"Karena aku tidak bisa mengunjungimu, jadi kubawa kau kesini. Ayo." Lanjut Farel sambil keluar dari mobil

Jangan bilang kalau apartemen ini miliknya. Farel hampir memiliki ruangan pribadi di beberapa kota. Alasannya sederhana, "Aku tak ingin repot mengurus pembayaran di ruangan yang bukan milikku."

Berjalan melewati pegawai lalu memasuki lift. Lantai 3. Pintu lift terbuka dan kami pun keluar kemudian menuju ruangan Farel.

Cukup besar dengan fasilitas bagus. Dinding terbuat dari kaca dengan gorden warna kuning keemasan. Tempat tidur king size berbalut kain warna putih, kamar mandi dengan shower. Ah, aku sangat suka shower. Dimana aku bisa duduk dibawah air sambil memejamkan mata, membiarkannya membasahi setiap sela tubuhku. Sayangnya di kos tidak ada benda itu.

"Bagaimana?"

"Apanya?"

Farel berjalan mendekat, matanya melihat sekeliling lalu tersenyum. "Ruanganku."

"Ah, itu.. Tentu bagus."

Secangkir teh hangat dituang, aku duduk di atas tempat tidur sedangkan Farel di sofa single. Menatap keluar kaca dengan tangan merasa hangat oleh cangkir berisi teh.

Hujan turun.

Farel mulai bertanya hal-hal mengenai diriku, seakan mengatakan ini waktu yang tepat. Bukankah terlalu cepat? Kita baru saja kenal. Tidak. Aku tidak suka membuang waktu. Akan terlihat bodoh jika aku memilih orang yang salah, dalam hal apapun. Makanya aku ingin cepat mengenalmu.

"Pacar? Um.. Aku tidak pernah memikirkannya."

"Lalu jika ada yang menyukaimu? Bagaimana?"

Aku menatapnya sekilas, mata kami bertemu. "Ah, a-aku tidak tahu. Tidak. Aku tidak ingin menyakiti siapapun." Sialan, aku bicara apa?

Farel berdiri, meletakkan cangkir di meja lalu mendekatiku. Ia menyentuh tanganku dan menatapku.

"Kau mau tahu sesuatu?" Aku diam tak menjawab.

"Aku sudah mengamatimu sejak lama. Dari langkahmu di lampu merah hingga toko buku, atau supermarket. Atau saat kau menyewa sepeda. Langkahmu terasa ringan meski membawa beban cukup berat. Tak ada seorangpun disisi mu." Farel tersenyum,

"Aku menyukainya.." Bisiknya.

Pikiranku kosong saat mendengar. Tanganku mulai gemetar.

"J-jangan bilang begitu. Kau tak tahu apa-apa tentangku. Aku-"

"Makanya aku ingin dekat denganmu agar aku tahu siapa kamu sebenarnya."

Aku tenggelam dalam mata gelapnya, sangat dalam hingga aku tak bisa meraih permukaan. Dadaku berdegup kencang, ada sesuatu tak terima disana. Ini tidak baik-baik saja.

Farel terkejut saat kutarik paksa tanganku dari genggamannya, air teh sedikit membasahi kemeja bagian bawahku.

"Kamu salah orang." Aku beranjak pergi namun Farel menahan tanganku sambil meraih cangkir. Aku meronta namun sia-sia, Farel tak mau melepas genggamannya.

"L-lepaskan.."

"Ervin, dengarkan aku."

"T-tidak, lepas!"

"Dengar!"

Aku tertegun. Genggaman Farel melonggar namun kuurung niat untuk pergi. Hanya menunduk sambil mendengar penjelasannya.

"Bukalah hatimu. Jika aku tak bisa memilikimu, setidaknya kita bisa jadi teman. Aku bisa membantumu dalam banyak hal. Kamu tidak sendiri."

"..kamu tidak sendiri."

Kalimat itu. Kalimat yang sering ibu ucap. Berputar-putar dalam kepalaku. Itu janji. Namun, ibu mengingkarinya. Ia berbohong. Kalimat itu menyeramkan. Saudaraku, kau juga. Kemana pergimu? Semua pembohong. Aku benci namun kalian keluargaku.

Sekarang Farel. Orang baru yang suka denganku mengatakan kalimat yang sama. Ia pasti berbohong. Pasti. Aku tidak ingin hancur untuk ketiga kalinya. Harus segera pergi dari sini dan menghapus memori tentangnya.

"Ervin?"

Sial dia memanggilku. Aku harus apa? Pergi. Hanya itu cara terbaik untuk situasi seperti ini. Pergi dan melupakan segalanya. Jalani hari seperti biasa dengan prinsip cepat lulus dan bekerja untukku dan paman yang sudah membantuku. Paman, kapan kau pulang?

"Ervin, kau baik-baik saja?"

Jangan dengarkan. Langsung lari, mengambil tas lalu turun dengan tangga. Jangan menengok kebelakang. Kulakukan itu.

"Ehh, Ervin? Mau kemana? Heii??!"

Jangan melihat kebelakang, jangan. Jangan. Tetap lari. Pergi dari sini secepatnya.

Bruk!

"Ah! Aww.. ahh.."

Sial. Tali sepatuku. Lagi pula, tangga itu licin sekali. Kakiku mati rasa.

"Ervin!"

Farel segera mendekatiku dan memeriksa keadaan.

"Kakiku sakit, aku tak bisa menggerakkannya.."

Tap.. tap.. tap..

Punggung Farel ternyata lebih lebar dan hangat dari yang kuduga. Ia menggendongku. Langkahnya lebih lembut, juga saat membaringkanku di tempat tidur.

Apa yang kulakukan? Bodoh sekali bertindak seperti tadi. Kembali kurasakan hangatnya secangkir teh.

"Lepas celanamu. Memarnya tidak bisa diobati jika kamu pakai celana panjang." Ujar Farel.

Kamar mandi yang luas. Shower nya, aku ingin segera berdiam diri dibawahnya. Tapi kurasa besok, tidak hari ini. Farel meninggalkanku di ruangannya sebentar untuk membeli pizza dan minuman, aku tidak memaksa, ia yang menawarkan.

Setengah jam berlalu.

Farel datang dengan membawa bungkusan.

"Terlihat enak." Ujarku setelah ia membuka kotak pizza.

"Tentu, kau yang menentukan rasa." Ia tersenyum, "Jadi, sebelah mana yang sakit?"

"Sudah tidak begitu, hanya-"

"Yang ini pasti."

"Ah! Aw.." Spontan aku berteriak saat Farel menyentuh memar di kakiku terutama lutut.

Ia mengoles semacam gel yang semakin lama semakin terasa panas. Ini cepat menyembuhkan, biasanya kalau pegal aku juga pakai ini haha, ujarnya.

Aku merasa tidak enak sekaligus malu karena pikiran burukku tadi. Sentuhan Farel sangat lembut membuatku teringat pada ibu.

"Tidurlah disini malam ini, besok akan kuantar."

"E-ehh? Tapi-"

"Ssstt.. jangan membantah."

.
.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang