"Ar--arka l--lo mau ngapain"

Sial. Punggung Vistia terperangkap dengan adanya tembok di belakang, membuat dia tidak bisa menjauh kemana lagi. Sementara tatapan Arka menyeramkan, seperti psikopat yang mendapat mangsa. Vistia terus menelan salivanya dengan susah. Sedikit demi sedikit keringatnya bercucuran.

Yap. Arka berhasil mengunci Vistia dengan kedua tangannya. Sementara jarak wajahnya dengan wajah Vistia sangat dekat hingga Vistia dapat merasakan hembusan napas mint milik Arka.

Arka mulai mendekatkan bibirnya ke bibir Vistia, namun dengan cepat Vistia memalingkan wajahnya ke samping sambil menutup matanya sekejap.

"Arka please, l--lo jangan gini. Gue kesini untuk cari Rey, dimana dia sekarang Ka, dimana!"

Arka menempelkan jari telunjuknya di bibir Vistia, dan beralih menyelipkan sebagian rambut Vistia ke belakang. Vistia hanya diam dan mulai menangis.

"Rey lo baik-baik aja di dalam. Jadi lo gak perlu khawatir tentang dia. Sekarang, mending kita gunakan waktu berdua kita ini untuk.."

Wajah Arka berubah menjadi wajah mesum. Vistia semakin takut dibuatnya. Tidak, jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Cukup sekali, seumur hidupnya!

Plak

Vistia menampar pipi Arka, membuat dia meringis kesakitan memegangi pipinya. Sementara Vistia sudah menangis, tidak percaya dengan perkataan Arka barusan.

"Brengsek ya lo! Gue kesini untuk cari Rey bukan untuk enak-enak sama lo!"

Vistia memberontak untuk melepaskan kedua tangan Arka yang mengunci dirinya, pada saat itu kekuatan Arka melemah saat satu tangannya sedang memegangi pipinya sendiri karena tamparan Vistia. Akhirnya Vistia dapat bebas dan berlari ke dalam mencari Rey. Arka tersenyum miring dan mengejar Vistia.

"REY LO DIMANA GUE DISINI REY!"

"REY JAWAB!"

Vistia terus berjalan untuk menemukan Rey, hingga dia menemukan seorang laki-laki yang terduduk lemas dengan mata tertutup setengah sadar. Dia memicingkan matanya, kemudian dia menyadari jika itu adalah Rey.

"REY!" Dia berlari menghampiri Rey, kemudian ikut terduduk dan memeluk erat Rey. Vistia menepuk pelan pipi Rey, tujuannya agar dia dapat segera sadar.

"Rey, kenapa sama kamu? Kenapa wajah kamu lebam begini"

Rey akhirnya membuka mata, belum jelas padangannya masih terlihat kabut. Dia terus-menerus batuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Vistia membersihkan darah segar Rey itu dengan tangannya. Dia menangis memeluk Rey kembali.

"Kamu ngapain disini uhuk-uhuk, disini gak aman buat kamu. Mending kamu ke--luar dari sini dan min--ta pertolongan" Rey berusaha berbicara dengan terbata-bata dan suara yang sedikit serak.

Vistia menggeleng, "Gak! Aku gak akan pernah tinggalin kamu sendirian disini. Aku kesini untuk menjemput kamu, jadi aku pulang harus bersama kamu"

Rey tersenyum tipis, "Percaya aku akan baik-baik aja disini. Tolong cepat pergi dari sini sebelum penjahat-penjahat itu datang lagi dan melukai kamu."

"Tapi Rey aku gak bisa tinggalin kamu disini dengan keadaan kamu yang lebam kayak gini,"

Tangan Rey mulai menangkup pipi Vistia kemudian tersenyum kembali, "Engga, aku kuat. Sekarang mending kamu cepat pergi. Kamu gak punya banyak waktu lagi"

Vistia masih merasa ragu untuk meninggalkan Rey seorang diri disini. Tapi mau tidak mau omongan Rey juga ada benarnya. Dia harus mencari bantuan untuk bisa keluar dari tempat ini.

Zona Nyaman Seorang Badboy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang