22. Tentang Masa Lalu

Mulai dari awal
                                    

Lova menatap kepergian Tamara. Benar, dia sudah memaafkan Tamara. Tidak langsung, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengikhlaskan apa yang sudah dialami. Lova hanya membayangkan bagaimana jika dia ada di posisi Tamara. Lova tidak akan sejahat Tamara, sampai berani mempertaruhkan nyawa orang lain. Namun, sepertinya, Lova akan membenci orang yang mendapatkan laki-laki yang Lova sukai dengan begitu mudahnya. Sementara Lova yang sudah berjuang keras, melakukan banyak pengorbanan, justru malah diacuhkan.

Setelah selesai mencuci muka, Lova kembali ke mejanya. Hanya saja, ada seorang perempuan yang saat ini duduk di mejanya. Penampilannya sangat rapi, terkesan formal hanya untuk nongkrong di kafe. “Maaf, ada yang bisa dibantu?”

Orang itu langsung menoleh. Melemparkan senyum singkat, lalu menunjuk peralatan Lova yang ada di atas meja. Ada laptop dan ponsel di sana. “Oh, enggak, Dek. Saya duduk di sini karena tadi ada pengunjung yang mau curi HP kamu. Jadi, saya cuma memastikan barang-barang kamu aman.”

Dengan cepat, Lova langsung duduk dan membereskan barang-barangnya. Dia terlalu ingin berhenti memikirkan laki-laki misterius itu sampai tidak mempedulikan barang berharga yang ditinggal begitu saja. “Ya ampun, makasih banyak ya ... Dok?” Lova menganga, tidak percaya siapa yang saat ini sedang duduk di depannya. “Dokter Saira?”

“Lova?”

Susah payah Lova menelan salivanya. Mengapa hari ini dia bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya? Baru beberapa saat yang lalu bertemu dengan Tamara, sekarang dengan Dokter Saira. Keduanya juga terhubung langsung dengan 'dia', masa lalu terbesar Lova. Semua pertemuan ini hanya kebetulan, bukan? Tuhan tidak sedang menghubungkan Lova dengan 'dia' lagi, bukan?

“Kamu apa kabar? Udah lama banget kita enggak ketemu.” Dokter Saira langsung semringah bertemu dengan Lova. Tidak hanya bersalaman, mereka juga cipika-cipiki, selayaknya sahabat karib yang sudah lama tidak bertemu.

“Kabar saya baik, Dok. Dan yang saya lihat, Dokter juga sehat.” Lova berusaha menutupi rasa tidak nyamannya dengan terus melemparkan senyum pada Dokter Saira. Dia berharap, Dokter Saira tidak menarik masa lalunya di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama ini. “Sekarang lagi sibuk apa aja, nih, Dok?”

“Bantu pasien saya untuk sembuh dari luka mereka, tentu saja.” Lalu, wajah Dokter Saira berubah. Beliau tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu. Hanya terus memperhatikan penampilan Lova yang semakin cantik dan terlihat lebih dewasa. Sama dengan salah satu pasiennya yang terkenal sebagai pejuang keras untuk keluar dari delusinya. “Kamu ... udah ketemu Arvin? Dia baru aja pulang dari Korea kemarin.”

Dan sekarang, giliran Lova yang mengubah ekspresinya. Matanya bergerak ke sana kemari, menghindari tatapan Dokter Saira. Beliau ahli membaca isi hati siapa pun yang sedang bicara dengannya, Lova tidak mau sampai rahasia kelam masa lalu itu terkuak kembali. Nama itu kembali membelai gendang telinganya. Merambat ke otak, kepalanya hampir meledak. Turun ke hati, dadanya langsung terasa panas dingin. Yang bisa Lova lakukan saat ini adalah berdoa supaya Julian cepat datang.

“Saya tahu kalau hubungan kalian sudah lama berakhir. Dan itu adalah masa-masa yang paling sulit untuk Arvin. Kejiwaannya sangat tidak stabil saat itu. Saya sendiri tidak bisa memprediksikan kapan dia tenang atau marah. Sudah tidak terhitung upaya bunuh diri yang dia lakukan. Bahkan, Bu Indira juga hampir meninggal di tangan putranya sendiri.”

Lova terperanjat mendengar berita itu. Karena semenjak malam itu, Lova benar-benar menutup segala komunikasi dengan Arvin maupun keluarganya. “Maksud Dokter?”

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang