24. Yang tak dianggap

Mulai dari awal
                                    

Bahkan, Farah yang biasanya adalah orang pertama yang bakal minta maaf kalo terjadi kayak ginian. Cuma bisa ngelihat. Dan diem tak berkutik. Karena kita telah jauh-jauh hari lalu nyerah sama Pak Bams. Udah jauh-jauh hari lalu kita ngerasa nggak punya wali kelas. Jadi, buat apa mempertahankan apa yang udah nggak kita anggap ada.

Semuanya nggak guna.

***

Keesokan harinya.

Lo pikir Haris bakal nggak masuk dan bilang alasan sakit karena habis menyindir wali kelas kita. Jawabannya, Haris enggak se-pengecut itu buat kabur atau lari dari apa yang pernah dia lakuin kemarin. Dia masuk, masih dengan tampang tanpa dosa. Matanya terlihat sayu ala anak habis begadang akibat push rank. Sambil rambut keriting nya berantakan.

Duduk, naroh tas, lalu kembali merapatkan jaketnya buat tidur. Padahal sekelas udah pada heboh, penasaran apa yang akan dilakuin Pak Bams. karena guru itu nggak bakal cuma terima gitu aja. Pasti dia udah menyugesti guru-guru lain dan bilang kalo dia diapa-apain.

Hilih, lambe turah.

"Kira-kira apa yang bakal dilakuin Pak Bams?" Risma duduk di depan gue nyeletuk.

Gue angkat bahu bentar. Mencoba menebak. Tapi nggak ada yang bisa ditebak. Semuanya burem. "Aku juga nggak tahu Ris. Kemungkinan hari ini kuping kita panas. Habis dikultum sama guru BK."

"Btw nih Ta. Kemarin Okta keren tau. Si Haris yang susah dikendaliin emosinya bisa diatasi lo sama Okta. Bayangin Okta ngelawan cold boy abal-abal kayak Haris."

Pertama gue pingin muntah denger pernyataan Risma. Haris yang notabene -nya bobrok dibilang cold boy. Ini minusnya Risma nambah kayaknya. "Iya sih Ris. Si Okta lumayan keren lah."

Belum juga gue puas rumpiin Okta dan aksi Heroisme nya kemarin. Tapi Bu Ida selaku Guru BK di sekolah kita langsung masuk. Gue mempertebal pendengaran aja. Soalnya kultum kalo sama orang ini tuh lama. Bisa sampe dua jam penuh.

"Saya denger kemarin ada insiden? Apa benar?"

Udah sangat tertebak kalo Pak Bams juga ngelapor sama guru-guru. Dan guru-guru yang masuk kelas kita untuk pelajaran hari ini kayaknya akan mengkultum kita. Jadi marilah kita ucapkan selamat untuk delapan jam pelajaran ke depan kita akan kebanjiran kultum.

"Iya bu." Haris yang jawab ini dengan lantang.

"Dan kamu sendiri pelaku nya Mas Haris?" Bu Ida menaikkan dua alisnya. Membuat Haris segera mengangguk pasti.

"Kenapa? Kamu tahu itu tindakan tidak sopan kan?" Haris tersenyum miring sebentar. Bukannya tambah takut, ini anak makin membusung kan dadanya percaya diri. Muka kucel kurang tidurnya sekarang tertutup dengan aura hitam yang tiba-tiba datang.

"Saya tahu. Setiap upacara selalu diingatkan, dan saya tidak cukup tuli untuk tidak mendengarkan. Lagi pula otak saya juga punya ingatan yang hampir dibilang tajam."

Pret! Otak ingatannya tajam. Kok bisa nggak inget pelajaran ya. Kok bisa kalo ulangan masih nyontek.

"Tapi yang beliau lakukan pun hanya diam. Nggak pernah peduli. Cuma mandang, katanya kita harus mandiri. Disaat kita mandiri beliau justru minta kita agak nggak terlalu bebas."

"Kalo ibu mau memberi saya poin silahkan. Saya nggak takut. Karena kalian terlalu mengekang. Bukan generasi yang baik yang tercipta. Justru generasi pembangkangan yang ada. Peraturan ini lah. Itulah. Bacod banget buk."

Untung ini Bu Farida. Bukan yang lain. Kalo yang lain udah gue jamin itu pipi nya Haris yang bengkak akibat kemarin. Pasti sekarang kena tampar lagi.

"Haris. Saya mohon kamu memaklumi tingkah wali kelas kamu. Setiap ada kunjungan wali kelas saya selalu mengajak wali kelas kamu untuk ikut. Tapi beliau justru menolak. Dan beralasan."

"Pembohong..." Haris menatap mantap Bu Farida.

"Wali kelas kita pembohong Bu. Dia bilang dulu yang bikin dia senang adalah kumpul bareng sama kita. Tapi nyatanya. Dia pembohong dengan kabur. Padahal kita nggak pernah sekalipun mau nagih apa-apa. Kita cuma butuh dia sadar dan ada. Udah." Haris kembali berbicara.

Bu Farida tersenyum kalem. "Dia selalu dukung kalian."

"Buktinya?"

Bu Farida tercekat. Nyatanya memang Pak Bams nggak pernah peduli sama kita yang nggak bisa bikin harum namanya. Bikin namanya dibanggakan menjadi guru terfavorit. Nyatanya Pak Bams cuma sayang sama klub bola kesukaannya. Nggak lebih.

"Bu, tau kan rasanya yang tak dianggap?"

***

Hari bergulir terus. Kelas kita bagaikan mimbar buat ceramah. Nggak pagi, siang, makan, istirahat. Banyak yang menggunjing saat lihat badge lokasi kita. Kelas kita dipandang rendahan.

Setiap guru kalo ketemu kita selalu bilang "Kamu yang dari MIPA 2 kan? Yang kelasnya nggak punya aturan."

Ingin saja diriku bilang dan ngomong. Aku tuh nggak denger lagi pakek kacamata soalnya. Tapi nyatanya nggak bisa. Cuma bisa senyum kikuk. Menelan ludah kasar. Sambil ngumpat dalam hati.

Dengan beredarnya kabar nggak punya sopan santun itu. Kakak kelas sama Adik kelas banyak yang mulai penasaran wajah Haris. Dari kepo instagramnya, sampai stalker Facebook nya. Dari yang suka titip salam, sampe lempar jajan ke kelas.

Tapi Haris ya Haris. Cuek, bodo amatan, dan nggak peduli sekitar.

Jadi, waktu hari itu jadwal kunjungan wali kelas dan Pak Bams nggak dateng.

Haris dengan berani ngomong, "Gue yang jemput dia."

Auto terjedogh aku.

***







[Jangan ditiru tingkah Haris ya. Soalnya nggak baik. Btw, ada yang mau rekomen judul buat Kelas Archi Romance.

Soalnya otaku nggak bisa mikir lagi.

Dan sudah kuputuskan. Castnya Alta, Haris, Budi, dan Firman. Kita lihat ketiganya jadi apa di mata Alta.

Oke, byee

Regards, Isnah]

Kelas ArchimedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang