🌳[ 4 | JUST CRY ]🌳

Start from the beginning
                                    

Hati Jiwan mencelos begitu saja. Belum cukup puas menelantarkan anak dan istrinya, sekarang Papa berani menampar Mama? Selama ini, ia masih menggenggam harapan kecil dalam jemarinya karena berharap suatu saat nanti Papa pasti akan pulang ke rumah, menjaga Mama dan dirinya, selalu. Namun hari ini, harapan itu terbuang begitu saja ke dalam lautan yang dalam hingga Jiwan tidak bisa melihat binar harapan itu sedikitpun.

Tubuh Jiwan mendadak kaku dan sulit digerakkan, Jiwan tidak berani keluar dari kamarnya. Gadis itu menunduk di depan pintu. Kedua matanya sudah memanas dengan warna kemerahan seolah akan meledak kapan saja.

Suara pertengkaran tadi masih bisa terdengar dalam kendang telinganya membuat kaki Jiwan melemas. Bahkan kini tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan yang tak lama kemudian tubuhnya merosot begitu saja di depan pintu kamarnya yang tertutup.

Suara tamparan yang cukup keras tadi rupanya tidak menghentikan pertengkaran orang tuanya sama sekali. Sekarang suara mereka malah semakin menjadi-jadi. Menggema di seluruh sudut rumahnya. Air mata gadis itu mulai menetes perlahan.

Han Jiwan menangis, air matanya mulai mengalir dengan deras. Hatinya sesak. Hatinya sakit. Dan semakin sakit.

Gadis itu memegangi kepala sambil merapatkan kedua kakinya.  Menangis tanpa suara.

Cukup! Kumohon, cukup!

Jiwan tidak bisa mendengar suara-suara itu lagi. Jiwan tidak bisa menjadi saksi kehancuran keluarganya sendiri. Jiwan tidak mau dan tidak akan pernah. Padahal Jiwan hanya mendengarnya bukan menyaksikan. Walaupun begitu, hatinya tetap saja sakit.

Jiwan semakin terisak dalam tangisnya. Gadis itu mati-matian menahan suara tangisannya agar tidak terdengar orang tuanya dibawah.

Jiwan mulai berdiri dari duduknya, ia menyibak tirai jendela kamarnya dengan kasar. Gadis itu mengusap air matanya dengan kasar kemudian membuka jendela dan memandang ke arah bawah dengan sorot mata yang tajam. Sebelumnya, Jiwan tidak pernah melakukan hal seperti ini dan jauh didalam lubuk hatinya— ia takut. Sangat takut ketika berpikir untuk melakukannya. Tetapi tekatnya kali ini sudah bulat, semakin ia mengurung diri didalam kamarnya akan semakin sakit juga hatinya.

Han Jiwan sudah muak. Dan yang ia pikirkan hanya satu hal yaitu keluar dari sini.

Jiwan memegangi erat-erat kusen jendela, kemudian mengangkat satu-persatu kakinya untuk naik disana. Kini kedua kakinya menggantung di udara karena ia menduduki jendela, lalu ia berhenti sejenak mengatur nafasnya yang agak memburu. Gadis itu memandang ke bawah dimana tanah dan kakinya terpisah oleh jarak yang cukup tinggi. 

Tidak, Jiwan sepertinya ia tidak bisa langsung melompat dari sini maka ia akan melompat dulu pada atap kamar tamu yang agak menjorok dan dibiarkan terbuka. Ia menutup kedua matanya sambil memantapkan diri kemudian membuka mata secara perlahan. Jiwan mulai menghitung mundur lalu meloncat dari jendela.

Berhasil! Sekarang Jiwan hanya perlu lompat ke bawah. Ia mendarat cukup baik dengan posisi kaki terlebih dulu, beruntung karena ada rumput yang membuat tanahnya cukup empuk sebagai landasan. Dengan langkah yang agak terseok-seok, Jiwan berusaha agar tak membuat suara sehingga tindakannya ini tidak akan diketahui oleh kedua orangtuanya.

Samar-samar, Jiwan masih bisa mendengar suara kedua orangtuanya yang masih bertengkar seperti tadi. Jiwan memilih mengabaikan dan mulai membuka gerbang rumahnya secara perlahan agar tidak menimbulkan suara.

🌳





Gadis itu berjalan di trotoar dengan raut wajah datar. Datar dan tak bergairah seperti perasaannya sekarang. Hatinya terasa kosong dan abu-abu. Jiwan sendiri tidak bisa menafsirkan apa yang ia rasakan saat ini.

IDOL ✔Where stories live. Discover now