Bab Tujuh (2)

Mulai dari awal
                                    

Ya, itu dulu sekali. Saat mereka masih berhubungan.

Setelah hubungan mereka selesai. Andini tak pernah lagi mengingat Wildan, toh kenangan yang ditinggalkan oleh laki-laki itu tak terlalu membekas.

Tak banyak yang berubah di hidup Andini sejak ia dan Wildan putus. Kecuali handphone-nya yang mendadak sepi karena tidak adalah chat rutin yang selalu Wildan kirimkan kepadanya.

Tapi itu jelas, satu tahun yang lalu.

Sekarang, makan berdua dengan Wildan adalah sebuah mimpi buruk yang sialnya harus menjelama menjadi kenyataan yang kini Andini jalani.

"Lo masih suka soto babat?" tanya Wildan di sela kegiatan laki-laki itu menambahkan cabe ke atas piringnya. Mereka kini ada duduk berhadap-hadapan di sebuah cafe yang dipilih Wildan sebagai tempat makan siang mereka berdua.

Andini tidak menjawab pertanyaan Wildan, ia sungkan mengatakan apapun dan lebih memilih untuk menatap ke arah lain.

Merasa diabaikan Wildan bertanya lagi, "Masih suka juga sama jus apel tanpa susu?"

Kembali, Andini terus diam. Seolah pita suaranya tercecer di jalan saat mereka pergi menuju cafe ini.

"Lo kenapa diam aja. Tenggorokan kering? Sariawan? Bibir pecah-pecah?" ledek Wildan.

Ia sudah terlatih menghadapi sikap Andini yang seperti ini. Andini itu seperti petasan tahun baru, hobinya meledak terus. Tidak pernah sekalipun Wildan menemukan Andini bicara kalem saat mereka sedang berdua seperti ini.

Andini berdecak. Mengenal Wildan membuat Andini percaya bahwa benar kata ceramah yang pernah ia tonton di televisi bahwa Jin Infrit itu bersemayam di tubuh manusia. Lihat saja laki-laki di hadapannya ini, visi misinya hidup di dunia cuma untuk menganggu manusia lain saja.

"Lo ngapain lagi sih di hidup gue?" Akhirnya, Andini buka suara. Ia mengatakan itu dengan nada yang terdengar jengah.

"Kalau gue bilang, gue tertarik sama lo. Emang lo percaya?"

"Wildan!"

Wildan menaruh kembali sendok dan garpu yang tadi ia pegang, lantas kini ia fokus menatap Andini di hadapannya. "Gue memperbaiki masa-masa dulu saat kita pacaran. Kalau dipikir-pikir dulu, gue sama lo itu nggak kayak pacaran."

"Gue nggak butuh," jawab Andini. "Yang gue butuh cuma satu. Lo jangan ganggu gue lagi."

"Gue nggak mau."

Andini ingin sekali menampar laki-laki di hadapannya ini. "Lo tuh egois ya?"

Tangan Wildan terulur untuk menyentuh tangan Andini, lantas ia genggam rapat tangan itu sehingga Andini tak bisa untuk melepaskannya. "Izinin gue ya?"

Andini ingin menarik tanganya, namun Wildan tetap mempertahankan genggaman itu.

Sampai akhirnya Andini terlalu lelah untuk melakukannya. "Lo tahu, Dan. Setelah putus sama lo, gue nggak tertarik lagi untuk jalin hubungan dengan siapapun, bukan karena gue nggak move on sama lo. Jangan geer. Gue hanya ngerasa masa cinta jaman SMA yang super wow itu cuma ada dalam novel-novel. Gue jelas bukan penganut sesuatu yang berupa khayalan. Gue ingin masa SMA gue berjalan dengan tenang, lulus dan masuk universitas yang gue inginkan. Nggak lebih dan nggak kurang."

"Gue tahu, Din."

"Terus? Kenapa lo tarik ulur gue kayak gini."

"Suka sama lo itu susah ya," kata Wildan setelah tak tahu ingin mengatakan apa. "Perlu alasan rasional, perlu tujuan yang jelas. Lo nggak bisa yang ngejalanin ini begitu aja? Masa SMA itu sekali, Din. Nggak akan bisa diulangi lagi sekalipun lo nangis darah."

"Gue nggak peduli."

"Tapi gue peduli, karena gue mau lo. Izinin gue untuk mencoba sekali lagi dan kali ini, gue benar-benar akan memberi warna di masa SMA lo."

-Break Out-

Mengenal Andini memang membuat Wildan setengah gila. Berpikir, Wildan sampai pada kenangan-kenangannya bersama Andini dulu. Tak banyak dan tak terlalu memorable, dulu jaman kelas sepuluh. Wildan tak membuat banyak kenangan bersama Andin—pacar pertamanya jaman SMA.

Wildan yang dulu, bukanlah yang sekarang.
Jadi kayak lagu Tegar aja ya kalau begitu. Tapi serius, perjalanan hidup membuat Wildan berubah.

Wildan tidak akan ceritakan sekarang mengapa ia menyebut dirinya berubah, seiring berjalannya waktu semua akan terungkap.

Tapi yang jelas, kalau dulu Wildan tertarik kepada Andini karena perempuan itu begitu manis.

Kini, alasan Wildan hanya satu, karena perempuan itu terlihat berbeda. Perdebatan yang selalu terjadi di antara keduanya membuat Wildan malah tertarik untuk mendekati Andini. Seperti... Wildan ingin mengali lebih banyak mengenai perempuan itu.

Percaya atau tidak, Wildan tidak pernah membenci Andini sejahat apapun perkataan perempuan itu kepadanya.

Widan yakin bahwa sebenarnya Andini melakukan semua itu hanya sebagai bentuk pertahanan belaka, jauh di dalam diri perempuan itu, Wildan tahu Andini baik.

Meskipun Andini tampaknya tidak peduli, Wildan sebenarnya masih ingat seluruh kesukaan perempuan itu. Perlu Wildan sebutkan satu-satu.

1. Warna oranye.
2. Soto babat.
3. Jus apel tanpa susu.
4. Membaca dan menulis.
5. Dan dirinya. Untuk yang ini, tolong di aamiinkan bersama-sama. Aamiin berjamaah dimulai!!

Wildan terkekeh sendiri, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa kini motornya sudah menepi di salah satu parkiran depan Indomaret. Tak perlu disensorlah ya. Siapa tahu, Wildan bisa jadi duta Indomaret Indonesia.

Turun dari motornya, Wildan melangkah masuk ke dalam Indomaret.

Sore ini, ia tidak mendapat sapaan selamat datang oleh penjaga Indomaret. Karena yang menjaga hanya satu dan terlihat sibuk melayani di kasir. Wildan mendengus dan memilih untuk segera mengambil minuman dingin.

Setelah selesai dengan apa yang ia lakukan, Wildan berniat untuk ke kasir. Namun gerakannya mendadak berhenti ketika dari tempatnya berdiri, ia melihat Drea yang baru saja keluar dari sebuah ATM yang memang tepat berada di samping Indomaret tersebut.

Kedua alis Wildan terangkat, terlebih ketika Drea kini sudah berlarian untuk menyebrang dan masuk ke dalam sebuah Restoran bergaya Perancis yang memang berada tepat di seberang jalan Indomaret, tempatnya membeli minum.

Dengan gerakan terburu-buru, Wildan menuju kasir, membayar minumannya, dan langsung berlarian menuju restoran Perancis tersebut. Ia bahkan melupakan motornya yang masih di Indomaret, karena terlalu penasaran dengan Drea.

Dari balik dinding kaca yang menjadi pembatas antara tempat Wildan berdiri, sosok Drea yang terlihat sibuk membawa piring ke sana dan ke mari.

Wildan tertengun, jantungnya bahkan kini berdetak lebih kencang saking kagetnya dia dengan apa yang ia lihat di depannya tersebut.

"Sejak kapan Drea bekerja jadi waitress restoran? Ya Tuhan! Apa saja yang selama ini gue lewatin dari hidup sahabat gue itu," batin Wildan yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan.

Bersambung

Break OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang