Aku merasa hangat dengan tatapannya, seolah di rumahnya ini, di daerah ini, di dunia ini, hanya ada kita berdua, aku dan dia.
Suara dehaman yang keras mengejutkanku, aku tersadar dan menoleh dengan malu.
Kedua orang tua Dean berdiri tepat di hadapanku. Mereka mengenakan setelan yang rapi dan sopan. Aku pikir keluarganya benar-benar berpendidikan. Karena, meskipun mereka belum mengenalku mereka tetap menunjukkan wajah yang ramah.
Aku ikut berdiri melihat Dean bangkit dari duduknya. Dia memintaku menyapa kedua orangtuanya.
Jika aku diperbolehkan untuk jujur, sebenarnya aku sangat gugup sekarang. Padahal wajah kedua orang tua Dean ramah, tapi dalam benakku itu lebih menyeramkan daripada monster dalam film Barbie.
"Kamu mahasiswa?" tanya ibunya.
Aku menatap matanya yang tertutup lensa kacamata rabun jauh.
"Iya, bu. Jurusan sastra Indonesia semester tujuh," jawabku sopan.
Mungkin jika kalian memperhatikanku dengan seksama, kalian akan melihat banyak pori-poriku yang berusaha keras untuk memeras keringatku.
"Oh, sebentar lagi akan lulus ya? Gimana skripsinya, lancar?" suara ibunya terdengar bersemangat.
Aku tidak tahu kenapa mendadak ia jadi bersemangat seperti itu? Terlebih ketika membahas skripsi...
Bahkan untuk bab pendahuluan, aku enggan mengisinya sekarang. Rasanya lebih baik mengerjakannya nanti ketika dosenku sudah mulai berpidato di depan kelas.
Aku mengangguk ragu, kemudian menggeleng lemah.
Ayah Dean bingung dengan tingkahku, ia bertanya dengan suaranya yang menggelegar, oh Tuhan! Aku tidak sanggup menghadapi mereka...! "Kau belum mengerjakannya? Selama diberi kesempatan dengan waktu yang panjang, kamu harus bisa memanfaatkan waktu itu." Suaranya terdengar memiliki nada sarkasme.
Aku bergidik ngeri, membayangkan Dean hidup di keluarga ini selama dua puluh tujuh tahun, apakah ia benar-benar sanggup menghadapinya?
"Ayah, kau menakutinya. Tidak apa, jika Dean tidak sibuk, Dean akan membantunya," tukas Dean sopan.
Ibunya mengangguk setuju, dia mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih ringan, ia juga memintaku untuk tinggal sampai makan malam usai.
Di perjalanan pulang, Dean mengatakan sesuatu padaku. Sesuatu yang akan menjadi takdir yang menyedihkan.
"Aku harus menjadi dokter relawan di daerah itu, hanya satu minggu, setelah itu kita akan mengurus segalanya untuk pernikahan kita." Dia tersenyum, suaranya terdengar mantap dan menjanjikan.
Pekerjaan Dean, adalah pekerjaan paling mulia. Dia seorang dokter yang tidak punya banyak waktu untuk keluarganya, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk orang asing yang butuh bantuannya.
Aku menatapnya sendu, kekhawatiran tercetak jelas dalam mataku, saat itu. Tapi, karena dia sudah berjanji akan mempersiapkan resepsi pernikahan kami setelah satu minggu di sana, aku mengangguk setuju.
Aku sangat takut saat ia menyebutkan daerah yang membutuhkan lebih banyak relawan itu, sebuah virus yang baru-baru ini muncul merebak luas di sana.
Aku takut, bagaimana jika ia terinfeksi? Bagaimana jika setelah ia kembali dari sana, ia menjadi pasien positif virus itu?
Aku mengkhawatirkannya, sangat.
Jika itu semua terjadi, itu hanya akan menjadi mimpi burukku.
Namun, saat itu, saat ini, atau di masa depan, aku dan Dean hanyalah manusia biasa. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Bagiku, manusia selalu menjadi makhluk yang naif, walaupun mereka tahu mereka tidak bisa mengubah masa depan, mereka masih bersikeras untuk berjanji.
Sama halnya dengan Dean, kenapa dulu dia berjanji? Sedangkan sekarang janjinya hanya bisikan semu yang terhapus angin.
Menyedihkan bagiku untuk menulis ini, menulis semuanya, kisahku dengannya, yang berakhir bahkan sebelum kita bisa merencanakan masa depan dengan lebih baik.
Aku menatap cincin yang masih melekat erat di jari manisku, aku tahu, cincin ini tidak ingin pergi, tidak ingin aku menggantinya, tidak ingin aku melepasnya.
Cairan bening dari mataku melesat lembut ke permata cincin, membuat gemilau hijau tua teredam airnya.
Aku rasa..., aku menjadi janda sebelum pernikahan ini dilaksanakan. Bukankah itu konyol?
Aku sangat mencintainya, entah itu dulu atau sekarang, aku tidak ingin seorangpun menggantikan posisinya.
Sudah dua tahun berlalu sejak saat itu, sejak dia pergi untuk selamanya dari hidupku, tidak maksudku dari dunia ini. Tapi tawanya, wajahnya, suaranya, segalanya tentangnya masih terekam jelas dalam ingatanku. Seakan itu adalah kenangan baru, kejadian yang baru saja terjadi.
Aku menutup buku jurnal coklat lusuh miliknya, menyimpannya di bawah bantalku.
Tanganku mengambil segenggam obat tidur, sebelumnya, aku tidak bisa tidur cukup karena selalu mengingatnya.
Jadi, sekarang aku ingin tidur dengan nyenyak.
Aku menelan semua obat itu dengan bantuan air. Tidak berapa lama kemudian...
Reaksi yang biasa terjadi ketika seseorang overdosis aku alami, mulutku mengeluarkan busa putih menjijikan yang mengotori rambut dan sepraiku.
-SELESAI-
Tolong jangan memberikan janji dan membuatku berharap!
Aku tidak ingin mendapatkan akhir yang buruk denganmu, mi amor♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Short (ONESHOOT)
RomanceIni adalah kumpulan cerpen yang kubuat dengan genre (fool) romance. Sinopsis #1 Pernah dengar kisah cinta dari pasangan yang paling cocok di dunia ini? Bukan karena mereka sama-sama cantik dan tampan, tapi karena mereka sama-sama gila! LOL! (warnin...
WORLD'S HERO
Mulai dari awal