"Tck, jadi orang tuh yang hemat gitu loh, Na!" Gue membuka tas, mengambil dompet lalu mengeluarkan selembar uang hijau kemudian kembali menjabat tangan Nana. "Lo itu mesti mulai belajar menumpuk pundi-pundi harta, jangan jajan mulu!"

"Ini lagi ngumpulin," cibir Nana. "Dah, ah! Gue cabut ya, Kak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati lo."

Nana membunyikan klakson dua kali sebelum akhirnya pergi. Gue cuma bisa mengamati sambil menggeleng pelan sampai sosok Nana gak terlihat lagi.

Berbalik badan, gue masuk ke dalam. Gue duduk di kursi panjang sambil baca novel sembari menunggu Sisil datang. Harusnya sih, gak lama lagi. Karena dia juga udah berangkat dari tadi.

Iya, gue gak berniat untuk naik sendiri.

Benar aja, gue baru habis dua halaman dan mobil Sisil udah nampak di parkiran. Begitu Sisil keluar dari mobilnya, gue menutup novel dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Dari tadi, Nar?" tanyanya.

Gue menggeleng pelan. "Gak juga."

Sisil mengambil tempat di sebelah gue. "Draft patennya?"

Gue mengangkat map plastik sebagai jawaban.

Sisil mengangguk sambil tersenyum senang. "Kak Dirga kayaknya telat."

Udah biasa. "Oh, kenapa? Emang kemarin janjiannya jam berapa?"

"Gak ada jam janjiannya, cuma sebatas pagi doang. Kemarin bilangnya nanti dia ngabarin kalau misal gue udah harus jalan juga."

Sampai segitunya? Intens amat. "Tapi lo udah nyampe sini. Terus dia mana?"

"Iya. Tadi pas gue ngabarin kalau gue udah dekat kampus, dia balasnya gitu."

"Ha? Gitu gimana?"

"Katanya dia bakal agak telat sampai sini, soalnya singgah beli alat dulu entah di toko mana. Katanya sih, kebutuhan lab."

Banyak alasan banget. "Oh, ya ud—"

"Nah! Itu orangnya datang!"

Jiah ... jadi gue harus bilang panjang umur, nih?

Gue tersentak begitu tangan gue ditarik. Sisil. "Cus!"

Perjalanan menuju lab di lantai 4 gak pernah terasa mudah bagi gue. Kak Dirga bisa naik dengan tenang karena mungkin dia memang se-akrab itu dengan tangga. Sisil mungkin baik-baik aja karena dia mencoba berteman dengan para anak tangga, menjadikan mereka alat untuk olahraga karena sehari-harinya dia terlalu malas untuk melakukan kegiatan itu. Tapi gue, bahkan dengan udara pagi yang sejuk bekas hujan semalam, masih gak bisa bernapas dengan normal ketika sampai di atas. Gue selalu butuh istirahat di lantai tiga, entah karena kaki yang terlalu lelah atau karena rongga dada yang terasa kehabisan pasokan udara.

Sampai di atas kita masih bertiga, mengambil tempat masing-masing dan mengurusi pekerjaan masing-masing.

"Kak, ini udah saya perbaiki," ucap gue dari jarak yang cukup jauh dari mejanya.

"Simpan sini," balasnya dengan mengetukkan jari di atas meja, masih dengan mata yang fokus ke laptopnya.

Gak masalah, sih. Gue juga gak memaksa dia baca sekarang.

Sebelum mulai kerja, kita bertiga sempat diskusi sejenak, memastikan kesiapan alat dan bahan, serta hal-hal teknis tentang laporan yang harus disusun nantinya. Lalu tiba-tiba hp Sisil bergetar, ada pesan masuk di LINE, yang menyebabkan rencana hari ini harus diundur lagi, entah berapa lama.

Dosbim | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang