Vita mengajak Mike untuk menemaninya berkeliling mencari cenderamata untuk anggota The Milway.
Mengingat The Milway, ia jadi merasa bodoh karena mengatakan hal itu terakhir kali bertemu Iqbaal. Ada yang aneh dengan jalan pikirannya, padahal jelas-jelas ia menganggap bahwa Iqbaal hanyalah temannya.
Hanya temannya.
Tapi, seorang teman bisa berubah menjadi lebih bukan? Tidak ada yang bisa menolak hal tersebut. Terutama, tak ada salahnya apabila mereka menjalin hubungan lebih. Hanya saja, ia merasa bahwa ia tidak tepat menganggap Iqbaal lebih dari sekedar teman.
"Vita!"
Teguran Mike sontak membuat Vita langsung gelagapan. Mike pun dengan malas memutar bola matanya lalu menarik nafas panjang.
"Vita, lo daritadi spaced out! Lo ada masalah?" tanya Mike. "Kalau lo ada masalah, lo cerita sama gue. Apa masalah lo? Siapa tau gue bisa bantu lo."
Kini giliran Vita yang menghela nafas panjang. "Bisa kita duduk dulu? Di kafe?"
"Oke."
Keduanya berjalan menuju sebuah kafe terbuka yang cukup sepi sebab hari masih sore. Biasanya orang Inggris akan berkumpul di kafe menjelang malam atau selepas mereka pulang kantor atau juga pulang sekolah.
Sebuah meja di dekat jendela yang strategis menjadi pilihan mereka. Setelah memesan dua Capucchino, Mike pun buka suara.
"Jadi, masalah lo apa? Revo?"
Vita menggeleng pelan dengan wajah suram. "Ini bukan soal Revo. Ini soal temen gue yang lain. Na-"
"Sorry, potong," ucap Mike. "Lo serius ini bukan soal Revo? Setau gue temen lo kan Revo, Iqbaal, Hafiz, dan Dennis. Jadi siapa cowok itu?"
"Nah, itu gue baru mau nyebut namanya. Gue ada masalah sama Iqbaal," kata Vita pelan.
Mata Mike membulat. "Iqbaal? Lo suka sama Iqbaal atau dia yang suka?"
"Gak dua-duanya. Ini soal jalan pikir gue yang akhir-akhir ini agak gak jelas," kata Vita. "Gu-"
Lagi-lagi, ucapan Vita harus terpotong. Seorang pramusaji datang dengan sebuah nampan yang diatasnya terdapat dua buah Capucchino. Pramusaji tersebut melirik ke arah Vita yang memasang wajah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anything ✕ CJR
FanfictionIqbaal Dhiafikri Ramadhan tidak pernah menyangka bahwa keadaan band yang telah ia bentuk sejak SMA bersama ketiga sahabatnya akan terancam bubar. Pravitasari Utami yang selama ini bersahabat dengan Iqbaal sejak SMP sedang sibuk mengejar sosok kakak...
[13] Video Call
Mulai dari awal