Bab IV: Denting Pertama

Mulai dari awal
                                    

Saat seorang nenek terjatuh tak jauh dari mereka, Dharta refleks memberhentikan kudanya. Laki-laki itu turun segera, menggendong tubuh ringkih sang nenek lalu menurunkannya di pinggir rumah terdekat, kemudian kembali ke Iora yang menunggu di atas kuda. Sang Arwa sempat memberinya tatapan menyelidik, tetapi Dharta lekas memalingkan kepala sebelum melompat ke atas pelana, lanjut memacu kuda ke arah istana.

Kini di cakrawala, keempat naga sudah mencapai benteng istana, menghampiri puncak menara tertingginya. Barisan prajurit melempar panah ke atas--sebagian tak sampai ke ketinggian, sebagian lagi terbakar oleh luncuran api dari mulut para naga. Satu panah sempat lolos, tetapi tak sanggup menembus kulit mereka yang terlampau tebal.

Sebelum kudanya mencapai pintu benteng, Dharta sempat memperhatikan naga-naga tersebut. Melalui pencahayaan dari luncuran api, dia merasa dua hingga tiga naga itu sedang mencuri pandang ke arahnya dan Iora. Moncong salah satunya tertuju pada mereka, menunjukkan lubang hidung yang bergerak-gerak, seperti mengendus. Namun, perhatian keempat naga itu lantas tertuju pada sosok Raja Wikram, yang kini sudah berdiri di puncak menara istana. Di sekelilingnya, pasukan prajurit mengacungkan tombak, bersiaga.

Sayap keempat naga mengepak elok selagi mereka berhenti untuk membumbung di udara. Satu di antara mereka berposisi paling depan, sementara ketiga lainnya menyambar panah atau tombak yang menyasar mereka dengan api. Kemudian, suara berat menggema di kawasan istana tersebut, terdengar hingga ke telinga Iora dan Dharta. Sumbernya berasal dari mulut sang naga terdepan, kendati tak terlihat pergerakan pada moncongnya seolah-seolah suara tersebut menembus keluar begitu saja.

'Berikan persembahanmu,' ujar sang naga, dengan suara serupa pria dewasa, pada Raja Wikram di hadapannya. Suara itu berat, renta, tetapi amat tegas. 'Atau kutukanmu akan terus berlangsung dan negaramu hancur.'

Raja Wikram hanya berdiri tegak, tanpa jawaban, tanpa pergerakan. Mata elang penguasa Dikara itu hanya menatap sang naga dengan tajam, sedangkan prajurit-prajurit di sekitarnya sudah gemetaran.

'Pada purnama berikutnya,' lanjut si makhluk. 'Bawa puterimu ke Negeri Seberang.'

Masih, Raja Wikram tak menjawab. Sang naga hanya mendengkus--mengeluarkan embusan asap dari hidungnya yang terpaut dua puluh hasta dari sang raja--kemudian berbalik seraya mengibaskan ekornya yang serta-merta menumbangkan tiga sampai empat pengawal di tepi menara.

Kendati rombongan makhluk megah itu sudah menjauhi langit ibukota, jantung Dharta masih berdegup kencang. Refleks dia melirik Iora di belakangnya. Teriakan dan tangisan masih bergaung di kuping mereka berdua, tetapi ekspresi sang Arwa masihlah setenang angin di malam itu.

***

Dharta memerhatikan sisa-sisa kerusuhan semalam: rumah-rumah yang hangus, gerobak-gerobak yang rusak akibat dihantam kepanikan, serta barang-barang dagangan yang berceceran. Para penduduk masih kentara syok; anak-anak menangis di dalam pelukan ibu mereka, yang berpura-pura tabah kendati ketakutan melihat penampakan yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya. Para ayah dan bujang berkerumun, bertanya-tanya, menagih penjelasan pada para prajurit istana yang berpatroli meski tanpa jawaban.

Menyaksikan itu semua sembari duduk di reruntuhan kayu, tatapan Dharta terfokus pada satu sosok tak jauh di seberang. Iora, beserta Arwa-Arwa lain, kini tengah merawat penduduk: membagikan roti dan sup, mengobati luka bakar pada beberapa korban, memberi bimbingan spiritual dalam kelompok-kelompok kecil, serta menyematkan jimat-jimat pada bekas gosong di dinding-dinding rumah.

Kendati sang Arwa telah menyuruhnya pergi saja, Dharta masih menatap, menjaga jarak tertentu, berharap mendapat penjelasan atau sekiranya tafsiran dari tatapan serta endusan naga yang sempat terarah pada mereka.

Samad (Novel - Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang