Pria Asing Di Taman

1.5K 208 39
                                    

Langit masih mendung.

Aku mendongak, menatapnya. Awan-awan tebal yang kelabu bergerombol, rupanya masih enggan untuk berpisah. Angin bertiup, malu-malu tapi tetap bertenaga, menggoyangkan dahan-dahan pohon, menerbangkan daun-daun kering yang sudah tak kuat lagi berpegangan pada induknya.

Kurapatkan kerah jaketku sambil mengembuskan napas. Hari ini dingin. Lebih dingin dari biasanya.

Anak laki-laki yang sedang berayun di ayunan berhenti. Dia menoleh ke arah sebuah suara yang sayup-sayup memanggilnya. Sang pengasuh berdiri di sudut taman dan memanggil, tangan kanan mencengkeram kerah jaketnya yang tipis seolah mencoba menghentikan angin untuk mengembusinya. Seekor anjing golden retriever berlarian riang ke sana-ke mari, mencoba menangkap sepotong tangkai yang dilemparkan tuannya yang kelihatan kurang antusias.

Sudah waktunya pulang. Si pengasuh memberitahu anak itu. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai.

Badai, pikirku getir. Seganas apa badai yang akan datang ini?

Mataku menangkap sosok lain di sudut taman. Sosok itu bergerak mendekatiku. Aku bisa merasakannya meski langkah-langkahnya senyap dan hati-hati, seolah sosok itu melayang alih-alih menapak. Ketika dia duduk di bangku taman tepat di sebelahku, kuputuskan sudah saatnya untuk pindah, meski sebetulnya aku enggan.

"Cuaca yang cerah, ya?"

Suaranya dalam dan hangat, seperti secangkir cokelat panas di malam musim dingin. Kuperhatikan dia. Pria itu lumayan jangkung. Dia memakai penutup kepala yang agak menghalangi wajahnya dan mantel panjang warna abu-abu yang sepertinya masih baru.

"Kemarin lebih baik," jawabku. Entah pria ini buta atau hanya sekedar berbasa-basi, jelas dia tidak sensitif pada peristiwa cuaca terkini.

"Kau mau jalan-jalan?"

"Tidak."

"Oh, maaf..." dia tersenyum. Senyumnya lebar dan riang, seperti anak-anak. "Kulihat kau sudah bersiap pergi."

"Tidak jadi. Aku di sini saja."

"Meski cuaca di sini tak sebaik kemarin?"

Beberapa orang asing mengira mereka bersikap ramah dengan mencoba membuka obrolan seperti ini, tetapi yang sebenarnya mereka mengganggu.

"Dari tempat asalku, cuacanya selalu cerah," lanjut pria asing itu. Dia mengeluarkan tangannya dari saku mantel dan membukanya ke arah langit, seperti meminta berkat. "Kadang-kadang hujan, tapi tak pernah lama. Kami tak pernah protes, toh bunga-bunga itu juga butuh minum."

Bunga-bunga juga butuh minum.

Aku menahan diri untuk tidak mendengus. Pastilah pria ini salah satu anggota kelompok pemerhati lingkungan yang fanatik itu.

"Apa di sini selalu mendung?"

Aku menarik napas dan membuang muka, mengisyaratkan ketaktertarikanku. "Tidak juga. Belakangan saja."

"Begitu. Apa kau bawa payung?"

"Tidak."

"Meski belakangan selalu mendung?"

Aku mulai tak suka padanya. "Mendung tak selalu berarti hujan."

Pria itu tertawa dan mengangguk-angguk. Dia balas menatapku. Matanya berbentuk buah zaitun dan berwarna hijau gelap, seperti lumut. "Kau benar."

Kuamat-amati lagi pria asing ini. Rambutnya ikal, gelombang-gelombang besar berwarna pirang berjatuhan di sekitar dahinya yang lebar. Wajahnya nyaris tanpa kerutan sehingga sulit menerka berapa usianya, tapi tebakanku pastilah dia tak lewat dari tiga puluh tahun. Aku tak pernah melihatnya di sekitar sini. Bisa jadi dia salah satu kerabat keluarga di kompleks ini yang berkunjung selama liburan akhir tahun.

Stranger at The Park (Indo/Eng)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora