1

113 2 0
                                    

Gedung perkantoran tempat kuberdiri saat ini adalah gedung lima puluh lantai yang terbilang baru selesai dibangun. Memiliki bentuk yang mengingatkanku dengan gedung 432 Park Avenue di Amerika Serikat, lurus ke atas seolah sedang berusaha menggapai langit. Berdisain modern dengan kaca-kaca besar di setiap lantainya.

Maximillian Tower.

Kurapikan lengan kemeja putih kemudian rok hitam yang kukenakan, menyingkirkan debu dan beberapa helai rambut nakal yang menempel.

Sebenarnya ini bukan tugasku, aku hanya menggantikan ayahnya Vania —sahabatku yang sedang sakit disaat Vania sibuk dengan kuliahnya. Sebagai sahabat Vania yang memiliki perkerjaan paling fleksibel di antara lainnya tentu akulah pilihan utama untuk menggantikannya.

Menghela napas, sebenarnya ini tugas yang sangat mudah. Cukup titipkan undangan ini pada resepsionis, setelah itu aku bisa bebas.

Yah bebas. Bebas mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang namanya sudah kucatat. Perusahaan yang memasang iklan lowongan pekerjaan di koran atau website pencarian kerja. Daripada hanya menjadi pelayan di kedai bakmi yang kecil.

Diusiaku yang ke dua puluh lim tahun ini, aku masih bermimpi untuk melanjutkan kuliah dan bekerja di perusahaan besar setelah lulus. Tidak salah kan?

Tapi masalanya, kakiku terasa berat untuk melangkah masuk ke sana.

Untuk kesekian kalinya aku memastikan nama yang tercetak di undangan sama dengan nama yang tercetak pada batu alam besar di depanku, dengan kepercayaan diri yang kubuat setinggi mungkin. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam gedung. Melewati lobi mewah berwarna emas yang luas kemudian naik ke lantai tiga puluh.

Perkantoran di gedung ini memang terletak dari lantai tiga puluh sampai lima puluh. Lantai satu sampai dua puluh sembilan digunakan sebagai hotel dan restoran mewah. Sesuai keterangan penjaga keamanan yang tadi kutanya.

Maaf, aku lupa melihat nametag yang menempel di dada kirinya.

Lobi perkantoran ternyata tak kalah mewah dari lobi hotel tadi. Lantainya berlapis marmer hitam yang mengkilat, lukisan abstrak berbagai warna menempel pada tembok yang dicat putih gading.

Kuulurkan kartu keamanan yang bertuliskan PENGUNJUNG pada resepsionis perempuan berwajah sangat cantik. Bermata biru yang kupikir adalah lensa kontak dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.

"Saya Jasmine Cantika dari PT Baja Indo."

"Ibu Jasmine Cantika. Silahkan tunggu sebentar, Pak William sedang ada tamu. Selama menunggu, silahkan mengambil minuman dan buah atau makanan ringan di lemari es di sebelah lift yang tadi Ibu gunakan." Senyumannya tidak hilang saat mengatakan itu.

"Oh, tidak usah Mbak. Saya cuma mau mengantarkan undangan dari PT. Baja Indo." Kuulurkan undangan tersebut pada si cantik yang ramah ini.

Si cantik tetap tersenyum saat berkata. "Pak William ingin Ibu yang mengantarkannya langsung pada beliau."

"Oh, oke." Mungkin beliau ingin memastikan jika undangannya tidak hilang.

Lobi ini sangat sepi, hanya ada aku, dua orang lelaki yang sedang duduk sambil membaca majalah, si cantik yang sibuk mengetik sesuatu di komputernya dan office boy yang berulang kali mengepel lantai yang sama sekali tidak kotor.

Entah sudah berapa kali aku mendapati si office boy itu sedang mencuri pandang pada si cantik. Kadang melirik sambil mengelap kaca jendela besar di sampingku, mengelap meja tamu, menyusun bantal sofa yang sebenarnya sudah rapi, sampai merapikan bunga di potnya. Aku memperhatikan dia sambil mengemil keripik kentang yang tadi kuambil dari lemari es.

Apa dia tidak punya kerjaan lain, selain mencari perhatian si cantik?

Kejenuhanku menghilang setelah namaku dipanggil. Ketika itu aku telah menghabiskan dua bungkus keripik kentang, satu buah apel merah besar, dan beberapa tangkai anggur. Si office boy harus berterima kasih padaku untuk sampah-sampah yang kutinggalkan di atas meja.

"Ibu sudah ditunggu di ruangan PRESDIR di lantai lima puluh. Di sana Ibu akan bertemu Dian —teman saya. Silahkan gunakan lift." Dia mengatakan itu dengan terburu-buru kemudian berhenti untuk mengangkat telepon yang sedari tadi berbunyi.

Tidak mau berlama-lama menunggu, kutekan tombol lift yang terdekat. Tak butuh waktu lama sampai pintunya bergeser terbuka. Di dalam lift kutemukan dua orang lelaki muda tampan dan seorang perempuan yang cantik jelita. Mereka yang awalnya sedang berbicara langsung terdiam dan memfokuskan pandangannya padaku.

Aku menahan napas. Mereka tinggi dan menawan seperti model yang sering kulihat di Instagram. Aku langsung menyesali pakaianku yang khas pelamar kerja. Kuremas tas tangan guna menahan malu.

"Kamu mau naik?" Perempuan cantik itu bertanya lembut dengan tangannya menahan pintu lift agar tetap terbuka.

Karena sudah terlanjur malu dan tidak mau menambah malu lagi, kuputuskan bergabung dengan mereka. Sebelum pintu lift tertutup aku sempat melihat si cantik yang tak kuketahui namanya itu menggeleng kemudian menunduk di meja kerjanya.

Aroma parfum yang memanjakan hidung tercium ketika pintu lift tertutup, suasana hening pun tercipta.

Dalam hati aku bertanya-tanya berapa harga parfume yang mereka pakai?

Yang pasti jauh lebih mahal dari pada parfum yang sering lo beli di toko sebelah.

Sialan. Melati —dewi batinku memang hebat jika soal menghinaku.

Entah perasaanku saja atau memang liftnya berjalan begitu lambat.

Ini kapan sampainya sih?

Aku semakin tidak nyaman dan merasakan ada tatapan yang menusuk punggungku.

Apa pakaianku sobek?

Apa pakaianku ada noda?

Atau mungkin ada kecoa yang menempel?

Ah, aku tergoda untuk menggaruk punggungku.

Tetapi menggaruk punggung di depan para model-model ini sangatlah tidak elegan.

Mengucapkan syukur karena pintu lift terbuka di lantai lima puluh. Aku mendesah, terbebas dari suasana hening di dalam lift tadi yang terasa selamanya. Juga punggung yang gatal.

Kubiarkan para model yang ternyata satu tujuan denganku itu berjalan lebih dulu. Setelah kurasa aman, aku menyingkir bersembunyi di balik pot tumbuhan yang cukup besar. Setidaknya pohon buatan ini bisa menyembunyikan sebagian besar tubuhnku. Aku bersyukur memiliki tubuh mungil khas anak SMA.

Saat aku hendak menggaruk punggung, seseorang menarik tanganku.

"Untuk apa kau ke sini?"

Hello. Mr PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang