Anggara Mahardika: Kabar baik. Kamu?

Aliya Maharani: Aku juga baik kok. Kamu ke mana aja, nggak pernah kelihatan?

Anggara Mahardika: Agak sibuk. Banyak tugas dan minggu depan perangkingan tim mobile legend.

Kan, dia pasti sibuk dengan pertandingannya. Pantas saja jika dia tidak sempat memposting apa pun. Mungkin hari-harinya dia main game terus biar menang, lantas bisa masuk rangking sekian besar.

Aliya Maharani: Oke deh, sukses ya buat mobile legendnya.

Dia offline. Belum sempat membalas pesanku, dia sudah offline. Ya sudahlah, sebaiknya aku kembali mengerjakan tugasku. Toh Angga pun juga sedang berjuang untuk kehidupannya.

Ting! Satu pesan masuk lagi. Oalah alah, baru mau serius nugas, ada saja pesan masuk.

Lio: Emang kenapa sih suka banget sama Angga?

Ini Sindi nggak cerita atau gimana sih? Lagi pula kan seminggu yang lalu Lio juga sudah kukenalkan pada Angga. Apa masih kurang untuk melihat ketampanan dan ketangkasan Angga? Kok ya masih dipertanyakan, kenapa aku bisa suka sama Angga. Tapi rasanya tampan pun bukan jadi alasan aku suka Angga. Karena Angga saat potong rambut super cepak pun sebenarnya tidak cocok, tapi aku tetap suka.

Aliya Maharani: Ya suka aja. Kamu sendiri kenapa bisa suka sama Sindi? Nggak ada alasan kan?

Lio: Hehe, iya juga sih.

Sudah ah, aku meletakkan ponselku lagi, lalu kembali menyentuh tugasku.

*****

Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit. Aku sudah menuruni tangga kosan bersama Via. Kami sama-sama ada kuliah pagi hari ini. Demikian pula dengan mahasiswa yang lain, banyak yang berjalan kaki menuju kampus.

"Sudah ada kabar dari Angga?" tanya Via di sela-sela perjalanan kami. Aku menaikkan alis.

"Sibuk katanya, banyak tugas dan biasa lah, gamenya," jawabku tanpa mengurangi kecepatan langkah kakiku.

"Emang kalau kalian jadian, kamu siap Ndut ditinggal-tinggal main game begini?" pertanyaan Via membuatku sedikit terkejut.

Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tentang kesiapanku menjadi kekasih seorang gamer. Ya memang sih resiko pacar gamer akan selalu begini, sering ditinggal main game, chat balasnya lama, atau tiba-tiba hilang.

"Kok aku nggak kepikiran sih Vi? Hehe," aku nyengir sambil garuk-garuk kepala.

"Nggak kepikiran buat jadian?" goda Via padaku. Aku mendengus.

"Ya kepikiran lah kalau jadian. Cuma aku nggak berpikir sejauh itu," jawabku sambil membetulkan posisi tali totebag di bahuku.

"Pikirin dulu gih, sebelum bener-bener mau jadian sama Angga. Jangan lupa pikirin juga sifat-sifat dan sikapnya dia selama ini," imbuh Via.

"Sejauh ini dia baik sih Vi. Dia juga ngerespon kok sama aku," aku membela diri. Ya memang kenyataannya begitu kan. Kami sudah mulai chat di whatsapp, juga sudah pernah main game bareng, sudah sebuah kemajuan yang sangat besar bagiku.

"Tapi dalam rentang waktu yang lama kan? Butuh berapa bulan agar kalian bisa jalan bareng? Butuh waktu berapa detik buat kamu jatuh cinta sama dia. Tapi dia, butuh waktu berapa bulan untuk jatuh hati sama kamu? Aku bilang kayak gini karena kamu temenku, Ndut. Lama-lama nggak tega juga ngelihat kamu berjuang sampai kayak gini, tapi Angga gitu-gitu doang," kata Via panjang lebar. Ini tadi dia sebelum berangkat kerasukan jin kamar mandi dulu atau gimana sih? Tumben banget.

"Angga pasti jatuh cinta sama aku kok. Tenang aja, aku Cuma butuh waktu aja," aku menenangkan Via. Via geleng-geleng kepala.

"Susah ya, ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta. Ya, semoga Angga segera peka, sebelum kamu lelah mengejar dia," kata Via sambil menepuk bahuku, lalu kami berpisah di depan gang kecil yang akan mengantarkan Via bertemu dengan parkiran FIP, sedangkan aku terus berjalan lurus menyusuri jalan Surabaya hingga bertemu gerbang besar masuk ke dalam kampus.

"Aliya!" seseorang memanggilku dari kejauhan. Dia melambaikan tangannya, kemudian berbincang dengan seorang lelaki di depannya. Sindi rupanya. Aku mendekat. Dia sedang berbincang dengan Lio.

"Duile, pasangan baru, pagi-pagi udah ketemu," ledekku pada mereka berdua. Pipi Sindi merona, sementara Lio hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

"Udah sana, kuliah," aku mengusir Lio, lalu menggandeng lengan Sindi, menariknya untuk menyeberang jalan.

"Yee, yaudah, aku duluan ya. Nanti selesai jam berapa?" tanya Lio pada Sindi.

"Jam berapa sih, jam satuan kali. Ya nggak sih Al?" tanya Sindi padaku.

"Jam satu apanya? Sampai jam tiga kita hari ini," balasku.

"Oke deh, see you," kata Lio lalu masuk ke mobilnya. Setelah melambai sampai puas, Sindi dan aku memasuki gedung kuliah.

"Gimana pangeran hati lo? Masih nggak ada kabar?" tanya Sindi.

"Dia lagi sibuk katanya," jawabku sambil meletakkan tas di kursi deretan ketiga dari depan.

"Lo sabar banget sih pedekate selama ini?" tanya Sindi.

Ini kenapa semua orang pada kerasukan jin kamar mandi sih? Tadi Via, sekarang Sindi.

"Selama apa sih, ini kan masih proses. Ya wajar lah kalau butuh waktu," jawabku.

"Yaelah, gue juga seminggu udah jadian. Rara yang super sibuk dan galauan juga tiga bulan doang dulu pedekatenya sama si brengsek Bima itu. Nah lo, udah enam bulan, tujuh bulan malah kan ini. Lo pedekate apa kredit panci sih?"

Aku diam. Tidak ada yang salah dengan ucapan Sindi. Demikian pula dengan ucapan Via tadi. Tapi aku yakin, aku dan Angga bisa bersatu suatu saat nanti.

"Jangan-jangan yang jatuh cinta cuma lo doang," bisik Sindi.

"Nanti juga dia jatuh cinta," jawabku sedikit ketus. Aku mulai kesal sekarang. Ada apa sih dengan teman-temanku, biasanya juga mereka mendukungku. 

*****

TBC

Kalau menurutmu gimana? Ini Aliya saja kah yang jatuh cinta? Atau Angga juga jatuh cinta? Tapi kalau saling jatuh cinta, kenapa pedekate sampe berbulan-bulan?

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang