Kemewahan Terakhir Sang Sahabat

31 0 0
                                    

Kemewahan Terakhir Sang Sahabat

Aroma Kopi Vietnam Drip yang telah hadir di meja beberapa menit lalu semerbak menyapa hidung. Aromanya menyebar ke seluruh sudut restoran ini. Di ketinggian lantai 28, dengan pemandangan kota Medan yang amat elok, di situlah aku sedang berada.

Hari ini aku mendapat sebuah kabar. Seorang sahabat lama semasa kuliah memintaku hadir di restoran ternama ini. Reunian, itu katanya. Tetapi aku sudah kenal dia sudah sejak lama. Aku tau reunian yang ia maksud bukan sekedar melepas rindu seperti biasanya tetapi lebih kepada ajang pamer kekayaan yang telah lama ia bukitkan.

Sesungguhnya tidak ada niatku untuk keluar rumah di akhir pekan ini. Merebahkan badan setelah lelahnya rutinitas kantor tentu lebih baik pikirku. Tetapi aku tidak kuasa, ia telah banyak membantuku pada saat-saat sulit semasa kuliah dulu. Ku pikir ada baiknya untuk sedikit membalas kebaikannya.

Ku seruput kopi mewah itu sedikit demi sedikit. Rasanya benar-benar nikmat dipadu dengan pemandangan elok Kota Medan pagi hari.

Samar-samar kudengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Aku menoleh ke belakang, dan benar seperti dugaanku, dia telah datang. Sebelum sempat ku menyapa, senyumnya sudah melebar kepadaku. Sekilas kulihat, betapa modis pakaiannya. Ia benar-benar gagah dengan setelan baju warna Biru Navy itu.

"Sudah lama?" dia membuka pembicaraan.

"Um tidak, aku baru saja sampai" kataku untuk membuatnya nyaman walau isi kopi yang telah kuseruput mengatakan hal sebaliknya.

"Kau benar-benar datang ya, ku pikir kau akan lebih memilih rebahan di kamarmu ketimbang menikmati hari yang cerah ini" ujarnya setelah menghirup napas dalam-dalam, seakan ingin merampas semua aroma nikmat yang beredar di restoran ini.

"Untuk sekali ini kupikir tak mengapa, aku pun ingin melihat bagaimana rupamu setelah banyak yang kau alami selama 4 tahun ini" lanjutku.

"Hooh, kau penasaran dengan apa yang terjadi denganku selama ini? Kita punya banyak waktu untuk berbincang, kenapa tidak memesan makanan terlebih dahulu? Jangan khawatir, seperti biasa, aku yang bayar" katanya. Kurasa aku mulai memahami apa yang akan terjadi selanjutnya.

Selang beberapa menit kemudian, telah hadir hidangan-hidangan mewah yang entah apa namanya di meja kami. Belum pernah rasanya ku melihat makanan-makanan itu selama 30 tahun perjalanan hidupku. Aku melihat beberapa dessert cokelat yang memanjakan mata, mereka sudah siap disantap di bagian penutupan.

"Waah, enak juga ikan salmon ini " gumamku.

"Jelas lah, kalau tidak enak gak mungkin aku pilih restoran ini." ujarnya sedikit menyombongkan diri, sambil menikmati bebek panggang yang tak kalah enaknya.

"Jadi, gimana dirimu sekarang? Ku dengar kau sudah mendapat posisi yang nyaman di DPRD Sumatera Utara." tukasku, membuka topik perbincangan yang sebenarnya ia tunggu-tunggu.

"Kau sudah tau rupanya. Kau tau? ternyata tidak susah mendapatkan kursi jika kau punya modal besar, tim sukses yang loyal, partai yang hebat, serta beberapa tips kotor."

"Tips kotor? " tanyaku penasaran.

"Ayolah, politik yang kau tau tidak sebersih itu. Kau harus punya satu atau dua tips kotor agar bisa mengamankan kursi." Jawabnya dengan enteng.

Aku tidak terlalu terkejut, aku benar-benar sudah kenal semua kepribadiannya sejak lama. Dia memang tipe orang yang menghalalkan segala cara agar mendapatkan apa yang ia mau.

"Lihatlah sekarang, aku punya beberapa rumah dan mobil mewah di Medan dan Jakarta. Aku rasa aku sedang berada di puncak kesuksesan " lanjutnya, seraya melihat ke atas dan sedikit tersenyum.

"Sepertinya gaji anggota DPRD sudah sangat fantastis akhir-akhir ini" ujarku menggoda.

"Gaji? kau pikir itu semua kubeli dengan gajiku? kau tau berapa gaji anggota DPRD? setelah semua yang kulakukan untuk mendapat kursi, gaji yang kuterima hanya 80 juta perbulan. Itu tidak sebanding dengan penghasilan dari proyek yang ku kelola sebelum jadi anggota DPR."

Hanya 80 juta? apa benar ada manusia yang masih belum puas dengan uang sebanyak itu, bahkan ia mendapatkan itu hanya dalam sebulan pikirku.

"Lantas dari mana semuanya? jangan bilang kau korupsi, aku tau kau sudah terbiasa bermain dengan uang semasa kuliah dulu tapi aku tidak habis pikir jika kau melakukannya lagi sekarang."

"Duh, di jaman edan ini kau masih bertahan dengan idealismemu itu? inilah yang membuatmu menjadi hanya sebatas karyawan biasa, tidak berani mengambil resiko. Tentu saja aku melakukannya, bukan aku saja tapi hampir semua teman-temanku melakukannya. Buat apa susah-susah mendapatkan jabatan kalau gak dimanfaatkan?" tegasnya sambil menyantap makanan dengan lahapnya.

Kali ini aku terkejut, teman ku yang satu ini ternyata belumlah berubah. Aku sedang duduk dengan seorang koruptur pikirku. Aku rasa dia salah satu dari ribuan koruptor yang luput dari pengawasan Indonesian Corruption Watch.

Kembali ke masa kuliah dulu. Dia sering mentraktir kawan-kawannya ke restoran mahal, padahal kupikir dia juga sama sepertiku, seorang mahasiswa kampungan yang mencoba mengadu nasib di perantauan. Saat kutanya darimana semua uang yang ia dapatkan, dia hanya tersenyum.

Seorang temannya di organisasi pernah bercerita bahwa dia sering memainkan uang proyek yang ia pimpin. Anehnya tidak ada seorang pun yang mencegah atau melaporkannya. Pernah sekali ia diamanahkan menjadi ketua panitia pergelaran lomba tingkat kampus yang notabene mengucurkan dana yang cukup besar. Saat itu acara benar-benar terkesan biasa saja, tidak ada efek wah di dalamnya, bahkan para peserta tidak mendapatkan snack sama sekali. Tidak bisa dibandingkan dengan pergelaran lomba tahun sebelumnya yang berjalan sangat meriah dan berwarna. Aku tau bukan karena dana yang berkurang tapi dialah dalang dibalik semua itu.

"Kau tidak takut ditangkap KPK? Sudah banyak kan kasusnya, sebaiknya kau sudahi kebiasaanmu itu. Jangan sampai kau menyesal, kasihan anak dan istrimu dirumah." Tanyaku dengan sedikit rasa iba yang terpapar di wajah.

"Tenang sajalah, sampai hari ini aku masih selamat kok. Ku pikir memang tidak mungkin menyapu bersih seluruh koruptor yang ada di Indonesia ini. Masih banyak koruptor kelas kakap yang menjadi fokus KPK. Sedangkan aku hanya koruptor kelas teri, sejauh ini aku hanya korupsi sekitar Rp. 30 milyar saja. Pokoknya tenang sajalah, apalagi KPK yang sekarang sudah tidak menyeramkan seperti dulu, untuk menangkap koruptor saja mereka perlu izin." Jawabnya dengan santai, terlalu santai menurutku.

Benar-benar sudah tidak waras orang ini pikirku. Tapi aku berusaha untuk terlihat tetap tenang menanggapinya.

Dia melanjutkan obrolannya, kami berbicara lumayan lama. Aku ingin obrolan ini berakhir secepatnya dan segera kembali ke rumah.

"Wah, sudah jam segini saja ya. Sepertinya aku harus segera pulang, ada beberapa hal yang harus kukerjakan di rumah" ujarku, berusaha mengakhiri pembicaraan,

"Oh, Kau mau pulang? Kupikir kita bisa berbincang-bincang sedikit lebih lama, mungkin di lain waktu kita bisa melanjutkannya. Aku akan menghubungimu nanti," lanjutnya seraya menampilkan wajah sedikit kecewa.

"Ok, mungkin lain kali. Terima kasih makanannya. Aku pulang dulu, bye,"

Aku pun mulai berjalan meninggalkannya, mencari lift dan segera turun dari lantai 28 gedung ini.

***

Selang beberapa minggu kemudian, dia tidak memberiku kabar sepatah katapun. Bukannya aku berharap dia menelponku untuk reunian kembali, tetapi aku sedikit khawatir dengannya.

Pagi itu hari senin, seperti biasa aku membaca koran sebelum berangkat ke kantor dan menjalani rutinitas yang melelahkan lagi membosankan. Mataku tiba-tiba tertuju pada satu bagian di koran tersebut. "6 Anggota DPRD Sumatera Utara Terciduk KPK, 100 Milyar Uang Negara Sia-Sia"

Jantungku serasa memompa lebih cepat, dengan lincah mataku mencari sebuah nama yang kuharap tidak tertulis pada lembaran koran tersebut. Hingga akhirnya sampailah kepada sebuah nama. Dia, benar namanya tertulis disitu. "Mungkinkah aku salah baca atau ada orang lain yang mempunyai nama yang sama dengannya" pikirku. Ah, tidak salah lagi itu pasti dia. Benar-benar kenikmatan yang mengerikan pikirku.

Medan, 9 Desember 2019

Kemewahan Terakhir Sang SahabatWhere stories live. Discover now