SECANGKIR KOPI DAN HUJAN.

Mulai dari awal
                                    

"Makasih udah dibuatin." Denial memutar arah tinggalkan Karenina yang kini kerutkan kening, ia letakan nampan di atas dispenser sebelum tinggalkan pantry.

***

Hujan deras mengguyur bumi Jakarta saat jam pulang kerja berlangsung lima belas menit sebelumnya, orang-orang pun sibuk mengeluh karena mereka kesulitan pulang—terutama yang hanya andalkan angkutan umum atau busway, bagi beberapa pemilik mobil masih sudi berlarian hampiri area parkir dan biarkan pakaian masing-masing disentuh air langit.

Banyak yang berlalu-lalang di lobi kantor, sedangkan Karenina sendiri justru bergeming seraya bersidekap tatap turunnya hujan di balik kaca lobi, ia berdiri sendirian tanpa memedulikan kesibukan orang-orang di sekitarnya, tatapan itu lebih dingin ketimbang kulit seseorang yang disentuh air hujan.

Denial sendiri baru keluar dari lift bersama Rega, obrolan mereka yang terdengar asyik tiba-tiba sunyi ketika Rega dapati Karenina yang berdiam seorang diri seperti manekin berwajah melankolis. Denial langsung ikuti arah pandang Rega dan merangkul pundaknya.

"Lihatin siapa langsung bisu gitu?" tanya Denial pura-pura tidak tahu.

"Bukan siapa-siapa, lo mau langsung pulang atau nunggu hujan berhenti?" Kini giliran Rega yang bertanya, sesekali ia melirik Karenina di antara banyaknya orang yang melewatinya. Gadis itu seperti tak terusik sama sekali, seperti tak miliki mata dan telinga.

"Nunggu bokap, lo duluan aja," sahut Denial, keduanya telah tiba di beranda hotel, Denial pun luruhkan tangan dari pundak Rega.

"Oke, gue terobos hujan ke parkiran, gue duluan, ya, Den." Rega benar-benar berlari tinggalkan beranda, sedangkan Denial menoleh ke arah Karenina berada, gadis itu terlihat dari balik jendela.

Diam dan beku, selalu begitu.

Kenapa Rega nggak bilang aja kalau itu Karenina, kenapa dia nggak kasih tahu namanya ke gue,  batin Denial yang telah simpulkan masalah antara teman baiknya dan gadis sakit hati malam itu, sebuah kebetulan yang cukup rumit.

Denial putuskan kembali ke dalam, ia hampiri Karenina seraya abaikan tatapan beberapa orang padanya.

Karenina adalah puzzle yang sedang Denial usahakan setiap keping jawabnya.

Laki-laki itu sudah berdiri di sisi Karenina seraya masukan tangan ke saku celana, lucunya Karenina sama sekali tak menoleh seolah tak ada siapa-siapa di dekatnya.

Denial amati Karenina dari tepi, ujung kaki hingga kepala, ia ingin tertawa ketika mengingat pernah melihat keseluruhan tubuh Karenina malam itu, sedangkan sikapnya kali ini seperti laki-laki yang memang baru bertemu.

Dia sakit hati karena Rega sampai datang ke bar, Karenina, elo ....

"Kenapa nggak langsung pulang?" Denial mencoba bicara lebih dulu, ia paham gadis kutub itu tak sudi untuk memulai percakapan jika bukan karena urusan pekerjaan.

Karenina menoleh. "Belum ingin."

Kayaknya dia emang bisa sering ngomong, tapi seperlunya. Denial manggut-manggut, pelan dan pasti mencoba memahami karakter makhluk kutub di sebelanya.

"Kenapa? Bukannya bawa mobil? Kayak orang-orang aja terobos hujan," usul Denial.

Karenina kembali tatap keadaa di luar kaca lobi. "Saya nggak suka hujan, nggak mau disentuh hujan."

Oke, dia beda, nggak ribet.

"Oh ya, kopi yang lo buat itu ... takaran gula sama kopinya berapa sendok, gue mau buat sendiri di rumah."

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang