Suster itu menghela napas panjang seperti orang kecewa atas keterdiaman Alda yang tak memberikan jawaban. "Saya gak punya pacar, Sus."
Mata Suster itu pun berbinar mendengar jawaban Alda. "Kalau gitu, boleh saya minta nomor laki-laki yang menjaga Ibu Nuri tadi malam?"
Alda mengernyit bingung, pasalnya ia tak mungkin memberi Suster itu nomor lelaki yang bernama Vin itu, bagaimanapun lelaki itu sudah membantunya untuk menjaga Oma, tidak mungkin ia menyebar nomor lelaki itu sembarangan bukan?
Srek!
Tirai dari sebelah kanan Alda kini terbuka.
"Na! Ayo cek pasien di ruangan sebelah," kata teman Suster tersebut.
"Iya sebentar," jawab Suster yang ada di depan Alda.
"Kalau anda memiliki nomor lelaki tadi malam hubungi saya ya Nona, saya permisi." Suster itu memberikan Alda sebuah kertas berisikan sebuah nomor telefon, mengapa Suster ini gigih sekali ingin mengetahui nomor Vin?
Setelah memberikan kertas itu, Suster tadi pun keluar dari ruangan Omanya, Alda mengembuskan napas lega, akhirnya ia bisa menjaga Omanya dengan tenang tanpa pertanyaan aneh Suster yang tadi meminta hal yang aneh kepadanya.
Mata Alda kini tertuju kepada Omanya yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wanita itu masih memejamkan matanya, Alda mengelus rambut Omanya pelan. "Jangan tinggalin Alda, Oma."
****
Di tempat lain, Alvino kini sedang duduk di sebuah cafè yang sedikit ramai. Seharusnya ia berada di sekolah sekarang, tetapi karena tak ada Alda di sekolah, ia melakukan kebiasaan buruknya lagi. Ya, kalian benar. Alvino sedang membolos sekarang.
Sedari tadi Alvino hanya menatap layar ponsel sembari menggigiti bibir bawahnya, sampai tak sadar bahwa ada seorang lelaki yang kini duduk di hadapannya. "Udah lama ya, kita gak ketemu. Apa kabar, Alvino?"
Alvino mendongak untuk menatap lelaki itu sambil menaruh ponselnya di meja, kini di hadapannya sudah ada Raka, seorang lelaki yang dulu pernah menyakiti Alda, dan seorang lelaki yang akan Alvino benci seumur hidupnya karena telah membuat Alda menangis. "Mau apa lo?" tanya Alvino sembari menatap tajam Raka.
Raka terkekeh sebentar lalu mengeluarkan senyum smirk-nya. "Mau gue? Alda."
Alvino mengepalkan tangannya erat, jawaban dari Raka membuat Alvino marah, bagaimana tidak? Setelah sahabatnya di buat menangis oleh lelaki macam Raka, kini dengan entengnya lelaki itu menjawab menginginkan Alda? Raka sepertinya sudah mulai tak waras sekarang.
"Alda gak akan pernah mau sama cowok brengsek kaya lo," kata Alvino sarkas.
"Maka si brengsek ini akan berusaha untuk ngebuat dia jadi milik gue." Raka menatap Alvino sengit.
Alvino berdecih. "Sampai kapan pun, gue gak akan ngebiarin Alda milih lo!"
"Oh ya? Kalau suatu saat Alda jadi milik gue gimana?" tantang Raka.
Alvino terdiam sejenak, ia menatap sinis Raka lalu tersenyum miring. "Maka gue akan ngebunuh lo! Gue gak peduli Alda akan benci sama gue atau nggak. Karena bagi gue, lebih baik gue di benci sama Alda, dari pada gue ngebiarin dia milih cowok sampah kaya lo!"
"Nyali lo gede juga ya," kata Raka. ia mengalihkan pandangan matanya sebentar, lalu menatap Alvino kembali. "Tapi sayangnya, ancaman lo gak berarti apa-apa bagi gue. Sekalipun gue mati di tangan lo, gue gak akan biarin lo bersatu sama Alda. Gue akan selalu nyari cara untuk misahin kalian di masa ini, mau pun di masa selanjutnya."
Setelah mengatakan hal itu, Raka meninggalkan Alvino yang kini terdiam di tempatnya. Mencoba mengalihkan pikirannya, ia kembali memandangi ponselnya. Ada sebuah roomchat yang membuatnya tersenyum tipis, amarahnya menghilang seketika. Setidaknya untuk sekarang, Alda akan tetap berada di sisinya. Jika pun suatu saat Alvino yang tak bisa berada di sisi gadis itu, ia hanya berharap, bahwa Alda tak akan menemukan pilihan yang salah.
Alvino meletakkan ponselnya di meja. ia memijat pelan kepalanya, memang sedari tadi pagi, ia belum memakan apapun dari rumah. Di cafè inipun ia tak memesan makanan sama sekali. Bukannya ia tak membawa uang, ia hanya tak berselera untuk makan sekarang.
Getaran pada ponselnya membuat Alvino melihat layar ponselnya yang menyala. Alda menelfonnya. Tak butuh waktu lama, Alvino segera menerima sambungan telefon itu.
"Halo?" kata suara dari sebrang sana.
Alvino diam, ia tak merespon apapun.
"Vino? Vino marah ya sama Alda? Kok diem aja?" tanya Alda.
Masih diam tak ada jawaban, dapat Alvino dengar dari sambungan telefon bahwa Alda mengembuskan napas panjang. "Ya udah kalo Alvino marah, Alda cuman mau kasih tau kalo Alda baik-baik aja. Tolong jagain Bagas, Alda tutup dulu ya, Alda mau ke ruangan dokter, bye Vino."
Pip.
Sambungan terputus, Alvino mengacak-acak rambutnya, mengapa ia bodoh sekali? mengapa hanya Alda yang bisa membuatnya sefrustasi ini?
Dengan perasaan kesal ia pun pergi meninggalkan cafè tersebut. Tanpa tahu bahwa semenjak di dalam cafè, seorang wanita yang menggunakan topi hitam tersenyum miring melihat kepergiannya.
****
Holaa! Aku comeback, jangan lupa voment, kalo ada yang salah bilang aja, bikos aku emang banyak salah😂
See u soon zeyenk😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Teen Fiction[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...
Part 20 - Kekhawatiran
Mulai dari awal