"Ya udah, aku juga jalan ke bandara kalo gitu."
"Udah, ngga apa-apa, Can, kamu nggak perlu jemput aku kok. Aku kan nggak sendiri, lagian kamu pasti sibuk, nanti malam kita live."
"Nggak kok, aku nggak sibuk," bantah Can. "Aku udah selesai meeting, aku juga udah titip semuanya sama Cherreen. Pokoknya kamu tungguin aku kalo aku belum nyampe nanti, kita lunch bareng."
"Ya udah iya, aku nurut apa kata kamu aja deh. Udah ya, aku udah masuk pesawat ini."
"Ya udah, kamu safe flight ya."
"Iya, kamu juga hati-hati nyetirnya ya."
Can buru-buru mencegat Cherreen yang kebetulan lewat di depan ruangannya. "Gue berangkat ya, Reen. Pokoknya kalo ada apa-apa lo langsung telpon," ujar Can sambil siap-siap berangkat.
"Iya, boss, tenang aja."
Sampai mobil, Can langsung tancap gas. Diluar perkiraan, jalanan lengang bebas macet, Can tiba tiga puluh menit lebih awal. Kelebihan waktu ini dia manfaatkan untuk tetap di mobil dan mereview materi untuk acara barunya. Can lupa waktu sampai dia terlambat 15 menit dari waktu seharusnya Tin landing. Can buru-buru keluar dari mobil.
Can mengecek handphonenya untuk melihat apakah ada kabar dari Tin, untungnya belum, berarti dia belum terlambat.
Setiba di arrival gate, Can melihat seorang ibu muda dengan cemas bertanya pada petugas, "kenapa belum landing juga? Ini sudah terlambat 15 menit," ujar si Ibu.
"Ibu sabar dulu, hal seperti ini biasa terjadi, kemungkinan terjadi sesuatu selama penerbangan yang membuat pilot mengambil rute yang lebih jauh. Mohon bersabar sebentar, kalau ada apa-apa pasti kami kabari."
Si ibu mengangguk, tapi wajahnya masih terlihat khawatir. Dia beralih ke handphonenya. "Belum sampai juga, padahal udah 15 menit. Aduh, perasaanku ngga enak."
Can menatapnya iba, pasti cemas rasanya menunggu begini tanpa ada kabar yang pasti. Si ibu berjalan mondar mandir, setiap ada pengumuman dia berhenti dan mendongak, mendengarkan. Tapi kemudian menghembuskan napas frustasi. Can jadi ikut grogi, karna Tin juga belum dapat dihubungi dan dia sepertinya juga belum tiba.
"Nunggu yang dari Palangkaraya ya, bu?" tanya seorang pria paruh baya kepada ibu itu. Kuping Can menegak, itu tujuan yang sama dengan Tin. "Saya juga nih bu, sabar saja bu, mungkin sebentar lagi."
Si ibu mengangguk, "anak saya sendiri di flight itu, pak. Kata suami saya flightnya tidak delay, tapi kenapa sampainya jadi molor begini?"
15 menit kemudian mereka masih menunggu, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan pesawat yang dimaksud. Sudah 30 menit pesawat itu terlambat, ini sudah nggak wajar, pikir Can. Dia sudah hampir sampai Bandung dengan penerbangan selama itu. Si Ibu sudah hampir menangis, Can juga tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya, dia mulai khawatir.
Si ibu kembali bertanya, sekarang dengan beberapa keluarga lain yang ikut mengerumuni petugas, termasuk Can yang ikut mendekat. Tapi jawaban petugas masih tetap sama, "Mohon bersabar bapak ibu, kita tunggu sebentar lagi."
"Tapi ini sudah setengah jam, pak. Gimana kami nggak cemas," protes mereka.
"Saya mau ngomong sama pihak maskapainya," si Ibu nekat, yang diamini oleh keluarga penumpang lain.
Can sudah ikutan panik. Keluarga yang lain sudah sibuk berbagi informasi soal waktu landing seharusnya. Beberapa masih memberondongi petugas yang sudah mulai kewalahan. Petugas tersebut meminta semua orang untuk menunggu agak ketepi, sambil terus berbicara pada walkie talkie nya.
"Mohon bersabar bapak ibu, sebentar lagi petugas terkait akan memberikan penjelasan, mohon bapak ibu menunggu dengan tenang, tidak perlu panik."
Walaupun diamanatkan untuk tidak panik, toh pihak keluarga malah makin panik. Beberapa ibu-ibu sudah menangis, sementara yang lain sibuk komat kamit merapal doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legal Angle
RomanceCan, seorang produser acara TV yang tengah kesulitan menaikkan rating acaranya, bertemu kembali dengan cinta pertama yang dibencinya. Can tidak mau dekat-dekat lagi dengan si brengsek itu, tapi mungkin hanya Tin yang mampu membantunya menaikkan rati...
The End
Mulai dari awal