Bab 17: Truth or Dare

Mulai dari awal
                                    

"Sini, gue pites biar pinteran dikit."

"Terus, gue mesti gimana? Perlu gue jilatin lagi itu Fanta dari lantai?!"

"Jorok lo!"

"Makanya!"

"Mending lo lapin, deh. Pake muka."

"Tai lo pada!"

Laudy diam saja di antara riuh tiga cowok yang setiap bertemu memang tidak pernah akur itu. Dia meraih sisa minuman yang tidak tumpah ke lantai dan diam-diam menghabiskannya. Bunyi serdawa yang dia keluarkan kemudian akhirnya menarik perhatian mereka.

"Lo abisin, Dy?" Semuanya menatap horor.

Laudy mengangkat bahu cuek. "Gue pikir pada enggak mau." Dan, sebelum dia mendengar lebih banyak protes, dia segera menambahkan. "Lagian, kan masih ada yang kalengan, tuh. Banyak. Minum aja sana. Ntar kalo udah diminum setengah, gue tambahin air putih biar banyak lagi."

Selama beberapa menit, mereka sibuk unboxing belanjaan Arsen, berebut memilih snack yang lebih mahal daripada yang lain, lalu menit berikutnya sibuk menikmati apa yang didapat. Beberapa kaleng minuman, dua bungkus keripik kentang, sebungkus besar kacang kulit, dan sebungkus kacang atom. Sekarang sudah menjelang siang, dan Laudy dibuat keheranan sendiri dengan kerakusan orang-orang ini. Mereka enggak sarapan, apa, di rumah?

"Omong-omong, ini rumah sepi amat kek hati Arsen yang jomlo sendirian." Seperti biasanya, Nando memecah keheningan─keheningan seandainya bunyi kres-kres kacang dan keripik dikecualikan. "Pada ke mana?"

Karena mulut Laudy sedang penuh dengan keripik yang baru dimasukkannya, cewek itu tidak segera menjawab. Kian yang duduk di sampingnya yang melakukan itu.

"Pak Bambang lagi rapat di kelurahan dari tadi pagi. Biasanya sore baru balik. Bundanya Laudy biasa, belanja ke pasar."

"Hafal banget lo kegiatan camer," Arsen, dengan muka cuek, mengomentari.

"Gue yang nganterin, soalnya! Nih, Nando saksinya."

Nando yang ditunjuk menepuk-nepuk pundak Kian bangga. "Menantu idaman emang, Bapak Kian Erlangga ini. Selamat, ya, Ibu Erlangga," ujarnya kepada Laudy sambil alisnya digoyang-goyangkan.

Laudy tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat pisau kecil yang tadi dipakai mengiris mangga apel. Nando segera bungkam.

"Main apa, kek, yok?" Arsen angkat bicara lagi. "Dah lama enggak main bareng kayak dulu."

"Monopoli aja, yok!" Nando mengusulkan, dan segera mendapat tabokan dari teman-temannya. "Heran, dosa apa Hamba? Salah mulu gue perasaan," gerutunya.

"Lo napas aja udah salah, Junaedi," sahut Arsen.

"Kalau jadi lo, gue udah tahan napas, sih, minimal setengah jam," Kian menambahkan.

"Gelut aja, yuk, di lapangan ujung sana," balas Nando, mengelap air mata yang sebenarnya tidak ada. Dari dulu, dia terus yang dinistakan.

"Lagian monopoli, lo kira anak SD?! Anak SD aja maennya udah ayah-bundaan!"

"Gue tahu, sih, kenapa Nando pengin main monopoli." Sekali-kali, Laudy ikut berpartisipasi dalam obrolan unfaedah mereka. Seperti sekarang, contohnya. "Enak dia bisa punya rumah, hotel, keliling Eropa. Lari dari kenyataan award goes to ...."

"Ah elah. Gue pulang, nih! Pulang!"

Sambil mengentak-entakkan kaki, Nando berdiri, siap meraih sendal jepitnya ketika Kian menghentikannya.

"Eh, tunggu! Tunggu!"

"Apa lagi?" teriaknya sangar. Padahal, dalam hati menjeritkan "Tahan aku, Mas!" yang sinetronable sekali.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang