Part 22

3.8K 167 9
                                    

Karin menatap nanar segala penjuru kafe, kafe memang terlihat indah dengan berbagai dekorasi cantik. "Apa semua ini benar?" gumam Karin lirih. "Hati ini sama sekali tak terukir nama Pak Vano? Lalu apa yang akan terjadi jika aku menjadi istrinya kelak?" Ia meremas tangannya sendiri karena gusar.

"Apa kamu ingin menyerah, Karin?" tanya Vano tiba-tiba di belakang Karin. "Apa kamu ingin menyudahi apa yang belum kita mulai?"

Karin menoleh, ia tak tahu jika Vano ternyata berada di dekatnya, "maaf, Pak. Saya nggak bermaksud seperti itu, saya hanya mencoba berdamai dengan diri saya sendiri."

"Kita bisa membatalkannya," ucap Vano.

"Nggak," Karin menggeleng, "aku nggak mau mengkhianati perjanjian kita," ucap Karin.

Hening, tak ada perbincangan apapun, namun di balik pintu ada seseorang mendengar perbincangan Karin dan Vano.

"Jika tak ada cinta? Kenapa harus disatukan dengan mengatas namakan pernikahan? Ini tak boleh terjadi, setidaknya jika aku nggak bisa memiliki, seharusnya kamu menikah dengan seseorang yang mencintaimu sepertiku," gumam seseorang dibalik pintu, lalu ia beranjak pergi.

**
"Katakan padaku, apa alasan kamu nikahi Karin?" tanya seseorang pada Vano saat Vano sendiri.

Vano menoleh, ia tak menyangka jika orang yang ia rindukan tiba-tiba muncul dihadapannya, "Alasan apa?" tanya Vano balik.

"Kamu nggak cinta kan ke dia? Jadi untuk apa kamu nikahi dia?" tanya seseorang itu dengan tatapan nanar.

"Seiring waktu, cinta itu akan hadir," ucap Vano yakin.

"Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja jika kamu memaksakan pernikahan ini?"

"Entahlah. tapi aku dan Karin akan mencobanya," ucap Vano tanpa berani menatap wajah di depannya.

"Sudah cukup, aku nggak mau lihat kamu sedih lagi, sudah cukup aku lihat kamu kecewa dulu, aku ingin kamu bahagia, tapi bukan seperti ini," tangis seseorang di depan Vano pecah. "Aku memang memintamu mencari pasangan lagi, namun bukan sekedar sandiwara, bukan permainan, apalagi mempermainkan pernikahan."

"Jangan nangis di depanku, kumohon!" Vano meremas rambutnya karena bingung harus bersikap bagaimana.

Orang yang paling penting dalam hidupnya datang, orang yang paling ia cintai hadir kembali, orang itu kini di depannya saat beberapa hari kedepan ia akan menikah. Orang itu adalah Bela.

"Kenapa kamu mengalah saat papa kamu menikahi mama? Seharusnya kamu memperjuangkan aku? Kenapa?" Tubuh Bela bergetar karena tangisannya.

"Maafkan aku Bela, kebahagian papa lebih penting dari hubungan kita, mama kamu juga sangat mencintai papaku, aku nggak tega memisahkan mereka."

Bela semakin tergugu dengan tangisnya, selama ini ia tampak sangat ceria namun kali ini ia benar-benar rapuh saat mengetahui kakak tiri yang juga mantan kekasihnya akan menikah.

Vano merengkuh tubuh Bela, ada rasa pedih dihatinya melihat gadis pujaannya menangis, padahal selama ini Bela selalu mengatakan jika ia sudah mengikis rasa cintanya dan hanya menganggapnya sebagai kakak, namun ternyata itu hanya sandiwara, Bela masih sama seperti dulu.

"Maafkan aku, Bela," ucap Vano sambil memeluk Bela. "Cinta itu masih sama seperti dulu, namun aku nggak bisa mempertahankannya, maafkan aku."

Bela tak berkata-kata lagi, cukup air matanya yang menjawab semua kepedihannya. Bela sudah lelah, selama ini ia berusaha membuang rasa cintanya pada Vano namun semuanya sia-sia. Ia tetap mencintai Vano sebagai kekasihnya, bukan sebagai kakak adik.

SANG NARAPIDANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang