9- Menyimpan Rasa

Mulai dari awal
                                    

Ery cukup terkesan, di balik tingkah Kevin yang slengekan, santai, bandel, dia sebenarnya mudah menangkap sesuatu 'jika dia berminat'.

"Kamu kenapa sih pake ditutup gitu mukanya?"

"Paparazi... mereka masih belum pulang dari kampus... masih rapat organisasi," ungkap Kevin menyebut sebuah istilah untuk para penggemar beratnya di kampus.

"Haha... diapa-apain juga mereka akan tahu, kan mereka fans berat,"

"Oh, jadi aku lepas aja, gitu? OK..." ujar Kevin hendak melepas masker dan membuka tudung jaketnya.

"Ngga, ngga, ngga usah... gitu aja! Lebih aman buat aku... Kalo kamu yang diserang, kamu sudah biasa... Tapi kalo aku yang diserang, oh enough, I need a peace in my life..." sergah Ery.

"Hahaha... I think it already." ungkap Kevin memandang Ery.

Ery tertegun, bahkan dia menutupi identitasnya untuk kenyamanan diri Ery dari 'serangan paparazi'.

"Tapi kamu perlu membiasakan diri yaa...."

"Maksudnya??"

"Hahaha... Mereka baik-baik, Ery. Mereka juga ikut mendoakan aku supaya menang tiap pertandingan,"

Ery tersenyum. "Iya, aku tahu, tapi kan itu penggemarmu. Aku ngga ada kaitan..."

"Kita ngga pernah tahu tentang keterkaitan yang suatu saat bisa saja berubah...."

Mereka bertukartatap. Lalu Ery tertawa. Terkadang Kevin bisa berkata-kata diplomatis.

"Ayo kita pulang." ajak Ery.

Mereka berjalan berdampingan menuju lokasi parkir kendaraan mahasiswa.

"Ke toko buku sama jetskinya jadi ya?"

Ery memejamkan mata sebentar dan menahan nafas. "Dia ngga pernah lupa yang dia katakan." batinnya.

"Aku mau ikut ke toko buku, so you can follow me to play jetski, right?"

"No! Ngga pernah ada kesepakatan kayak gitu,"

"Kenapa? Aku sudah bilang ada guide, cewe juga,"

"Ini udah malam dan aku ngga mau berdebat. Ayo kita pulang."

Ery melangkahkan kakinya kembali dan meninggalkan Kevin di tempat.

"Jutek amat sih,"

"Maaf..." ucap Ery merasa bahwa nada suara agak tinggi.

Lalu gadis itu menghampiri Kevin dan berujar, "Satu, aku ngga suka jetski. Dua, aku ngga bisa berenang. Tiga, dunia kita berbeda..." jelas Ery.

"Aku ngga suka sekolah, tapi aku mau berusaha masuk kuliah. Aku ngga suka Akuntansi, tapi aku mau belajar. Aku juga ngga suka ke toko buku, tapi aku mau menemani kamu. Ada kalanya kita perlu mencoba hal-hal yang tidak kita suka... supaya hidup kita lebih berwarna..." tanggap Kevin membalas argumennya setelah membuka masker wajahnya.

"Itu pilihan hidup kamu. Kenapa aku harus juga ikut masuk ke dalam kehidupan kamu?"

"Itu poinnya, karena aku ingin kamu masuk ke dalam kehidupanku,"

Sepoi-sepoi angin malam membelai kulit wajah Ery dan Kevin.
Juntaian rambut Ery turut tersapu angin dan mengalun-alun di wajahnya.

Malam itu, pertama kali si ranking 1 dunia itu mengatakan tentang perasaan walau masih samar....

Ery mengira bahwa saat itu adalah pertama dan terakhir Kevin membahas hal itu.

She was wrong.

Ery tertawa pendek. "Ngga semudah itu,"

"Buatku, aku menjunjung dan menghargai sebuah proses. Bahkan aku dan Gideon bisa no.1 seperti sekarang juga karena proses. Mungkin kita masih dalam proses..." tanggap Kevin wise.

"Proses apa?" tanya Ery dengan menyunggingkan senyum simpul.

"Keterkaitan...."

"Hahaha... sepertinya kamu butuh istirahat, Pak Sukamuljo!"

Kevin menghela nafas. "Yaaaa. Udah malam, aku anterin pulang?"

"No."

"Sudah kuduga," jawab pemuda itu spontan ibarat sudah tahu lawan bicaranya akan menjawab apa.

"Kenapa aku banyak dapet jawaban 'No' dari kamu,"

"Kenapa aku banyak dapet protes dari kamu," balas Ery.

Mereka tertawa beriringan di sela berdebatan.

"Ya udah, hati-hati di jalan..." tutur Kevin.

"Kamu juga...."

Mereka berbalik badan dan saling membelakangi seraya berjalan menuju kendaraan masing-masing.

Kevin menipuk dahinya karena menyesali bibirnya kelu mengatakannya. Sementara Ery hanya mampu mengusap-usap dadanya agar gemuruh dalam hatinya tidak membuncah.

###

Another Crazy Rich Asians (ACRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang