💢 Perbedaan 💢

Mulai dari awal
                                    

***
Setelah shalat berjamaah dan berdoa, aku langsung melangkahkan kakiku kembali ke kelas.

Namun, sesampainya aku di sana aku tidak menemukan Caroline berada di bangkunya.

Di mana dia?

"Kamu tahu Caroline di mana?" Aku bertanya pada Ayu, yang duduk di depanku dan juga Caroline. Namun, dia hanya mengangkat bahunya takacuh, dan tidak berkata apapun lagi.

Aku menghela napas sesaat, dan mencoba untuk membiarkannya. Percuma jika aku membalasnya, dia pasti juga tidak akan peduli. Kemudian aku pun segera melangkah keluar untuk mencari Caroline.

Aku harus mencarinya ke mana?

Aku berjalan sembari memikirkan ke mana aku harus pergi. Dan seketika, aku berhenti saat pikiranku mengarah ke suatu tempat yang sekiranya dapat menemukan di mana keberadaan Caroline saat ini.

***
Dugaanku benar adanya. Kini Caroline tengah berada di sebuah bangku taman dengan tubuh yang membelakangiku. Dia duduk dengan bahu bergetar, membuatku mengernyit heran.

Dengan rasa penasaran yang besar, aku mulai mendekatinya. Dan ketika aku sudah berada tepat di belakangnya, aku terkejut mendengar sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kutahu.

"Dunia ini tidak adil ... Hiks ... Hiks. Mengapa harus aku yang mengalami ini semua, Tuhan? Mengapa harus aku yang menerima kesakitan ini? Hiks ...."

"Semua ini Bukan keinginanku. Bukan aku! Namun, mengapa harus aku yang menanggung semuanya? Aku tidak sanggup lagi, Tuhan, menghadapi sikap takacuh orang-orang terhadapku."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Apa maksud dia berkata seperti itu?

"Car," panggilku lirih. Membuatnya menegang seketika, dan dengan cepat dia menghapus air mata yang telah mengalir di pipinya. Kini aku kembali mendekat padanya, duduk dengan menghadap ke arahnya.

Kemudian aku menggenggam tangannya, dan mengusapnya lembut, berusaha membuatnya merasa tenang . "Kenapa kamu tidak pernah bercerita padaku, Car?" Caroline bungkam. Dia hanya bisa menatapku lemah dengan mata yang berkaca-kaca.

"Please, don't think you alone. I'm here for you, Car." Aku menghela napasku sesaat. "Kita memang belum lama kenal, tapi aku sama sekali tidak memperdulikan tentang itu. Aku sudah nyaman bersama kamu, Car, dan aku sudah menganggap kamu lebih dari seorang teman."

"Jadi, please ... let me be a part of your story. Aku ingin kita saling berbagi cerita. Suka atau duka. Baik ataupun tidak. Aku ...."

Aku memalingkan wajahku ke samping, takkuat lagi menahan air mata yang kini memaksa ingin keluar dari kedua mataku.

Hap.

Hampir aku terjengkal ke belakang kalau saja aku tidak menahan bobot tubuhku, ketika Caroline yang tiba-tiba dengan kencangnya memeluk diriku erat. Dia semakin terisak kuat dalam pelukan tubuhku.

"Sorry. Aku ... Hiks. Aku minta maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud seperti itu, hiks ... Aku cuma nggak mau melibatkan kamu terlalu dalam ke masalah aku, Fan. Kamu itu orang baik, nggak seharusnya kamu ikut dikucilkan seperti aku saat ini." Aku memegang bahunya, dan mendorongnya sedikit. Memberi jarak sedikit di antara kami, kemudian aku menatap matanya lekat.

"Dengar aku, Car. Aku nggak peduli oleh apa pun yang mereka katakan! Aku nggak akan terpengaruh oleh apa pun yang mereka lakukan. Aku hanya ingin kita. Aku ingin kita berteman, Car."

"Tapi ...."

"Tapi apa?" Aku memotong perkataannya. "Karena status kita berbeda? Karena asal kita berbeda? Atau karena ...."

"Bukan," potongnya cepat. "Bukan itu."

"but this is a matter of our religion," lanjutnya lirih. Membuatku mengernyit heran.

"Memang kenapa? Apa masalahnya?"

"Apa ada larangan untuk tidak berteman dengan seseorang yang berbeda keyakinan dalam agama kita masing-masing?" Aku menunggunya menjawab pertanyaan dariku, sembari menatapnya dengan pandangan yang kecewa.

"Jawab aku, Car!" Setelah tidak mendengar jawaban apa pun darinya, aku mendengkus kuat. Kemudian mangambil salah satu tangannya dan menaruhnya tepat di hatinya.

"Semua hal yang sampai saat ini kamu lakukan, itu bukan karena perkataan orang lain. Semua murni dari sini, dari hati terdalam kamu. Jadi, untuk apa kamu mendengar perkataan mereka? Itu tidak berguna, Car. keberhasilan yang sudah kamu capai saat ini, itu bukan karena mereka, tapi karena diri kamu sendiri."

"Mereka tidak berperan apa pun dalam keberhasilan kamu! Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang iri dengan kehidupan kamu. Mereka ingin melihat kamu terpuruk, dan putus asa. Dan kalau sampai hal itu benar-benar terjadi, mereka akan senang, Car! Mereka akan menertawakan kamu!" lanjutku.

Lagi-lagi, Caroline menerjangku. Dia terisak kencang dalam pelukanku, hingga napasnya tersegal-segal.

"Thanks, Fan. Aku nggak tahu ... Hiks, aku nggak tahu lagi harus bicara apa." Aku mengusap bahunya pelan, sembari tersenyum lembut.

"Kamu nggak perlu bicara apa-apa. Kamu hanya perlu ingat satu hal, Car. Aku berteman sama kamu itu tulus, nggak pernah memandang apa pun dari kamu. Aku tahu kamu itu orang baik. Dan soal perbedaan keyakinan kita, biarlah berjalan seperti apa adanya. Kita bisa menjalankan ibadah kita masing-masing, tanpa perlu merasa terganggu satu sama lain."

"Jangan hanya karena perbedaan keyakinan, kita jadi saling berjauhan, Car. difference is not a barrier for us to be friends. Promise me that you will not discuss our differences again. Okay?"

Caroline melepas pelukannya padaku, kemudian dia mengusap air mata yang berada di pipinya.

"Okay."

Setelah itu dia menetralkan napasnya dengan perlahan, dan tersenyum lembut padaku. Dia menatapku dalam.

"I promise."

~End~

Kumpulan Cerpen AntikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang