Azaleta 25 - Awal dari Segalanya

Mulai dari awal
                                    

"Baik-baik, ya, adek ipar." Nisa mengusap pucuk kepala Azaleta, menepuknya dengan lembut. "Gue seneng punya adek ipar kayak lo, Let. Meskipun kadang lo juga nyebelin setengah mati. Rasanya pen gue suruh keliling kantor sampai mampus."

Azaleta tertawa.

______

"Mau ke mana?" Ragiel mengucek matanya saat dirasakannya Azaleta beranjak dari kasur dan mengalihkan tangan Ragiel yang semula memeluk Azaleta ke sisi lain. "Ini baru jam dua dini hari, lho. Lo nggak niat ke kantor jam segini, kan?" tanya Ragiel melantur, membuat Azaleta tertawa karenanya.

"Nggak, lah. Iya kali gue ke kantor jam segini." Azaleta geleng-geleng, merapikan kerudung yang baru saja ia kenakan. "Gue mau tahajud. Mau ikut?" tawar Azaleta. Agak tidak tega juga sebenarnya karena Ragiel juga baru pulang jam sebelas malam tadi. Maraton syuting untuk film terbaru katanya. Sudah dua minggu Ragiel tidak pulang ke rumah, dan hari ini suaminya itu akhirnya pulang.

"Boleh." Ragiel bergumam tak jelas setelahnya. Kentara sekali antara jawaban dan perilaku yang ditunjukkan. Pria itu justru kembali menarik selimutnya, memosisikan diri dengan nyaman di kasur.

Azaleta geleng-geleng. Tangannya tergerak untuk menjepit hidung mancung Ragiel yang sering kali membuatnya gemas dengan jail. "Bangun, gih. Gue tungguin di musala belakang, ya."

Ragiel mengangguk setelahnya, membuat Azaleta langsung keluar dan menutup lagi pintu kamar. Keadaan outdoor di belakang tampak sepi dan masih gelap. Dengan niat yang dikuat-kuatkan, Azaleta menggapai keran untuk mengambil air wudu di tengah suhu yang lumayan dingin. Jaraknya lumayan jauh dari pintu belakang rumah. Sejenak, hanya ada suara jangkrik yang menemani langkah Azaleta yang sudah selesai berwudu, bersiap untuk ke musala. Baru saja Azaleta melangkah, tiba-tiba, terdengar suara gemerisik di belakangnya.

Seperti tapak kaki seseorang.

Bukan.

Dua orang lebih tepatnya.

Azaleta menoleh ke belakang. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya ada pagar belakang yang terhubung dengan semak belukar di luarnya. Ilalang-ilalang tinggi tampak bergoyang diterpa angin. Ah, besok ia harus memotong rumput-rumput itu, pikir Azaleta. Mungkin hanya langkah kaki kucing, atau musang dan sebagainya, pikir Azaleta. Ia saja yang terlalu parno. Dengan langkah santai, Azaleta kembali mengarahkan pandangan ke depan, bersiap untuk ke musala.

Mungkin ia salah menduga.

Azaleta membeku saat merasakan sebuah cengkeraman mendarat di bahunya. Terjadi lagi, Azaleta mengepalkan tangan, bersiap untuk melawan kali ini, siapa pun yang mengejutkannya dengan cara seperti ini. Kalau ternyata itu Ragiel atau Arka, ia tinggal meminta maaf. Kalau ternyata itu Kang Danang atau Kang Dudung, ia tinggal mengomel saja, protes kenapa mengangetkannya seperti itu. Azaleta menarik napas, bersiap menghalau cengkeraman di bahunya sebelum ia rasakan jantungnya seolah berhenti, tepat saat benda dengan ujung yang runcing dan dingin melesak paksa masuk ke dalam tubuhnya lewat belakang.

Orang itu menusuknya.

Sebelum gerakan Azaleta melemah seiring dengan darah yang tiba-tiba saja terasa menggelegak di satu sisi, Azleta mendaratkan satu tendangan lurus telak tepat di wajah si pelaku yang ditutupi masker, tak peduli itu menyebabkan rasa ngilu di bagian yang terbuka. Darah mulai merembes, membasahi pakaian. Azaleta tak peduli. Sekarang atau tidak sama sekali.

Tanpa disangka, ketika Azaleta akan menerjang si pelaku yang tengah mengerang kesakitan, satu tusukan lain kembali menghujam belakang Azaleta. Kali ini sukses membuat gerakan Azaleta melemah karenanya, dengan rasa sakit dan ngilu kian menjadi saat benda dengan ujung runcing itu diputar bak kunci rumah di dalam tubuhnya. Penderitaan itu baru berakhir saat benda itu ditarik paksa keluar, membuat Azaleta limbung saat satu dorongan mengenai punggungnya.

Azaleta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang